Trends

Bisnis Pay Later Makin Seksi

Bisnis Pay Later Makin Seksi

Layanan pay later makin marak di Tanah Air. Hampir semua penerbit dompet digital, fintech, dan multifinance menawarkan jasa pembayaran digital ini dengan berbagai kemudahan dan keistimewaan. Bagaimana cara mereka menggaet nasabah?

Saat ini, istilah pay later sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pay later, lengkapnya “buy now, pay later” (BNPL), adalah metode pembayaran baru yang memudahkan pelanggan mendapatkan layanan transaksi sekarang dan melakukan pembayaran kemudian (di saat nanti) dengan metode angsuran.

Inovasi ini hadir di tengah keterbatasan akses layanan kartu kredit. Di Indonesia, penetrasi kartu kredit sekitar 6% dari total populasi. Kemampuan fintech untuk melakukan credit scoring dari data transaksi menjadikan bisnis pay later relevan dengan proses bisnis yang relatif lebih ringkas dan terjangkau.

Berdasarkan survei DSInnovate dalam Fintech Report 2020, pay later merupakan salah satu dari tiga produk fintech yang paling banyak digunakan di Indonesia. Urutannya adalah uang digital, pay later, dan investasi.

Layanan pay later memiliki penetrasi yang cepat dan berpotensi akan terus tumbuh. Menurut hasil survei BNPL Q4 2020 yang dilakukan ResearchAndMarkets, pembayaran pay later di Indonesia diperkirakan akan tumbuh 76,7% secara tahunan hingga mencapai US$ 1,5 miliar pada 2021.

Pay later pun diperkirakan akan tumbuh stabil dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk atau compound annual growth rate (CAGR) sebesar 27,4% selama 2021-2028. Hal ini sejalan dengan Gross Merchandise Value di negara ini yang akan meningkat dari US$ 889,7 juta pada 2020 menjadi US$ 8,5 miliar pada 2028.

Pay later pun memiliki potensi besar untuk menjadi pilihan pertama dalam pembayaran kredit selama distribusi kartu kredit tidak tumbuh secara eksponensial, terutama untuk kelas menengah-bawah. Bonus demografi juga mempercepat adopsi pay later.

Generasi milenial dan Gen Z memiliki kecenderungan menggunakan teknologi digital yang lebih tinggi alias digital savvy, sehingga kedua generasi ini memiliki potensi besar untuk digarap pemain pay later. Diperkirakan pada 2030-2040, proporsi penduduk usia produktif ini lebih tinggi daripada usia lainnnya.

Pemain Pay Later Menjamur

Pertumbuhan bisnis e-commerce di industri juga mendorong terus tumbuhnya pay later karena pemainnya banyak bermitra dengan e-commerce dan marketplace. Menurut riset Google Temasek, di 2025 total transaksi e-commerce di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 83 miliar atau kira-kira Rp 1.100 triliun. Menurut riset ini, kredit online sekitar 16%, kira-kira Rp 170 triliun – 180 triliun. Jadi ke depan, industri pay later sangat menjanjikan dan akan terus tumbuh, mengikuti tren pertumbuhan transaksi online.

“Tren pembiayaan digital seperti layanan pay later semakin diminati di era digital. Terlebih di masa pandemi, masyarakat Indonesia banyak mengalihkan kegiatan belanja mereka ke online, karena lebih praktis dan lebih aman melalui e-commerce yang menadi mitra pemain pay later,” kata Jerry Anson, Direktur PT Artha Dana Teknologi (Indodana).

Untuk mengembangkan bisnisnya, banyak pemain pay later yang menggandeng e-commerce, payment gateway, dan online travel agency (OTA) terkemuka. Antara lain, Tokopedia, Shopee, Blibli, Tiket.com, Traveloka, Bukalapak, Elevenia, iStyle, dan LinkAja.

Selain bermitra dengan e-commerce, Indodana juga telah bekerja sama dengan lebih dari 1.000 merchant dan gerai offline lain, seperti Hypermart, Courts, Erafone, Hush Puppies, Puma, Polytron, Kalbe, Atria, dan Hartono Elektronik. Indodana bekerjasama pula dengan e-commerce dan OTA terkemuka, serta meluncurkan layanan pay later dengan model co-branding, seperti Blibli Paylater, Tiket Paylater, Mitra Blibli Paylater, dan Bayar Tempo Mitra Bukalapak.

Dengan melihat kondisi yang menggiurkan tersebut, tak mengherankan, layanan pay later pun semakin marak, baik dalam transaksi e-commerce maupun transaksi lainnya. Hampir semua penerbit dompet digital menawarkan jasa ini dan beradu cepat menggaet pelanggan dengan berbagai kemudahannya.

Pemain lainnya adalah kelompok fintech dan multifinance. Mereka gencar menawarkan jasa pay later dengan berbagai kemudahan dalam sistem pembiayaan digital ini. Pasar mereka pun terus tumbuh karena masing-masing adu cepat menggarap bisnis ini.

Selain Indodana, masih banyak pemain pay layer lainnya. Di antaranya, Akulaku dari PT Akulalu Silvarr Indonesia, Atome (PT Mega Shopintar Indonesia), GoPayLater (PT Mapan Global Reksa), Home Credit (PT Home Credit Indonesia), Julo (PT Julo Teknologi Finansial), Kreditmu (PT KB Finansia Multi Finance), Kredivo (PT FinAccel Finance Indonesia), ShopeePayLater (PT Commerce Finance), Traveloka PayLater (Caturnusa Sejahtera Finance), dan Vospay (PT Vostropay Paramarta Nusantara).

“Pay later semakin populer beberapa tahun terakhir, khususnya di masa pandemi, di mana pola transaksi makin bergeser ke digital, dan masyarakat juga membutuhkan kredit untuk dapat mengatur keuangannya di masa yang tidak menentu ini,” kata Umang Rustagi, Deputy CEO & co-founder Kredivo.

Menurut data Indonesian e-Commerce Consumer Behavior Report 2021 yang diinisiasi Kredivo dan Katadata Insight Center, pembayaran dengan metode pay later semakin diminati. Metode pembayaran ini digunakan oleh 27% responden untuk berbelanja di e-commerce, paling tidak satu kali dalam setahun terakhir. Pemakaiannya terus meningkat, dan bahkan angka pertumbuhannya berada di atas kartu kredit serta kartu debit.

Tito Tambayong, CEO PT Vostropay Paramarta Nusantara (Vospay), mengungkapkan bahwa ekosistem e-wallet pun tidak bisa dipisahkan dengan pay later. Hal ni karena keinginan masyarakat Indonesia terhadap kredit sangat tinggi. Dari sisi financing institution, Indonesia tercatat memiliki 400 entitas, terdiri dari multifinace, pear to pear (P2P), dan bank. “Dari sana, kami melihat jika industri-industri tersebut digabungkan, kami bisa mengambil kesempatan lebih besar,” kata Tito.

Tantangan Bisnis Pay Later

Kendati terus tumbuh, ada sejumlah tantangan yang dihadapi industri pay later. Tantangan utama dari kredit digital adalah infrastruktur yang masih belum merata di seluruh daerah di Indonesia. Menurut Indonesian e-Commerce Consumer Behavior Report 2021, sebenarnya nilai transaksi belanja digital, khususnya di e-commerce, telah meningkat secara konsisten, khususnya dari 2019 ke 2020.

Namun, nilai transaksi ini masih terkonsentrasi di kota-kota yang banyak penduduknya. Kota-kota tersebut berada di Pulau Jawa yang memang memiliki keunggulan dalam hal kondisi infrastruktur digital, penetrasi internet, dan pendapatan daerah yang tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk menutup kesenjangan infrastruktur digital di kota-kota kecil dan menengah untuk meningkatkan kemudahan akses konsumen ke e-commerce dan kredit digital. Hal lain yang menjadi tantangan dalam bisnis ini adalah mengelola risiko yang tepat sesuai dengan keadaan dan situasi di Indonesia, serta mendapatkan pendanaan untuk disalurkan ke konsumen.

“Kunci sukses mengelola bisnis pay later bagi kami adalah dengan menjadi consumer-centric, yaitu bagaimana platform pay later mampu menjawab dan memfasilitasi apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakat,” kata Umang tandas.

Tentunya, ia menambahkan, dengan menawarkan akses yang lebih mudah, cepat, terjangkau, serta aman dalam bertransaksi. Proses bisnis yang kuat dan scalable juga menjadi fondasi penting untuk mengelola bisnis pay later. (*)

Dede Suryadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved