Business Research

Gunung Botak Tercemar Sianida dan Mercuri

Gunung Botak Tercemar Sianida dan Mercuri

Ribuan penambang emas liar menyerbu Gunung Botak. Mengambil emas dengan menggunakan sianida dan merkuri yang merusak lingkungan. Masyarakat Pulau Buru dalam bahaya.

Lea Bumi berarti pijakan pertama para leluhur, begitu masyarakat adat di Pulau Buru menyebut sebuah dataran tinggi yang terletak di Desa Wamsait, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru, Maluku. Sekarang nama itu lebih dikenal dengan sebutan Gunung Botak. Sebelumnya, kawasan itu banyak ditumbuhi tanaman kayu putih yang menjadi ikon pulau tersebut. Selain kayu putih yang daunnya disuling menjadi minyak kayu putih, kawasan itu juga dipenuhi oleh pohon sagu yang menjadi makanan pokok masyarakat setempat.

Beberapa tahun terakhir, ratusan pohon sagu merangas, kering, menghitam dan tak sedikit yang mati. Matinya pohon sagu yang berada di areal ratusan hektar bukan tanpa sebab. Tanah yang menjadi tempat pohon-pohon itu tumbuh telah tercemar racun sianida dan mercuri yang digunakan para penambang liar untuk memisahkan emas. Penambang liar, dengan menggunakan berbagai alat mengeruk perut Gunung Botak. Mereka buat bak-bak penampungan di sepanjang sungai lalu mencampurkan sianida dan mercuri. Ini adalah metode baru yang disebut perendaman. Tanah direndam air dan merkuri serta dinaikkan keasamannya. Lalu, air mengandung merkuri dan emas itu dialirkan untuk digumpalkan dengan karbon aktif. Selanjutnya, gumpalan dibakar demi mendapat emas murni. Metode ini sangat berbahaya.

Pasalnya, limbah pengolahan emas dibuang di Gunung Botak ke Sungai Anahoni di Waeapo yang memiliki tujuh subdaerah aliran sungai. Sungai itu merupakan sumber utama pengairan lahan pertanian di daerah itu.

Yusthinus T Male, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, Ambon, yang terlibat dalam penelitian pernah menyampaikan bahayanya merkuri bagi manusia. Dia mengatakan, merkuri masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Penelitian ini dimulai pada 2012, setahun setelah aktivitas penambangan massif.

Sebelum memublikasikan hasil penelitiannya, Yusthinus dan Albert Nanlohy selaku pemimpin tim penelitian sudah melakukan uji banding hasil analisis sampel sama di Australia dengan melibatkan peneliti Australia, Amanda J Reichelt-Brushett, ahli lingkungan terkenal di dunia. “Walaupun hanya dua sampai tiga kali melebihi ambang batas, hal itu sudah berbahaya. Melalui proses biomagnifikasi, yaitu pelipatgandaan konsentrasi merkuri melalui rantai makanan, manusia yang menempati puncak rantai makanan akan menerima dampak akumulasi merkuri,” paparnya.

Sementara itu, Menurut data Dinas Pertanian Maluku, pada 2014, dari produksi padi sebanyak 101.836 ton gabah kering giling, 42,33 persen berasal dari Buru. Padahal, banyak area persawahan di Buru menggunakan air dari sungai yang sudah tercemar itu.

Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Krisis Kesehatan Dinas Kesehatan Maluku Ritha Tahitu ketika itu juga mengemukakan temuan merkuri yang melebihi ambang batas di sejumlah lokasi, seperti Teluk Kayeli, tempat pemandian umum di Anahoni, serta sumur bor di Desa Wamsait dan Desa Kayeli. Tahun 2014, memang menjadi puncak penyerbuan penambang emas ilegal di Gunung Botak. Diperkirakan jumlah penambang mencapai 60 ribu orang.

Gunung Botak pun merana, bukan hanya emasnya dikeruk tanpa izin, tetapi Lea Bumi itu juga terpapar racun berbahaya. Ketika Presiden Joko Widodo datang ke Pulau Buru untuk melakukan penanaman perdana 1 juta hektar jagung dan padi Mei tahun lalu, dari helikopter presiden Jokowi melihat Gunung Botak yang gundul dan rusak. Warga juga menyampaikan keluhan tentang keberadaan tambang emas ilegal yang berdiri tidak jauh dari areal pertanian.Presiden Joko Widodo lalu memerintahkan dengan tegas agar tambang tanpa izin itu segera ditutup.

Sejumlah upaya menyisir dan mengeluarkan para penambang liar dilakukan berulangkali. Bukan hanya kepolisian tetapi juga TNI dan Satpol PP. Namun penyisiran dilakukan, beberapa hari kemudian para penambang liar kembali datang. “Lebih dari 23 kali penyisiran, tetapi selalu saja para penambang liar itu kembali datang,” ujar Helen Heumasse, Kasie Pengawasan Konservasi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku.

penambang di Gunung Botak

Sampai akhirnya pasukan Rider didatangkan, penambang emas liar bisa diusir turun. Upaya pembenahan, perbaikan lingkungan pun dilakukan. Pemerintah daerah telah menunjuk PT Buana Pratama Sejahtera (BPS) untuk melakukan normalisasi sungai Anahoni. PT BPS yang memiliki izin berdasar SK Gubernur Maluku nomor 383 tahun 2016 tertanggal 23 November 2016 untuk memanfaatkan hasil penataan dan pemulihan lingkungan pada lokasi bekas pertambangan emas tanpa izin Gunung Botak dan Gogorea. UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda disebutkan perizinan untuk pertambangan dikeluarkan oleh pemerintah provinsi.

Upaya pembenahan pun dilakukan, sedimen yang mengandung sianida dan mercuri diambil dan dikumpulkan untuk kemudian diolah untuk membersihkan racun berbahaya yang terkandung dalam sedimen tersebut. Namun kegiatan normalisasi kembali terganggu, pasalnya Rabu dinihari, 6 Januari 2017, pasukan pengamanan dari Kepolisian ditarik. Sore harinya, pasukan TNI juga keluar dari Gununga Botak. Satpol PP pun menyusul. “Anak-anak kami dan Satpol PP tidak aman, dan nyaman ada di wilayah ini. Pertambangan liar di atas (Gunung Botak) cukup anarkis. Sampai saat ini belum ada lagi (petugas yang berjaga). Yang beroperasi (menjaga kawasan) hanya orang adat,” Helen menjelaskan. Dalam hitungan hari, penambang liar kembali berdatangan.

Upaya pemerintah daerah dalam hal ini Dinas ESDM Propinsi Maluku adalah kembali meminta agar kawasan itu kembali dijaga dan para penambang emas liar kembali disisir. “Keamanan Pilkada penting, tetapi wilayah seperti Gunung Botak ini juga penting untuk dijaga,” kali ini Ruslan Arief Soamole SH angkat bicara. Pria yang akrab disapa Uchok ini adalah Ketua LSM Parlemen Jalanan yang banyak ikut mencermati kerusakan lingkungan maupun pelanggaran hukum yang terjadi di kawasan Gunung Botak.

Menurut Uchok, sebelum aparat keamanan meninggalkan Gunung Botak, merkuri dan sianida masih tetap dijual bebas, karena para penambang illegal terus beroperasi siang dan malam.“Perlu bukti apa lagi, pohon sagu yang rusak, ternak sapi yang mati karena memakan rumput dekat aliran sungai. Bahkan buaya yang ada di sungai juga ditemukan mati karena terkena racun sianida dan merkuri. Tapi mengapa tidak ada langkah tegas untuk memotong rantai penjualan gelap bahan berbahaya ini,” lanjut Uchok.

Kerusakan lingkungan Gunung Botak dan langkah normalisasi bukan hanya persoalan di tingkat daerah. Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan(Menkopolhukam) , Selasa 24 Januari lalu, menggelar rapat koordinasi dengan Jajaran Polri, TNI, Pemprov Maluku dan juga Kejaksaan.

Forum rapat sepakat agar Kemenkopolhukam membuat surat rekomendasi kembali kepada Kapolri dan Panglima TNI berkaitan dengan pengamanan areal bekas tambang ilegal di kawasan tersebut. Lalu tim kajian penataan Gunung Botak dan Geogrea agar melanjutkan evaluasi dalam rangka penataan dan pemulihan areal bekas tambang ilegal.

Rekomendasi terakhir diperintahkan agar tim terpadu Pemprov Maluku agar tetap melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur tentang tim terpadu untuk melakukan tindakan pre emtif, preventif, dan represif serta pembinaan kepada masyarakat di sekitar lokasi.

Sementara itu, Gubernur Maluku Said Assagaff mengungkapkan aktivitas penambangan emas yang dilakukan masyarakat di kawasan gunung Botak tidak bisa ditutup begitu saja. “Begini tambang rakyat itu tidak bisa ditutup, yang saya minta jangan menggunakan sianida dan merkuri,” ungkap Said.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved