Business Research

INDEF: Konsistensi Pro-Poor Indonesia Tak Signifikan

INDEF: Konsistensi Pro-Poor Indonesia Tak Signifikan

Pertumbuhan ekonomi yang bisa dinikmati kaum miskin disebut pro-poor. Hal ini telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai perhatian nasional bersama dengan pro-growth dan pro-job. Patut disayangkan, semangat pro-poor kurang menyala dalam kaitannya dengan penyerapan APBN.

Enny Sri Hartati, Direktur INDEF

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menemukan, sebanyak 1% pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup kuat untuk mengentaskan 0,88% penduduk miskin, menggunakan garis kemiskinan US$ 1,25 per hari. Namun, INDEF menganggapnya tidak signifikan.

“Ini sangat tidak efektif di Indonesia karena postur anggaran untuk pertumbuhan ekonomi sangat kecil,” keluh Direktur INDEF, Enny Sri Hartati. Dibandingkan Thailand yang mengalokasikan 20,5% anggaran untuk layanan ekonomi (economic services), Indonesia mengalokasikan hampir setengahnya saja, yakni sebesar 11,6% pada 2011. Pada tahun yang sama, Malaysia mengalokasikan 57,6% belanja negara untuk layanan ekonomi. Layanan tersebut meliputi sektor industri, perdagangan, pertanian, serta usaha mikro dan kecil.

“Pengaruhnya sangat signifikan ketika Thailand punya porsi anggaran untuk ekonomi secara relatif memadai, yakni elastisitas ptumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan yang sangat bagus,” ujar Enny menyatakan opini. Berpijak pada data anggaran belanja tahun 2011, INDEF membuat tolok ukur (benchmark) untuk anggaran dalam negeri 2012-2013. Dinilai, postur anggaran Indonesia tidak efisien akibat perbesaran defisit terus-menerus dan realisasi subsidi migas yang melampaui kuota.

Selanjutnya, INDEF melakukan simulasi dampak pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat. Bila anggaran infrastruktur dtingkatkan Rp 20 triliun dari pengurangan belanja pegawai, barang, dan pembayaran bunga, dampaknya ada pengurangan 0,39% jumlah penduduk miskin. PDB pun bs bertambah 0,35% dari pencapaian tahun 2012. “Ini dengan mutu dan pola pembangunan yang tetap seperti sekarang,” tegas Enny.

Simulasi dilanjutkan dengan mengefektifkan penyerapan belanja modal tanpa menambahkan Rp 20 triliun tadi. Hasilnya, jumlah penduduk miskin bisa berkurang 0,85% dan PDB naik lebih tinggi hingga 0,86%. “Kalau pola pembangunan diperbaiki, ada peran stimulus fiskal. Barulah keberadaan pemerintah dan APBN terasa,” tutup Enny. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved