Trends zkumparan

Berbisnis Produk Ramah Lingkungan

Putri Arif Febrila, pendiri & CEO The Bulkstore & Co.
Putri Arif Febrila, pendiri & CEO The Bulkstore & Co.

Perlahan-lahan, menggunakan produk ramah lingkungan dan zero waste menjadi gaya hidup banyak orang di Indonesia. Lihat saja, kantong plastik dan sedotan sekali pakai diganti botol minum. Lalu, bahan makanan organik jadi kebutuhan.

Tak mengherankan jika itu kian membudaya. Kesadaran melestarikan lingkungan kian meningkat. Maklum, sampah plastik Indonesia melonjak 16% (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan negeri ini adalah penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia, mencapai 64 juta ton per tahun, yang 3,2 juta tonnya sampah plastik yang dibuang ke laut (Asosiasi Industri Olefin, Aromatika, dan Plastik [Inaplas] serta Badan Pusat Statistik).

Yang menarik, gaya hidup ini tampaknya akan terus meluas. Pasalnya, sejumlah pelaku bisnis menyambutnya dengan menghadirkan material yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya: The Bulkstore & Co. dan Avani Eco.

Di The Bulkstore & Co., pengunjung bisa mendapatkan bahan makanan organik dan barang-barang zero waste seperti sedotan stainless, kantong belanja, composter, dan alat-alat rumah tangga dari bambu.

Putri Arif Febrila, pendiri & CEO The Bulkstore & Co., mengungkapkan bahwa dirinya termotivasi terjun ke bisnis healthy lifestyle dan zero waste karena sekembalinya dari Taiwan, dia sulit mendapatkan makanan organik di Jakarta. Dua tahun menggodok ide, Putri dan keempat temannya mendirikan Bulkstore & Co. pada Mei 2019.

Bahan-bahan organik yang ada di gerai di bilangan Menteng, Jakarta, ini berasal dari petani lokal. Sementara bahan-bahan yang sulit diproduksi di Indonesia, seperti minyak zaitun, biji aprikot, atau gandum, diimpor dari mancanegara. “Ada dua tujuan utama didirikannya Bulkstore: mengurangi plastik sekali pakai, dan mengurangi sampah makanan. Tujuan lainnya, mengedukasi hidup lebih natural dan sehat,” kata Putri.

Sebagai penjual produk organik premium, Bulkstore & Co. mematok rentang harga yang beragam karena barang dijual per piece dan per gram (puluhan sampai ribuan rupiah per gram). Adapun untuk barang-barang zero waste, rentang harganya dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah.

Kevin Kumala punya semangat yang sama dengan Putri kala membesut Avani Eco. Sebagai pehobi menyelam dan selancar, Kevin gelisah melihat ekosistem pantai di Bali yang berubah karena banyaknya sampah plastik. Dia juga melihat banyak pemotor menggunakan jas hujan plastik sekali pakai. Dia pun memutuskan menjadi importir dan distributor jas hujan berbahan plastik ramah lingkungan.

Kevin Kumala, Founder & Chief Green Officer Avani Eco

Hasilnya positif. Banyak wisatawan memakai jas hujan bertuliskan “I Am Not Plastic” tersebut. Dan, setelah memempelajari lebih dalam tentang komponen bioplastik impor itu, pada 2016 Kevin mengambil langkah penting. Dia membentuk usaha patungan dengan perusahaan lokal Bali yang dapat mem-polimerisasi formulanya untuk diproduksi secara massal. “Avani adalah bahasa Sansekerta untuk tanah. Filosofinya adalah kembali ke alam. Tapi intisarinya adalah begitu kembali ke alam, plastik harus punya nilai tambah yang bermanfaat. Ini yang kami coba tonjolkan,” tuturnya.

Avani merupakan perusahaan B2B yang memproduksi bioplastik atau plastik nabati yang dibuat dari pati singkong. “Karakteristik plastik ini akan larut dan terurai apabila kena air. Saya ingin ketika plastik ini terbuang ke laut, bisa aman kalau termakan mamalia laut,” kata Kevin.

Mereka juga memproduksi food tray dari ampas tebu. Lalu, sedotan kertas yang sudah mendapat sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council), sertifikat yang memberikan kepastian bahwa produk yang digunakan berasal dari hutan dan dapat memberi manfaat lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Sebesar 80% produk Avani dipasarkan di Bali, dan 20% pasar internasional. Kevin mengatakan, ada harapan produknya tersebar ke seluruh Indonesia seiring dengan aturan pemerintah yang mengetatkan regulasi sampah plastik. Kini kapasitas produksi pabrik di Bali maksimal untuk kantong plastik adalah 400 ton per bulan. “Perusahaan lokal Indonesia yang menggunakan plastik kami, misalnya MR. DIY, Geprek Bensu, dan retailer di Bali. Mengapa bisa menyasar segmen ini, karena harga plastik kami kompetitif dengan kertas dan adanya regulasi dari pemerintah,” dia menerangkan.

Menurut Kevin, ekspor adalah salah satu justifikasi bahwa produknya memiliki potensi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Kini, Avani sudah ekspor ke Srilanka, Afrika, dan Kaledonia Baru.

Kevin menyatakan, proses bisnis Avani tidak menggunakan teknologi yang merusak lingkungan. Mereka menggunakan tingkat pemanasan yang lebih rendah daripada produksi plastik konvensional. Pewarnanya diambil dari sumber daya alam yang alami. “Untuk produksi food tray dari ampas tebu, misalnya, kami hanya menggunakan 25% air daripada produksi styrofoam. Kami berusaha memaksimalkan sumber daya alam dan menimalisasi bahan-bahan berbahaya,” dia menjelaskan.

Kedua pebisnis itu memiliki pendapat yang sama bahwa usaha yang berlandaskan ramah lingkungan merupakan bisnis yang paling dibutuhkan di masa depan. “Usaha semacam ini yang paling sustainable secara finansial. Karena ke depannya, perubahan seperti ini yang dibutuhkan bumi. Pasti kita semua akan ke arah sana cepat atau lambat,” kata Putri optimistis. (*)

Yosa Maulana; Reportase: Andi Hana

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved