Business Research Trends zkumparan

Pelaku Usaha Global Meyakini Sistem Perdagangan Dunia Dapat Pulih

Bloomberg baru saja merilis hasil survei globalnya bertajuk New Economy yang melibatkan lebih dari 2.000 pelaku usaha profesional yang berasal dari 20 negara berbeda.

Survei tersebut mengungkapkan bahwa 7 dari 10 (74 persen) pelaku usaha merasa optimistis bahwa sistem perdagangan global dapat pulih kembali dalam jangka panjang. Di tengah ketegangan perang dagang antara AS dan Tionghoa saat ini, lebih dari separuh responden (55 persen) meyakini bahwa dalam waktu lima tahun ke depan, akan ada lebih banyak perdagangan yang dilakukan secara global. IMF sempat memperingatkan bahwa konflik perdagangan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara global yang diprediksi dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen tahun ini.

Dengan kemunculan ekonomi baru, separuh pelaku usaha global yang disurvei meyakini bahwa era globalisasi yang mengedepankan perdagangan bebas multilateral dan prinsip perbatasan terbuka merupakan hal efektif. Namun, para responden juga menegaskan perdagangan bebas multilateral dan dan prinsip perbatasan terbuka perlu disesuaikan dengan masing-masing negara sehingga dapat menghasilkan manfaat yang optimal bagi perekonomian.

Para pelaku usaha yang disurvei juga memprediksi bahwa Tionghoa (86 persen), Amerika Serikat (70 persen), dan Jepang (36 persen) akan menjadi tiga negara teratas dengan perekonomian terbesar dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

“New Economy Survey bertujuan untuk memahamki pandangan dan sentimen publik mengenai perekonomian dunia yang saat ini sedang mengalami sebuah perubahan. Hal ini merupakan tema utama yang akan kami bahas dalam New Economy Forum di Singapura bulan depan,” kata Justin B. Smith, CEO Bloomberg Media Group. Survei ini menunjukkan persepsi para pelaku usaha yang berbeda-beda dan menggarisbawahi pentingnya menyatukan para pemimpin bisnis dan pemerintah di seluruh dunia untuk menemukan solusi dalam menghadapi sejumlah tantangan terbesar secara global.

Global governance (26 persen) dianggap sebagai tantangan utama yang perlu diselesaikan. Hal ini banyak dikemukakan oleh para responden yang berasal dari India (39 persen), Filipina (35 persen), Malaysia (31 persen), dan Timur Tengah (41 persen). Hal ini menunjukkan adanya kurang kepercayaan terhadap kepemimpinan pemerintah, namun tiga perempat (75 persen) responden berpendapat bahwa para pemimpin bisnis dan pemerintah di dunia harus menjadi penggerak utama yang mampu menciptakan inisiatif dalam mengatasi tantangan global. Di sisi lain, sekitar 10 persen responden merasa bahwa hanya perusahaan dan lembaga sektor swasta yang mampu mengatasi tantangan global saat ini.

Smith mengatakan, hanya perusahaan sektor swasta yang mampu mengatasi tantangan-tantangan global akibat kemunculan ekonomi baru di dunia karena pemerintah dianggap gagal bertindak. “Kami merasa bahwa perusahaan-perusahaan swasta harus memilki andil yang lebih besar dan memimpin upaya-upaya dalam mengatasi tantangan-tantangan global. Ekonomi baru semakin memiliki pengaruh yang besar dalam dunia perdagangan dan bisnis secara global. Dunia pun semakin berubah, oleh karenanya, penting sekali untuk melakukan pembahasan yang real dan melakukan tindakan nyata secara jangka panjang untuk menghadapi tantangan-tantangan global saat ini,” jelasnya.

Survei menunjukkan bahwa para responden lebih menunjukan optimisme terhadap prospek perdagangan di negara-negara berkembang dibandingkan dengan prospek di negara maju (terutama di negara-negara maju yang menjalankan prinsip proteksionis). Setidaknya tiga dari lima (63 persen) responden yang berasal dari negara berkembang meyakini bahwa dalam waktu lima tahun ke depan, akan semakin banyak perdagangan yang terjadi di dunia. Hal ini dikemukakan oleh banyak responden yang berasal dari China (66 persen), Indonesia (74 persen), Filipina (76 persen), Thailand (80 persen), dan India (71 persen). Pandangan ini sangat berbeda dengan para responden yang berasal dari negara maju karena hanya satu pertiga (36 persen) yang optimis akan semakin banyak perdagangan yang terjadi di dunia dalam waktu lima tahun ke depan.

Tom Orlik, Bloomberg’s Chief Economist, mengatakan, salah satu temuan yang paling menarik dalam survei ini adalah adanya perbedaan pandangan mengenai prospek bisnis. Para responden sangat optimis terhadap prospek perdagangan di negara-negara berkembang, namun sangat pesimis terhadap negara-negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa perang dagang sepertinya tidak menimbulkan efek yang besar di negara-negara berkembang. Jika para pelaku usaha tetap optimis terhadap prospek perdagangan, maka berlanjutnya rekrutment tenaga kerja dan investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi meskipun tariff masuk terus naik.

Responden yang berasal dari negara berkembang juga lebih percaya diri terhadap masa depan dan lebih termotivasi menghadapi tantangan bisnis daripada responden dari negara maju. Setidaknya 66 persen responden dari negara berkembang mengatakan bahwa mereka sedang mempelajari teknologi baru dibandingkan dengan 43 persen responden dari negara maju. Lalu, 56 persen responden dari negara berkembang mengatakan bahwa mereka berupaya meningkatkan keterampilan dan mengikuti kursus tambahan dibandingkan dengan 29 persen responden dari negara maju. Selain itu, para responden dari negara berkembang juga semakin menyadari pentingnya memulai jenis usaha baru (35 persen) dan menjadi lebih memahami isu-isu terkait lingkungan hidup (50 persen), dibandingkan dengan responden dari negara maju (10 persen dan 37 persen).

Riset ini juga mengungkapkan bahwa secara keseluruhan, 60 persen responden mengatakan bahwa mereka mulai mempelajari teknologi baru untuk menghadapi masa depan. Namun, tingkat pembelajaran teknologi di negara maju (43 persen), terutama Amerika Serikat (30 persen), Inggris (33 persen) dan Jerman (42 persen) ternyata lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang.

Para pelaku usaha dari negara-negara berkembang sangat terbuka dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan meyakini bahwa hal tersebut dapat menghadirkan peluang kerja baru yang akan menghasilkan manfaat bagi perekonomian dalam negeri. Pandangan ini banyak dikemukakan oleh repsonden yang berasal dari China, India, dan Vietnam. Namun, hanya lima persen responden dari negara berkembang yang tidak berencana untuk melakukan apa pun untuk menghadapi tantangan masa depan.

Di sisi lain, responden dari negara maju (27 persen) yang mengatakan tidak akan melakukan apa pun untuk menghadapi tantangan masa depan berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah rata-rata responden yang menjawab (12 persen) demikian.

Bloomberg New Economy Forum bertujuan untuk mengembangkan solusi yang diprakarsai oleh sektor swasta untuk menghadapi tantangan-tantangan terbesar dalam sektor perdagangan, teknologi, keuangan dan pasar modal, iklim, urbanisasi, dan inklusi di dunia. New Economy Forum akan diselenggarakan oleh Michael R. Bloomberg di Singapura pada tanggal 6-7 November 2018 dan mengundang 400 pemimpin terkemuka dalam rangka mencari solusi untuk menghadapi tantangan perekonomian dunia yang saat ini sedang mengalami perubahan.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved