Business Research Trends

Indonesia Mencatat Jumlah IPO Terbanyak di ASEAN Meski Pandemi Berlangsung

Indonesia mencatat sebanyak 46 penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) yang diluncurkan dalam sembilan bulan pertama tahun 2020, berdasarkan data pasar modal terbaru oleh Bloomberg. Jika tren berlanjut, Indonesia akan meraih jumlah IPO terbanyak di antara bursa Asia Tenggara pada tahun ini.

Menurut Bloomberg, jumlah IPO di Indonesia pada tahun ini juga merupakan yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Sebagai perbandingan, Malaysia mencatat 10 IPO, lalu tujuh di Thailand dan tujuh di Singapura dalam periode yang sama.

Sekitar US$ 385 juta dana telah dihimpun oleh 46 perusahaan yang berkantor pusat di Indonesia melalui IPO dalam sembilan bulan pertama ini, yaitu kurang dari setengah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Besaran rata-rata setiap penawaran adalah US$8,4 juta, turun 59\% dari rata-rata US$ 20,5 juta pada tahun lalu. Lebih dari 70\% IPO tersebut yang masing-masing menghimpun kurang dari US$ 10 juta dibandingkan dengan 63\% di periode yang sama tahun lalu.

“Di tengah pandemi Covid-19, Indonesia mencatat ada 46 perusahaan yang mencari modal dengan go public, menunjukkan ketahanan pasar modal Indonesia. Meskipun nilai rata-rata lebih kecil dibanding tahun lalu, IPO baru tersebut telah berkinerja dengan baik, dan rata-rata menghasilkan sekitar 80\% di atas harga IPO pada akhir September,” kata Vatsan Sudersan, Kepala Data Global APAC Bloomberg.

Perusahaan dari sektor Keuangan dan Konsumen Non-siklus mendominasi pasar IPO Indonesia tahun ini, masing-masing menyumbang 33\% dari total jumlah dana yang terkumpul. Sebagai perbandingan, sektor Keuangan menyumbang 58\% dari total dana yang dihimpun melalui IPO tahun lalu, karena besarnya US$ 334 juta IPO oleh Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG pada tahun 2019.

Sektor Finansial secara konsisten telah mengumpulkan dana terbanyak di pasar IPO Indonesia selama tiga tahun terakhir, sebuah pergeseran dari sektor Industrial atau industri Konsumen Non-Siklus yang biasanya mendominiasi IPO.

Perusahaan-perusahaan di industri kesehatan termasuk di antara yang berkinerja terbaik dalam IPO tahun ini. Sejauh ini, Metro Healthcare Indonesia, perusahaan dengan besaran penawaran IPO terbesar pada tahun 2020, mengalami kenaikan harga saham sebesar 263\% sejak IPO hingga 30 September. Begitu pula dengan produsen vitamin dan obat-obatan Soho Global Health, harga sahamnya melonjak 388\% sejak pencatatannya hingga akhir kuartal ketiga.

Mengenai pasar obligasi, perusahaan-perusahaan Indonesia telah menerbitkan sekuritas utang sekitar US$ 32 miliar dalam sembilan bulan pertama tahun 2020, yang terdiri dari 99\% total modal yang dihimpun. Penerbitan obligasi pada tahun ini telah turun 6\% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2019. Sebagian besar obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut terdaftar di pasar luar Indonesia, dengan Singapura yang masih menjadi pilihan utama.

Terlepas dari risiko mata uang, perusahaan-perusahaan di Indonesia masih memilih mengumpulkan dana dalam dolar AS. Sekitar 66\% dari utang diperoleh dalam dolar dibandingkan dengan 32\% yang dihimpun dalam Rupiah Indonesia, dan 2\% lainnya dalam Euro.

Dalam hal merger dan akuisisi, jumlah kesepakatan turun sekitar 23\% dalam tiga kuartal pada tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Total volume kesepakatan menurun dari US$10,3 miliar menjadi US$9,4 miliar tahun-ke-tahun. Volume aktivitas tidak seberapa jika dibandingkan dengan kesepakatan senilai US$ 17,3 miliar yang dicatat selama tiga kuartal pertama pada tahun 2018. Sebagian besar kesepakatan merger dan akuisisi berasal dari sektor Konsumen Non-siklus dan Teknologi pada tahun ini. Kesepakatan terpenting termasuk akuisisi Pinehill Co senilai US$ 3 miliar oleh Indofood CBP dan putaran pembiayaan senilai US$ 1,2 miliar untuk Gojek.

Non-Performing Loans (NPL) pada perbankan Indonesia tercatat 3,15\% pada September, ada kenaikan dari 2,5\% pada akhir 2019. Peningkatan NPL tersebut dimitigasi oleh stimulus baru yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk merestrukturisasi kredit. Per 28 September lalu, pinjaman sebesar 904,3 triliun rupiah (US$62 miliar) milik peminjam yang terdampak oleh Covid-19 telah direstrukturisasi, berdasarkan OJK.

“Kami telah melihat celah di pasar utang publik di mana perusahaan melewatkan pembayaran obligasi. Gagal bayar dan kebangkrutan akan menjadi beberapa poin data yang harus diwaspadai oleh investor akibat pandemi Covid-19 yang menghantam ekonomi riil dalam beberapa bulan mendatang,” jelasnya.

Poin data lain yang dapat memberikan wawasan bagi investor adalah uang tunai dari operasi dan pertumbuhan pendapatan, sebuah indikator bahwa bisnis sedang pulih. Sudersen menilai pendapatan beberapa perusahaan terutama di industri pariwisata dan ritel turun lebih dari 90\% di Q2 karena lockdown. Dalam jangka panjang, investor Juga harus memperhatikan poin data seperti perbandingan debt-to-equity dan debt-to-ebitda untuk mengukur kemampuan perusahaan melunasi atau menambah utang, serta seberapa berkelanjutan utang sebanding dengan pendapatan mereka.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved