Technology Trends zkumparan

Alami Siap Pertemukan Investor dan Calon Nasabah

Setelah menggelar soft-launching platform digitalnya bulan lalu, perusahaan teknologi finansial aggregator syariah, Alami, kini fokus menjaring kemitraan dengan lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air. Hal ini bertujuan untuk membuka akses bagi pelaku usaha terhadap pembiayaan syariah lewat model aggregator.

CEO dan Founder Alami, Dima Djani, menilai, Indonesia saat ini sudah memiliki cukup banyak lembaga keuangan syariah yang siap mendukung pengembangan ekonomi umat dengan sistem pinjaman bebas riba. Oleh karena itu, pihaknya ingin mendukung penguatan posisi institusi jasa keuangan syariah Indonesia di masyarakat dengan lebih luas lagi.

“Saat ini kita memiliki setidaknya 13 bank umum syariah yang siap menyalurkan dana kepada umat. Melalui positioning kami sebagai perusahaan tekfin aggregator syariah, Alami memiliki keunggulan untuk mempertemukan layanan perbankan tadi ke calon-calon nasabah yang ingin memperbesar skala usaha namun tetap dalam koridor syariah,” tutur Dima.

Perusahaan yang berdiri sejak akhir tahun 2017 ini memiliki fokus untuk menjembatani pelaku usaha ke akses pembiayaan syariah yang dimiliki oleh perbankan syariah di Indonesia. Platform ini memungkinkan calon nasabah mendapatkan informasi perbankan yang sesuai dengan kondisi keuangan usahanya untuk melakukan pembiayaan modal guna ekspansi bisnis.

Asosiasi Fintech Indonesia tahun 2018 mencatat, saat ini terdapat 235 perusahaan fintech di mana 26 di antaranya bergerak di bidang market aggregator. Adapun jasa yang ditawarkan oleh banyak perusahaan aggregator ini adalah menghubungkan konsumen (end-user) kepada perusahaan yang memiliki jasa, produk atau layanan tertentu. Perusahaan aggregator ini kemudian bertugas untuk mengonsolidasi dan menstandarisasi sebelum didistribusikan lewat mekanisme platform digital.

Perusahaan aggregator dinilai bisa menjadi kunci untuk membantu masyarakat menentukan pilihannya terhadap produk, layanan dan jasa yang paling sesuai. Di sisi lain, perusahaan aggregator juga membantu merekatkan banyak aspek dalam ekosistem digital, bekerja sama dengan ekosistem konvensional, misalnya di sektor keuangan.

Namun, Dima juga melihat adanya risiko dalam model bisnis ini. “Di dalam ekosistem digital, model bisnis aggregator perlu punya value-add agar dapat memberikan solusi yang optimal bagi nasabah. Jangan sampai end-user atau konsumen menilai keberadaan aggregator justru menambah kerumitan saat mereka ingin mengakses layanan dari penyedia jasa. Ini adalah risiko yang perlu dikelola untuk menjaga masa depan bisnis,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi hal itu, Alami, kata dia memberikan value added service (VAS) dalam layanannya seperti, proses credit scoring yang cepat dan transparan, penyampaian informasi yang jelas dan mudah dipahami oleh end-user, serta tampilan platform digital yang simpel.

“Kami yakin, hal ini bisa menjadi solusi untuk memastikan bisnis aggregator tetap potensial di masa depan. Terlebih dengan teknologi yang kian berkembang pesat tidak menutup kemungkinan untuk para penyedia jasa mengembangkan sendiri kapasitas teknisnya, dimana kebutuhan akan bantuan pihak aggregator menjadi tidak lagi relevan,” katanya menambahkan. Namun ditengah resiko binis yang cukup tinggi, dia optimis model bisnisnya bisa diterima oleh masyarakat dan para pelaku usaha.

“Teknologi aggregator membantu masyarakat bisa lebih memahami bahwa ada alternatif yang bisa diakses dengan mudah dan transparan sesuai latar belakang bisnis masing-masing. Lebih khusus, dari perspektif partner syariah, keberadaan aggregator bisa membantu mereka menentukan target distribusi dana ke masyarakat tanpa harus mengeluarkan biaya pengembangan teknis,” kata Dima.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved