Trends zkumparan

Bari Arijono: Perlu Diperbanyak VC Lokal dan Startup Go Public

Bari Arjono

Bari Arjono, Ketua Asosiasi Digital Entrepreneur Indonesia (ADEI)

Bisnis digital di Indonesia berkembag luar biasa pesat. Ratusan startup baru lahir dan investor asing berbondong untuk mendanainya. Bari Arijono (41), Ketua Asosiasi Digital Entrepreneur Indonesia (ADEI) melihat perkembangan industri digital di Indonesia dengan dua sisi. Asosiasi Digital Entrepreneur Indonesia (ADEI) yang dia pimpin menargetkan Indonesia dapat bisa satu juta digital enterpreneur hingga tahun 2019. Berikut hasil wawancara wartawan SWA Jeihan Kahfi Barlian dengan Bari Arijono.

Bagaimana peluang pengembangan bisnis startup di Indonesia dan sejauhmana ketertarikan para investor?

Indonesia merupakan negara dengan potensi pertumbuhan ekonomi paling besar di kawasan ASEAN, hal ini membuat investor asing tertarik untuk menanamkan uangnya di kalangan start-up Indonesia. Didukung dengan stabilitas makro ekonomi, bonus demografi dan penetrasi pengguna internet yang semakin, meningkat serta masih banyak sektor perekonomian yang belum digarap secara digital, membuat peluang pertumbuhan ekonomi digital masih akan tumbuh sangat besar. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebutkan 132,7 juta jiwa penduduk sudah menggunakan internet sepanjang 2016. Terlebih Indonesia membuka diri bagi investasi asing dalam berbagai bidang termasuk teknologi dan ekonomi digital. Ini semua peluang bagus bagi pengembangan startup.

Bagaimana kemampuan venture capital lokal dalam mendanai berbagai startup yang muncul?

Indonesia tidak memiliki venture capital (VC) lokal karena faktor regulasi pemerintah yang tidak mendukung. Indonesia sayangnya tidak punya lembaga keuangan non-bank seperti venture capital yang kuat untuk mendanai perusahaan baru. Regulasi Bank Indonesia tidak membolehkan perbankan memiliki bisnis venture capital. Dan ini menjadi dilema bagi perbankan lokal untuk mengucurkan dana kepada startup. Venture capital seperti Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), GDP Venture milik Djarum, Venturra Capital milik Lippo itu sebenarnya bukan VC asli dari Indonesia karena mereka juga menggandeng VC dari asing.

Harusnya bagaimana?

Apa dampaknya bagi Indonesia dengan bergantung pada VC asing?

Dengan proyeksi nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai US$ 130 miliar pada 2020, para venture capital asing berbondong-bondong menyuntikan dana ke perusahaan Indonesia. Padahal nilai tersebut bukan berasal dari kontribusi penjualan UMKM atau industri kreatif Indonesia. Produk-produk UMKM lokal di e-commerce akan tergerus oleh produk dari negara investornya sendiri dalam hal ini China yang kini menguasai pasar digital atau e-commerce. Sehingga angka penjualan US$ 130 miliar itu sebenarnya adalah mayoritas dari produk-produk China. Bahkan ke depannya, kendaraan yang dipakai oleh transportasi online seperti Gojek, Grab dan Uber akan mulai dimasuki dari China, yang mana dominasi pabrikan Jepang akan tergeser. Bisa dikatakan ekonomi digital Indonesia dari hulu ke hilir akan dikuasai oleh China. Ini sebenarnya merupakan krisis. Juga masalah perpajakan, pemerintah kita tidak punya tools untuk mendeteksi pajak dari e-commerce.

Bagaiaman ketersediaan SDM lokal yang hebat di Indonesia?

Sebenarnya di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, Malang, Makassar, Banjarmasin, Riau, Batam punya potensi luar biasa terhadap talent-talent digital, Tetapi mereka tidak punya pasar, tidak terekspose, tidak memiliki bargaining position untuk direkrut oleh perusahaan unicorn. Akhirnya mereka membuat startup sendiri di komunitas masing-masing namun. Namun karena tidak memiliki pendanaan yang kuat cepat atau lambat akan tutup. Siklusnya seperti itu. Ide brilian apapun yang mereka coba kemas tidak memiliki dorongan funding. Orang pintar di Indonesia banyak tetapi karena tidak mendapat kesempatan mendapat dana yang layak dan menjadi scale up maka akan mati.

Apa langkah yang perlu dilakukan dari berbagai stakeholder, khususunya pemerintah?

Indonesia mestinya bisa menjadi digital nation yang ideal, dengan mengadopsi negara yang sudah berhasil melakukan digitalisasi dengan karakteristik yang sama seperti Indonesia yaitu China, India dan Brazil. Dari ketiga negara ini yang paling berhasil adalah China. Meskipun China sangat frontal tetapi sangat boleh kita coba dan perlu keberanian dari pemerintah, dimana China memiliki intranet yang terbatas dengan layanan digital buatan dalam negeri. Pemerintahnya tidak hanya mendukung dari regulasi, namun juga dukungan pendanaan. Seperti Alibaba yang merupakan perusahaan swasta tetapi pemerintah China juga mendukung dari sisi funding, jadi pemerintah ada andil saham di dalamnya, serta di perusahaan-perusahaan lain. Strategi digital ekonomi ini bisa diterapkan untuk bisa menjadi penguasa ekonomi digital dunia.

Bagaimana dengan India?

Dari sisi digital leadership kita bisa berkiblat pada India karena pemerintahnya mentransformasi India menjadi digitally empowered society. India mengharuskan agar semua penduduk memiliki identitas digital. Pemerintah India betul-betul menerapkan e-government yang dinamakan Digital India Programme yang mengatur tata kelola digital negaranya. Pemerintah memberikan semua layanan berbasis digital pada semua layanan pemerintahan dan major projects.

Bagaimana peluang para startup bisa IPO dan tidak melantai bursa di luar negeri?

Kesempatan para startup untuk melantai bursa sebenarnya besar, namun edukasi belum tersampaikan. Mereka masih bertahan sebagai private company karena lebih menguntungkan bagi mereka dibandingkan IPO. Ini butuh edukasi lebih mendalam bahwa sebagai public company berperan untuk membangun bangsa melalui devisa, pajak, pendapatan non-migas dan sebagainya. Kita harus mengedukasi kemudahan dan manfaat IPO. Kami bersama KADIN ingin membuat lapis kedua (second layer) dari bursa saham. Jadi bagi para startup yang tidak masuk lantai bursa utama IDX bisa dimasukan pada second layer. Ini masih dalam tahap diskusi dengan Tito Sulistio. Saat ini baru Kioson dan M-Cash sebagai startup pertama yang melantai di bursa.

Bagaimana pandangan Anda tentang makin banyaknya investasi asing di bisnis digital?

Perlu pembatasan investasi asing. Kalau keran dibuka penuh bisa berbahaya bagi kedaulatan perekonomian digital Indonesia. Dengan adanya ancaman seperti ini, regulasi yang harus dibuat adalah membatasi jumlah investasi asing baik melalui mekanisme investasi modal konvensional maupun melalui modal ventura dengan angka tertentu. Misalnya, perusahaan startup dengan valuasi US$ 500 juta – 1 miliar setidaknya harus ada komponen saham pemerintah di dalamnya. Sehingga pemerintah masih punya kontrol di dalamnya.

Saat ini di Indonesia perusahaan yang nilai valuasinya di atas Rp 100 miliar secara legal boleh sepenuhnya dimiliki investor asing. Ini sangat berbeda dengan negara lain, seperti di China yang melarang kepemilikan asing. Bahkan layanan digital, situs atau aplikasi dari Google, Facebook, Amazon, Twitter dan sebagainya dilarang di China. Oleh karena itu China membuat “Silicon Valley” mereka sendiri yang dinamakan Silicon Dragon yang sudah mulai menggeser ekonomi digital Amerika Serikat. Nilai kapitalisasi GAFA (Google, Amazon, Facebook dan Apple) sudah digeser oleh BATHU (Baidu, Alibaba, Tencent dan Huawei). Tahun ini diprediksi ekonomi digital China akan menguasai dunia dibandingkan ekonomi digital Amerika. Makanya 98% unicorn Indonesia pendanaannya disuntik dari China, seperti Gojek mendapat funding dari Tencent, Tokopedia dari Alibaba dan Traveloka dari JD.com.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved