Business Research

Menakar Potensi Revaluasi Aset BUMN

Menakar Potensi Revaluasi Aset BUMN

Wacana revaluasi aset BUMN semakin mengemuka. Musababnya selain untuk mendapatkan nilai kewajaran kekayaan di dalam laporan keuangan perusahaan pelat merah, revaluasi aset BUMN bisa mendatangkan secara langsung tambahan penerimaan pajak negara.

Seperti diketahui jumlah aset dari ratusan BUMN belum mencerminkan nilai aset terkini atau present value. Hanya BUMN yang sudah go public saja yang asetnya divaluasi berkala. Padahal, dari 119 BUMN, hanya 20 perusahaan saja yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Artinya aset BUMN sesungguhnya bernilai jauh di atas Rp 4.500 triliun, angka yang tercatat tahun 2014.

Konsultan Pajak dari RSM AAJ, Sentot Agus Priyanto, menjelaskan terdapat berbagai keuntungan yang diraih ketika perusahaan BUMN melakukan revaluasi aset. Salah satunya ialah adanya peningkatan struktur modal. Jika direvaluasi menggunakan basis penilaian saat ini, aset dan nilai buku perusahaan-perusahaan BUMN akan melonjak. Artinya bahwa rasio utang terhadap modal atau DER (Debt To Equity Ratio) menjadi lebih baik, dengan membaiknya DER maka perusahaan bisa melakukan pinjaman lebih besar untuk melakukan ekspansi.

PLN misalnya, saat ini, punya banyak kebutuhan pendanaan untuk mendorong program listrik 35.000 MW. Dilakukannya revaluasi aset, dalam hal ini bisa jadi salah satu strategi untuk menambah kemampuan PLN untuk mengajukan pinjaman jauh lebih besar kepada perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya.

Namun toh, belum tentu perusahaan BUMN memandang revaluasi ini merupakan hal mendesak. Banyak juga hal yang harus dipertimbangkan ketika ingin melakukan revaluasi. Terlebih pengaruhnya terhadap cash flow perusahaan, seperti pembayaran pajak final sebesar 10 %.

RSM AAJ

PLN contohnya, taruhlah asetnya sebesar Rp 600 triliun. Bila nanti dilakukan revaluasi, bisa saja asetnya meningkat 20 persen menjadi Rp 720 triliun, atau selisih 120 triliun dari angka sebelumnya. Bila Rp 120 triliun dikali dengan 10 persen, maka ada tambahan pajak sebesar Rp 12 triliun yang harus dikeluarkan PLN. “Tambahan pajak ini yang terkadang menjadi pertimbangan sebuah perusahaan BUMN belum merevaluasi asetnya,” ujarnya.

Meski begitu tentunya penambahan pajak ini tidak selalu berkonteks negatif. Dari sisi penerimaan pajak, revaluasi bisa menjadi hal positif dan berkontribusi pada target peneriman pajak negara. Bayangkan saja bila semua perusahaan BUMN akhirnya melakukan revaluasi, seberapa besar potensi pajak yang bisa diraup Direktorat Jendral Pajak. “Mungkin kontribusinya bisa 5 sampai 10 persen dari target pajak 2015 sebesar Rp 1.294,258 triliun. Kecil sih, tapi setidaknya ada tambahan ke penerimaan pajak,” ujarnya.

Ia pun mengapresiasi langkah Direktorat Jendral Pajak menawarkan kemudahan bagi perusahaan yang ingin melakukan revaluasi tahun ini, yakni dengan memberikan wacana diskon tarif pph final menjadi hanya 5% dari yang sebelumnya 10%.”Ini bisa jadi bahan untuk menarik minat,” ujarnya.

Berbagai alternatif solusi lain juga ia ceritakan, banyak mengemuka belakangan hari di pemberitaan media-media. Solusi tersebut antara lain mengkonversi pajak menjadi penambahan modal pemerintah, dan wacana menggunakan kompensasi kerugian dalam pph final atas selisih lebih nilai revaluasi. “Wacana-wacana ini perlu ada peraturan baru sebagai revisi aturan yang sudah ada,” ujarnya.

Hingga 31 Agustus 2015, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 598,270 triliun dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,258 triliun. Angka ini mewakili 46,22% pencapaian target. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved