Trends Economic Issues zkumparan

BI 7-day Reverse Repo Rate Turun 25 bps Jadi 5,5%

BI 7-day Reverse Repo Rate Turun 25 bps Jadi 5,5%
Dewan Gubernur BI (Dok. SWA)

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi sebesar 4,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,25%.

Kebijakan tersebut konsisten dengan rendahnya prakiraan inflasi yang berada di bawah titik tengah sasaran, tetap menariknya imbal hasil investasi aset keuangan domestik sehingga mendukung stabilitas eksternal, serta sebagai langkah pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi ke depan dari dampak perlambatan ekonomi global.

Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengatakan, strategi operasi moneter tetap diarahkan untuk memastikan kecukupan likuiditas dan meningkatkan efisiensi pasar uang sehingga memperkuat transmisi kebijakan moneter yang akomodatif. Sementara itu, kebijakan makroprudensial tetap akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit perbankan dan memperluas pembiayaan bagi perekonomian, termasuk pembiayaan ramah lingkungan.

“Kebijakan sistem pembayaran dan pendalaman pasar keuangan juga terus diperkuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Ke depan, Bank Indonesia akan melanjutkan bauran kebijakan yang akomodatif sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi, terjaganya stabilitas eksternal, dan perlunya terus mendorong momentum pertumbuhan ekonomi. Koordinasi BI dengan Pemerintah dan otoritas terkait terus diperkuat untuk mempertahankan stabilitas ekonomi, mendorong permintaan domestik, serta meningkatkan ekspor, pariwisata, dan aliran masuk modal asing, termasuk Penanaman Modal Asing (PMA)” ujar Perry di Jakarta, (22/8/2019).

Berlanjutnya ketegangan hubungan dagang dan sejumlah risiko geopolitik makin menekan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Perekonomian AS tumbuh melambat akibat menurunnya ekspor dan juga investasi nonresidensial. Pertumbuhan ekonomi Eropa, Jepang, Tiongkok dan India juga lebih rendah dipengaruhi penurunan kinerja sektor eksternal serta permintaan domestik. Pelemahan ekonomi global terus menekan harga komoditas, termasuk harga minyak.

Perry menjelaskan, untuk merespons dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut, berbagai negara melakukan stimulus fiskal dan memperlonggar kebijakan moneter, termasuk bank sentral AS yang pada Juli 2019 telah menurunkan suku bunga kebijakannya. Ketidakpastian pasar keuangan global juga berlanjut dan mendorong pergeseran penempatan dana global ke aset yang dianggap aman seperti obligasi pemerintah AS dan Jepang, serta komoditas emas. Dinamika ekonomi global tersebut perlu dipertimbangkan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga arus masuk modal asing sebagai penopang stabilitas eksternal.

Bauran kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah dapat mendorong berlanjutnya momentum pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2019 tercatat 5,05% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan capaian triwulan sebelumnya sebesar 5,07% (yoy), terutama akibat pertumbuhan ekspor yang masih mengalami kontraksi. Sementara itu, permintaan domestik naik dipengaruhi konsumsi yang lebih tinggi dan investasi yang stabil sehingga tetap mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Secara spasial, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh membaiknya ekonomi Sumatera, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, serta stabilnya pertumbuhan ekonomi Jawa.

Ke depan, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi tetap baik didukung permintaan domestik, khususnya investasi yang akan tumbuh tetap tinggi. Berlanjutnya momentum pertumbuhan ekonomi didukung oleh bauran kebijakan Bank Indonesia yang akomodatif serta kebijakan fiskal dan reformasi struktural yang ditempuh Pemerintah. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi 2019 berada di bawah titik tengah kisaran 5,0-5,4% dan meningkat menuju titik tengah kisaran 5,1-5,5% pada tahun 2020.

Perry melanjutkan, neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia tetap terjaga, di tengah kondisi global yang kurang kondusif dan perilaku musiman domestik. NPI triwulan II 2019 tetap baik ditopang berlanjutnya surplus neraca transaksi modal dan finansial sebesar 7,1 miliar dolar AS akibat prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif dan daya tarik investasi keuangan domestik yang tinggi. “Sementara itu, defisit neraca transaksi berjalan meningkat dari 7,0 miliar dolar AS (2,6% dari PDB) pada triwulan I 2019 menjadi 8,4 miliar dolar AS (3,0% dari PDB), dipengaruhi perilaku musiman repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, serta dampak volume perdagangan dunia dan harga komoditas yang turun,” ujarnya.

Dengan perkembangan tersebut, NPI sampai dengan semester I 2019 tetap surplus sebesar 0,4 miliar dolar AS, meskipun pada triwulan II 2019 mengalami defisit 2,0 miliar dolar AS. Ke depan, ketahanan eksternal diprakirakan tetap baik ditopang berlanjutnya surplus neraca modal dan finansial serta tetap terkendalinya defisit transaksi berjalan, yang pada tahun 2019 dan 2020 diprakirakan dalam kisaran 2,5–3,0% PDB. Posisi cadangan devisa Indonesia tetap kuat, yang pada akhir Juli 2019 tercatat 125,9 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 7,3 bulan impor atau 7,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal, termasuk berupaya mendorong peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA).

Sementara itu, nilai tukar Rupiah bergerak sesuai dengan fundamentalnya sehingga turut menopang ketahanan eksternal. Pada Juli 2019 Rupiah mengalami apresiasi 0,8% secara point to point dibandingkan dengan level akhir Juni 2019, dan 1,3% secara rerata dibandingkan dengan level Juni 2019. Perkembangan ini ditopang berlanjutnya aliran masuk modal asing sejalan persepsi positif investor asing terhadap prospek ekonomi nasional dan daya tarik aset keuangan domestik yang tetap tinggi.

Sejalan pergerakan mata uang global, Rupiah pada Agustus 2019 melemah dipengaruhi ketidakpastian pasar keuangan dunia akibat kembali meningkatnya ketegangan hubungan dagang antara AS dan Tiongkok sehingga mengalami depresiasi 1,6% secara point to point dan 1,4% secara rerata dibandingkan dengan level bulan Juli 2019. Dengan perkembangan tersebut, Rupiah sampai dengan 21 Agustus 2019 secara point to point menguat sebesar 0,98% dibandingkan level akhir tahun 2018.

“Ke depan, Bank Indonesia memandang nilai tukar Rupiah tetap stabil sesuai dengan mekanisme pasar yang terjaga. Prakiraan ini ditopang prospek aliran masuk modal asing ke Indonesia yang tetap terjaga seiring ekonomi domestik yang tetap baik dan imbal hasil yang menarik, serta dampak positif kebijakan moneter longgar di negara maju. Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar dan memperkuat pembiayaan domestik, Bank Indonesia terus mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, baik di pasar uang maupun valas.” kata Perry.

Inflasi tetap terkendali pada level yang rendah dan stabil. Inflasi IHK pada Juli 2019 tercatat 0,31% (mtm), menurun dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,55% (mtm). Secara tahunan, inflasi Juli 2019 tercatat 3,32% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya sebesar 3,28% (yoy). Inflasi yang terkendali didorong oleh inflasi inti yang terjaga didukung ekspektasi yang baik seiring dengan konsistensi kebijakan Bank Indonesia menjaga stabilitas harga, permintaan agregat yang terkelola, dan pengaruh harga global yang minimal. Kelompok administered prices kembali mencatat deflasi dipengaruhi berlanjutnya dampak kebijakan penurunan tarif batas atas angkutan udara, serta koreksi tarif angkutan antarkota dan tarif kereta api setelah hari raya Idulfitri. Sementara itu, inflasi kelompok volatile food melambat, meskipun perkembangan harga beberapa komoditas hortikultura tetap perlu menjadi perhatian.

Perry mengatakan, “Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna memastikan inflasi tetap rendah dan stabil di tengah tantangan gangguan cuaca akibat kemarau panjang yang diperkirakan dapat berdampak pada pasokan bahan pangan. Inflasi 2019 diprakirakan akan berada di bawah titik tengah kisaran sasarannya 3,5±1% dan terjaga dalam kisaran sasaran 3,0±1% pada 2020.”

Editor: Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved