Business Research

Pertumbuhan Pendaftaran Merek Lokal Dinilai Masih Minim

MIAP melakukan sosialisasi dengan takjil.

MIAP melakukan sosialisasi dengan takjil.

Direktorat Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan pertumbuhan pendaftaran merek oleh usaha kecil menengah (UKM) lokal mencapai 6-7% per tahun. Tingkat pertumbuhan tersebut dinilai masih cenderung minim di tengah serbuan merek asing yang masuk ke Indonesia.

Direktur Kerja sama dan Promosi Dirjen HKI Kemenkumham, Parlagutan Lubis, mengatakan, pihaknya terus berupaya agar tingkat pertumbuhan tersebut bisa meningkat signifikan tiap tahunnya. “Tingkat pertumbuhan ini sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi jika ada kesadaran dari pemilik merek untuk mendaftarkan produknya. Untuk itu kami terus berupaya dan menyosialisasikan pentingnya pendaftaran merek bagi pengusaha,” jelas Parlagutan usai menghadiri acara Penyerahan Takjil Simpatik Peduli Asli di Jakarta, Rabu (1/7).

Dia menambahkan, pihaknya tiap hari menerima pengajuan pendaftaran merek sebanyak 500-600 berkas. Pengajuan tersebut berasal dari produk dalam negeri dan asing. “Pengajuan merek yang masuk ke divisi kami biasanya merupakan produk pakaian, obat-obatan, dan kosmetik,” ujarnya.

Dari jumlah berkas pengajuan pendaftaran merek, lanjut dia, tidak semuanya disetujui. Sejumlah merek yang dinilai masih mengandung unsur penjiplakan dari merek lain tidak mendapatkan persetujuan. “Masih ada pengusaha yang produknya tidak 100% asli artinya masih mengandung tiruan. Yang seperti inilah yang tidak kami setujui. Dari jumlah pengajuan merek, yang disetujui biasanya mencapai 60-70%,” ungkapnya.

Sementara itu, untuk mendorong pertumbuhan jumlah UKM lokal yang mendaftarkan mereknya, pemerintah tengah mengupayakan revisi atas undang undang hak cipta. Salah satu poin yang dibahas dalam revisi tersebut yakni terkait jangka waktu pendaftaran merek. “Saat ini, untuk mendaftarkan merek biasanya membutuhkan waktu hingga satu setengah tahun. Kami rencananya akan memangkasnya menjadi tujuh hingga delapan bulan dengan harapan semakin banyak pengusaha yang peduli terhadap merek yang dimiliki,” tegasnya. Saat ini, proses revisi undang-undang hak cipta telah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat dan telah dibuat panitia kerja (panja).

Terkait masih maraknya peredaran barang palsu di Indonesia, pemerintah terus bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya untuk menggalakkan kampanye peduli asli. Sosialisasi ditekankan kepada kerugian yang bisa dialami jika menggunakan barang palsu. “Contohnya saja jika menggunakan suku cadang kendaraan yang palsu. Itu kan bisa merusak kendaraan dan berpotensi mengakibatkan kecelakaan bagi si pengendara. Ini yang harus selalu kita tekankan,” ujar Parlagutan.

Selama ini, peredaran suku cadang kendaraan palsu banyak ditemukan di wilayah Surabaya. Umumnya, suku cadang yang dipalsukan tersebut merupakan produk Jepang. “Namun sayangnya produsen jarang melaporkan bahwa produknya dipalsukan. Itulah yang membuat kami kesulitan dalam memberantas produk palsu,” tambahnya lagi.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Justisiari P Kusumah mengatakan, berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap tujuh komoditas menyebutkan adanya tren peningkatan peredaran barang palsu di Indonesia.

“Survei terakhir yang kami lakukan pada 2014 memang menunjukkan ada peningkatan dibandingkan 2010. Peningkatan ini kemungkinan karena pada 2008 terjadi krisis ekonomi sehingga konsumen memilih menggunakan barang palsu,” jelas Justisiari.

Pada 2014, MIAP bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melakukan survey terhadap tujuh komoditas yang sering dipalsukan. Ketujuh komoditas tersebut antara lain tinta printer (49,4%), pakaian (38,9%), barang dari kulit (37,2%), piranti lunak (33,5%), kosmetik (12,6%), makanan dan minuman (8,5%), dan produk farmasi (3,8%). Hasil sigi juga menunjukkan potensi kerugian negara akibat pemalsuan mencapai Rp65,1 triliun. Angka tersebut meningkat dari survei di 2010 yang sebesar Rp43,2 triliun. “Angka-angka inilah yang perlu mendapat perhatian khusus bagaimana jumlahnya bisa diminimalisir. Berapapun jumlahnya harus dikurangi,” kata Justisiari. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved