Business Research

Membedah Benefit Sistem Keuangan Syariah Bagi Kehidupan

Membedah Benefit Sistem Keuangan Syariah Bagi Kehidupan

Berangkat dari kajian yang disampaikan oleh Dr. Ir. Iman Sugema, ahli ekonomi makro Institute Pertanian Bogor, jumlah masyarakat Indonesia yang telah mengenal manfaat dari sistem keuangan syariah, misalnya banking , asuransi masih sangat sedikit, yakni tidak lebih dari 5% jumlahnya. Padahal apabila sistem ekonomi syariah diaplikasikan daripada sistem konvensional, maka sangat banyak mudharat yang bisa dihilangkan.

iman-sugema

Hanya saja bagi sebagian masyarakat yang mengerti benefit asuransi, memandang bahwa sektor konvensial cenderung lebih diterima dibandingkan dengan syariah. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan masih kuatnya sektor – sektor konvensional dengan dominasinya terhadap pangsa asuransi di Indonesia. Padahal, jika dikupas banyak sekali mekanisme praktik asuransi yang jauh dari unsur – unsur keadilan seperti masih memungkinkannya riba (interest based activities), maysir (speculative motive), dan gharar (unclear information).

Imam mengamati fenomena dominasi sistem konvensional dalam hal banking misalnya, dikarenakan lebih massive-nya upaya mereka untuk menciptakan awareness di kalangan masyarakat ketimbang yang dilakukan oleh syariah.

“Dalam iklan mereka lebih aktif, bisa dilihat baik itu di televisi, media cetak, bahkan advertising di sepanjang jalan, hampir keseluruhannya didominasi oleh bank – bank konvensional. Oleh karena itu masyarakat lebih ter-set up mindsetnya untuk dealing dengan mereka,” jelas Imam.

Padahal antara syariah dan konvensional, praktiknya sangat jauh berbeda. Jika di konvensional tidak lepas dari unsur – unsur riba, maysir, dan gharar maka untuk sektor syariah unsur – unsur tersebut secara tegas dilarang. “Sesuai dengan prinsip dasar keuangan syariah, unsur riba, maysir, dan gharar dihilangkan, sehingga dapat menciptakan transaksi dengan maslahah, keadilan & ridho bil ridho sehingga mulai dari proses hingga hasil membuahkan sesuatu yang halalan thoyiban,” tandas Imam Sugema saat memberikan kuliah umum mengenai banking syariah di Four Season Hotel (15/7).

Dalam syariah, ada prinsip – prinsip dasar yang dijalankan, yakni keadilan maslahah, zakat, dan bebas dari kebathilan (hal – hal yang tidak sah). Prinsip keadilan ialah bank dapat melakukan penjaminan atas unsur keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak, tata hubungan sederajat dengan implikasi tidak ada pihak yang dirugikan, keberpihakan pada kebenaran, serta menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Adapun prinsip maslahah lebih kepada orientasi untuk menciptakan positive impact kepada masyarakat. “Bentuk orientasi ini misalnya seperti pemenuhuhan masyarakat banyak yang didasari akan kebutuhan bukan keinginan. Selain itu juga pengembangan investasi pada sektor halal dan jauh akan tendensi destruktif,” pungkas pria penyandang gelar Ph.D dari Australian National University ini.

“Sementara untuk prinsip zakat kalau konvensional melihat sebagai charity, tapi bagi syariah sifatnya kewajiban. Selain itu unsur ini juga diposisikan sebagai upaya pengendalian harta masyarakat untuk investasi bukan sekedar distribusi saja,” tandasnya.

Lebih lanjut lagi Imam juga memaparkan bahwa unsur kebathilan (riba, gharar, dan maysir) tidak dipraktekkan. Hal tersebut lantaran sangat besar kemungkinannya untuk memunculkan pihak yang dieksploitasi. “Dalam perbankan syariah, uang bukanlah hal untuk diperdagangkan. Namun sebaliknya pertumbuhan uang didasarkan dengan pertumbuhan usaha, yakni implementasinya yang paling banyak dikenal adalah sistem bagi hasil,” pungkasnya.

Kemudian, yang mengkontraskan lagi adalah etika dalam sistem keuangan. Imam menjelaskan, bahwa jika dalam sistem keuangan konvensional melumrahkan freedom from coercion, dimana dalam artian tidak adanya paksaan dalam transaksi maka dalam sistem keuangan syariah berlaku freedom to contact yakni sebuah transaksi akan menjadi tidak sah jika terdapat unsur paksaan. “Dalam pembayaran apapun, jika transaksi yang terjadi memberatkan salah satu pihak, maka akan dicarikan dengan metode yang saling berterima satu sama lain,” jelas Imam.

Adapun kaitannya dalam hal ini, suatu pihak bisa saja mendiskusikan suatu metode pembayaran tertentu. Seperti yang dipaparkan oleh Imam bahwa ada beberapa alternatif metode pembayaran dalam islam, antara lain metode salam (membayar sekian persen, kemudian sisanya akan dibayarkan setelah tenggat waktu yang ditentukan), metode muqayyadah (membayar dengan barang, dimana barang tersebut senilai dengan jumlah yang harus dibayarkan), metode muthlaq (pembayaran dengan menggunakan suatu bentuk yang telah disepakati kedua belah pihak, bisa saja berbentuk tenaga atau fikiran), serta metode dengan alat tukar yakni seperti pembayaran dinar dengan dirham.

Masih soal etika dalam sistem keuangan, untuk sistem keuangan konvensional, menurut Shefrin and Stratman (1992), ada beberapa etika yang diimplementasikan, yakni yang pertama adalah freedom from misinterpretation di mana bisa saja suatu kontrak jual – beli mengandung unsur riba. Kemudian ada pula etika right to equal information yang diartikan sebagai hak yang sama untuk mendapatkan akses informasi.

Walaupun kedua – belah pihak memiliki porsi yang seimbang akan akses informasi seputar kontrak jual – beli, namun bisa saja salah satu pihak memiliki ketidakpastian akan sebuah informasi, dengan tidak dibukanya secara gamblang akan informasi tersebut, atau mungkin dirumitkan metodenya sehingga bisa sangat mungkin ada unsur “tricky” di dalamnya guna memuluskan jalan bagi riba untuk masuk.

Berbeda halnya dengan etika dalam sistem keuangan islam, dimana seluruh kontrak dan transaksi tidak dibenarkan apabila mengandung unsur paksaan maupun riba. Ditambah lagi dengan adanya etika freedom from al Gharar (excessive uncertainty) kedua belah pihak wajib hukumnya menjalin kontrak dengan tanpa adanya kondisi ketidakpastian. Dalam hal ini kedua belah pihak memberlakukan kontrak tanpa adanya niat untuk saling mengeksploitasi kelemahan lawannya, yakni kontrak tersebut didukung oleh keterbukaan informasi satu sama lain.

Dalam hal ini juga terkait dengan dominasi salah satu pihak untuk memanipulasi atau mengkontrol harga, dimana sangat tidak dibenarkan dalam hukum syariah yang menerapkan sistem pasar bebas dimana harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran, dengan lembaga hisbah sebagai pengawas pasar.

Hal ini juga terkait dengan etika selanjutnya yakni freedom from Al-Qimar (gambling) dan Al Maysir (unearned income) serta entitlement to transact at fair prices. Dalam hal ini, salah satu pihak bisa saja didorong untuk mengeluarkan spekulasi atas suatu keuntungan. Dalam syariah hal tersebut tidak dibenarkan karena mengarah ke Maysir. Sebaliknya harga yang didasarkan pada penaksiran haruslah harga yang wajar.

Imam menyimpulkan bahwa etika keuangan Islam tersebut ditujukan utnuk menciptakan mutual cooperation dan solidaritas bagi setiap pihak yang terlibat dalam kegiatan jual beli tersebut, tak terkecuali pihak ke-3. “Ini sesuai dengan dalil naqli, yakni Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah,” tandas Imam. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved