Business Research

Ekonomi Sulit, Indonesia Harus Belajar dari Krisis Eropa

Ekonomi Sulit, Indonesia Harus Belajar dari Krisis Eropa

Kondisi fiskal Indonesia saat ini sedang dihadapkan dengan masa yang sulit. Sedikit melenceng dari prediksi yang menyatakan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,3%, awal tahun IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 4,8 hingga 5%. Hal ini tentunya disebabkan oleh beberapa hal. Lemahnya realisasi pendapatan pajak pada dua bulan pertama di tahun 2016 membuat defisit anggaran diprediksi semakin melebar. Apalagi pasal pengampunan pajak (tax amnesty) saat ini masih menggantung di DPR, sedangkan belanja pemerintah lebih tinggi dibandingkan APBN selanjutnya. Belum lagi kondisi ekonomi yang belum kondusif sepenuhnya menjadi salah satu faktor menurunnya realisasi pajak pada dua tahun belakangan. Apalagi hingga saat ini struktur pendapatan pajak masih sangat bergantung dengan pendapatan pajak badan usaha.

fiskal

Di sisi lain, penurunan harga minyak dunia juga berpengaruh pada penerimaan APBN dari sektor non pajak. Sensitivitas penurunan US$ memengaruhi penerimaan negara hingga Rp 2,9 triliun dan belanja negara hingga Rp 3,6 triliun. Bila diasumsikan harga minyak berada pada US$38 per barel, maka defisit fiskal diperkirakan akan membengkak hingga Rp285,2 triliun.

Namun, meski kondisi fiskal saat ini sedang dalam masa yang sulit, pemotongan anggaran belanja bukan hal terbaik. Jika melihat pasca krisis Eropa yang terjadi, tahun 2010 beberapa negara di Eropa membuat kebijakan dengan memperketat fiskal mereka.

“Pasca krisis finansial di tahun 2008, negara Eropa berkomitmen untuk mendorong kebijakan counter cylical. Namun di pertengahan tahun 2010 ketika ekonomi mereka belum sepenuhnya membaik, mereka mengubah haluan menjadi austerity (kebijakan ketat fiskal). Yang terjadi kemudian adalah permintaan swasta jauh lebih rendah daripada masa sebelum krisis terjadi,” ujar Adhamski Pangeran, peneliti lembaga Core.

Adham juga memaparkan bahwa dari data yang dikeluarkan oleh IMF dan World Bank, defisit anggaran dari PDB akan mencapai 2,8%. Sementara IMF memprediksi defisit anggaran akan mencapai 2,8% dari PDB.

“World Bank menyarankan pemerintah untuk tetap menjaga defisit di bawah 3% dan mengurangi belanja yang tidak prioritas. Demikian juga dengan IMF yang mengatakan jika Indonesia dapat melakukan reformasi, maka defisit anggaran hanya akan mencapai 2,5%. Reformasi yang dimaksud adalah peningkatan pendapatan dari cukai, serta meminimalkan belanja bukan proritas dan pengurangan risiko sumber penerimaan dari pasar finansial,” tambah Adham.

Selain dari saran saran yang diberikan World bank dan IMF, Adham juga menyatakan ada beberapa opsi lain yang bisa dilakukan pemrintah untuk membiayai defisit anggaran, antara lain dengan penerbitan obligasi, melakukan reformasi belanja baik dari sisi efektifitas maupun efisiensi, memaksimalkan penerimaan pajak dengan menyesuaikan pada anggaran belanja, serta melakukan pelebaran pada defisit anggaran.

“Opsi pelebaran defisit anggaran masih berada di zona aman. Namun, pelebaran defisit ini tetap harus dilakukan secara hati hati agar negara tetap memiliki penyangga fiskal yang kuat. Pelebaran defisit anggaran tentu saja harus dikelola dan diarahkan untuk mendukung aktivitas ekonomi. Karena saat ini, defisit anggaran masih diberlakukan untuk membangun infrastruktur. Maka itu, yang harus digenjot oleh pemerintah adalah potensi peningkatan pendapatan pajak di masa depan ketika infrastruktur tersebut beroperasi,” tutup Adham. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved