Business Research

Kajian INDEF : Ekonomi RI Lampu Kuning

Kajian INDEF : Ekonomi RI Lampu Kuning

Lembaga riset independen, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyatakan perekonomian Indonesia terus memburuk alias lampu kuning, didasarkan pada kinerja 10 indikator ekonomi pada triwulan I-2015. Ada 10 indikator ekonomi yang menunjukkan lampu kuning. Pertama, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 sebesar 4,7% merupakan pertumbuhan terendah sejak tahun 2009. Penurunan ini lebih buruk dari triwulan IV-2014 maupun rata-rata pertumbuhan sepanjang 2014 yang masih sebesar 5,0%.

Kedua, kualitas pertumbuhan semakin merosot. Transformasi struktural ekonomi gagal dilakukan, pertumbuhan sektor tradable justru merosot cukup tajam, sedangkan sektor non-tradable masih tetap naik. Sektor jasa justru tumbuh tinggi, seperti jasa informasi dan komunikasi tumbuh 10,53%, jasa laininya 8%, dan jasa keuangan dan asuransi 7,57%. Padahal sektor-sektor tersebut relatif kedap dalam menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja formal. Tak heran jika angka pengangguran pun meningkat pada Februari 2015 (5,81%) dari Februari 2014 (5,70%). Porsi investasi terhadap PDB juga justru semakin kecil, turun dari 32,5% pada triwulan IV- 2014 menjadi 31,94% pada triwulan I-2015.

Ketiga, penerimaan negara menurun. Realisasi penerimaan pajak triwulan I 2015 baru mencapai 15,32% dari target penerimaan pajak 2015, bahkan justru turun 5,63% dibandingkan triwulan I-2014. Keempat, nilai tukar rupiah semakin tertekan. Fluktuasi nilai tukar rupiah terjadi sepanjang triwulan I-2015. Posisi terkuat rupiah hanya pada level Rp 12.444 per dollar AS. Bahkan rupiah sempat mencapai titik terlemah pada posisi Rp 13.237 per dollar AS. Nilai tukar rupiah melemah sejak awal januari hingga awal mei 2015. Rupiah mengalami depresiasi sebesar sepanjang Januari-awal Mei sebesar 4,16%, sementara posisi awal bulan Mei 2015 dibanding awal Mei 2014 melemah sebesar 10,9% (yoy).

Kelima, penurunan keyakinan bisnis. Indeks tendensi bisnis (ITB) yang merupakan refleksi persepsi pelaku usaha terhadap prospek ekonomi yang akan datang juga turun menjadi 103,42 dari 104,07 di triwulan IV- 2014. Hal ini dikonfirmasi oleh perkembangan sektor riil yang terefleksi dari pertumbuhan kredit hanya 12,2%, di bawah target BI sebesar 15-17%.

Aktivitas bongkar muat barang di pelabuhan. (Foto: IST)

Aktivitas bongkar muat barang di pelabuhan. (Foto: IST)

Keenam, ketimpangan antardaerah semakin melebar. Ketimpangan ekonomi antar wilayah semakin memburuk. Kalimantan hanya tumbuh 1,1%, merosot dari capaian selama 2014 sebesar 3,2%, Sumatera hanya tumbuh 3,5% atau melorot dari 4,7% di 2014, Maluku dan Papua tumbuh 3,7% atau turun sebesar 60 basis poin dari petumbuhan 4,3%, Jawa mengalami penurunan paling kecil dari 5,6% tahun 2014 menjadi 5,2% atau 50 basis poin. Hanya Sulawesi dan Nusa Tenggara (Bali, NTB, dan NTT) yang menikmati kenaikan pertumbuhan, Sulawesi naik dari 6,9% menjadi 7,3%, Nusa Tenggara dari 5,9% menjadi 8,9%.

Ketujuh, menurunnya produktivitas nasional. Kinerja industri manufaktur justru semakin terpuruk dimana industri pengolahan hanya tumbuh 3,87%. Nilai ekspor merosot sebesar 11,7%, dan impor nonmigas juga menurun sebesar 5,0%. Kedelapan, menurunnya peran intermediasi perbankan. Total kredit outstanding per Pebruari 2015 melambat dari 18,8% menjadi 12,52% dari posisi januari 2015. Kualitas kredit semakin menurun, ditunjukkan oleh semakin kecilnya aliran kredit ke sektor riil (sektor tradable) . Kesembilan, menurunnya indikator kesejahteraan. Pengangguran terbuka bukan menurun namun justru meningkat 300 ribu. Nilai Tukar Petani (NTP) April turun menjadi 137 padahal pada saat yang sama terjadi kenaikan harga beras.

Kesepuluh, menurunnya daya beli masyarakat. Penjualan mobil turun 9,1%, bahkan pada Februari semakin merosot sebesar 20,6% (yoy). Penjualan sepeda motor juga turun tajam, masing-masing 11,5% pada Januari dan 16,3% pada Februari 2015. Lalu, penjualan semen, makanan olahan, omzet perdagangan eceran semuanya juga mengalami penurunan. Indeks keyakinan konsumen yang ditunjukkan oleh indeks tendensi konsumen (ITK) juga turun dari 107,62 pada triwulan IV-2014 menjadi 106,93 pada triwulan I-2015.

Menanggapi itu, Direktur INDEF Enny Sri Hartati mengatakan, sejak susunan Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi –JK diumumkan 26 Oktober 2014, praktis sudah lebih dari enam bulan pemerintah baru ini efektif bekerja. Tak heran, jika publik mulai melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah dan mulai menagih janji-janji kampanye. Salah satu rapor yang dijadikan dasar penilaian publik adalah kinerja ekonomi selama triwulan I-2015. Indikator ini akan menjadi parameter apakah pemerintahan baru sudah dapat memenuhi tingginya harapan dan ekpektasi publik atau belum.

Menurut dia, INDEF sebagai lembaga riset independen mempunyai tanggung jawab akademis dan sosial untuk turut berkontribusi memberikan masukan guna perbaikan ekonomi Indonesia ke depan. Untuk itu, INDEF melakukan kajian singkat guna mengevaluasi hasil kerja kabinet kerja pemerintahan baru. “Sayangnya, dari beberapa capaian ekonomi selama triwulan I-2015 menunjukkan perkembangan yang justru memburuk, bahkan semakin kontradiktif dari visi Nawacita yang diusung oleh Pemerintahan Jokowi-JK,” ujarnya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved