Marketing Trends zkumparan

Bisnis Kosmetik Natural Dewi Kauw

Dewi Kauw, owner PT Saridewi Natural Kosmetik (Skin Dewi)

Melihat baik produk maupun workshop-nya digandrungi pelanggan, Dewi tak mau kehilangan momentum. Ia pun serta-merta berupaya melebarkan sayap bisnisnya ke pasar global. “Kami ingin melakukan penetrasi ke market global. Kemungkinan besar tahun depan kami fokus ke pameran luar negeri. Kami juga memiliki banyak network dengan blogger luar negeri dan sudah mulai banyak yang nanya,” ujar Dewi yang memulainya dengan menggelar pameran di Hong Kong.

Dewi menceritakan, ide awal membesut bisnis terjadi pada 2014. “Saat itu karena anak kedua saya kulitnya bermasalah, saya mencari solusi dan produk yang kira-kira bisa membantu kondisi tersebut. Akhirnya, karena belum menemukan produk yang cocok dan mulai frustasi, saya dapat inspirasi saat jalan-jalan ke Jerman,” katanya mengenang. Memang, Jerman lebih maju untuk perkembangan natural organik.

Saat ke supermarket di Jerman, dia melihat di sana terdapat bagian khusus untuk pengobatan herbal dan organik. Misalnya, untuk flu. Untuk skin care natural organik juga sangat banyak pilihannya. “Saya berpikir kalau misalkan untuk penyakit saja mereka punya obat-obatan herbal yang dijual umum di supermarket, kenapa tidak kalau untuk masalah kulit,” ujarnya.

Akhirnya, Dewi mulai mencari tahu dan belajar. Ia pun bisa menemukan beberapa sekolah yang mengajarkan bagaimana formulasi skin care dengan bahan natural. Setelah belajar itulah, kemudian ia membangun bisnisnya di 2015. “Tiga-empat tahun yang lalu, kondisi pasar untuk bisnis ini masih sangat jarang, karena saya ingat pada awal saya belajar, saya kesulitan mencari karena tidak ada yang jual. Jadi, memang saat itu kondisi natural dan organik di Indonesia belum umum dan orang juga belum memahami seperti apa maksudnya,” kata lulusan Teknik Kimia dari University of Washington, Amerika Serikat (AS), ini menceritakan.

Namun di 2015, Dewi sebenarnya tidak langsung menjual produk, tetapi lebih menekankan pada edukasi dengan lebih banyak membuat workshop. Bahkan sampai saat ini, workshop tersebut masih terus berjalan. “Sampai tahun ini, saya lebih fokus mengajar. Jadi, workshop yang saya tingkatkan. Saya mengajari orang untuk meramu skin care sendiri,” ujar Dewi yang pernah bekerja di bidang keuangan, teknologi informasi, dan kesehatan di AS.

Dalam workshop ini, Dewi mengajarkan bagaimana cara memformulasi dan membuat segala macam produk skin care dengan total ada sembilan modul pembelajaran. Di kelas, ia tidak hanya memberi resep, tetapi juga mengajarkan, mulai dari dasar tentang bahan, teknik formulasi, dan produk natural tertentu yang perlu dosis. “Jadi, nanti di kelas murid-murid diberi proyek. Nanti mereka sesuai dengan apa yang dipelajari akan meracik dan membuat sendiri produknya,” ungkapnya. Dalam satu kelas ada sektiar 20 murid, dan dalam setahun workshop ini bisa digelar 3-6 kali.

Namun, pada saat awal mendirikan bisnisnya, Dewi juga menjual produknya walaupun baru sifatnya menjual produk customized. Pasalnya, ada pelanggan yang tidak tertarik belajar formulasi dan minta dibuatkan produknya secara khusus. “Awalnya seperti itu. Tapi ternyata, produk yang saya buat itu cocok untuk beberapa orang. Akhirnya, saya launching produk tersebut sejak Januari 2018,” katanya. “Saya sudah launching enam jenis produk: Raspberry Cleansing Milk dan Hazelnut Cleansing Milk untuk cuci muka, Temulawak Balancing Emulsion untuk oily skin dan Ginko Biloba Firming Facial Cream untuk dry skin, serum Helichrysum Vitamin C, dan Caledula Soothing Gel,” lanjutnya setengah berpromosi. Berbagai produk bermerek Skin Dewi tersebut dibuat secara toll manufacturing dengan menggandeng pabrik mitranya.

Taget pasar yang dibidik adalah orang yang kulitnya bermasalah. Jadi, umumnya orang-orang yang datang dan tertarik dengan produknya adalah orang yang punya alergi, kulitnya sensitif, atau berjerawat. Kebanyakan pelanggan adalah perempuan usia 25- 40 tahun. Adapun pemasarannya lebih banyak menggunakan media digital. “Saat ini pemasaran kebanyakan online, kalau offline store-nya kami ada di gerai Beauty Box di Jakarta, ada 4-5 gerai,” ujarnya.

Bagaimana kinerja bisnisnya? “Meskipun baru, produk kami cukup baik. Pertumbuhan dari awal launching hingga sekarang sekitar 100%. Sekali produksi bisa sekitar seribu dan sudah 4-5 kali produksi sejak launching produk,” kata Dewi tanpa menyebutkan omset bisnisnya. Kisaran harga produknya dari Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta. “Sekarang kami sudah launching size kecil dengan range harga puluhan ribu sampai ratusan ribu,” ucapnya.

Istijanto Oei, pengamat pemasaran dari Universitas Prasetiya Mulya, berpandangan, mengingat pemain kosmetik demikian banyak di pasar, tantangan bagi Skin Dewi adalah menawarkan determinant attribute, yaitu atribut yang menentukan keberhasilan. Ciri atribut ini sangat penting bagi pasar, dan sangat membedakannya dari pesaing. Dalam hal ini, Skin Dewi menawarkan kebutuhan kulit sensitif dan kandungan organiknya. Dari sisi konsumen, kandungan organik memang sangat penting mengingat konsumen semakin aware terhadap ramuan produk kecantikan yang mengandung zat kimia berbahaya.

Dari segi kemasan, produk Skin Dewi tergolong dikemas dengan elegan. Kekuatan merek juga didukung personal branding pemiliknya yang mempunyai pengetahuan formal terkait ramuan. ”Jadi, tantangan bagi Skin Dewi adalah meningkatkan lebih tinggi lagi mereknya. Kelas-kelas workshop pun perlu terus dikembangkan dengan topik-topik yang bervariasi sesuai kebutuhan,” kata Istijanto. Yang pasti, kue pasar bisnis kecantikan ini terus membesar karena produk kecantikan tampaknya sudah menjadi keharusan bagi kaum hawa.(*)

Dede Suryadi dan Nisrina Salma

Riset: Armiadi Murdiansah


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved