Business Research

Tekad Turunkan Emisi Gas CO2, PES Gunakan Plan Vivo

Tekad Turunkan Emisi Gas CO2, PES Gunakan Plan Vivo

Ilustrasi emisi gas CO2. Foto: dw.de

Ilustrasi emisi gas CO2. Foto: dw.de

Tingginya potensi emisi gas karbondioksida di Indonesia, 20 komunitas pengelola hutan yang mengatasnamakan The Indonesia Community Payment for Environmental Services (PES) atau Konsorsium Pengelola Jasa Lingkungan Indonesia mengadakan program penurunan emisi berbasis masyarakat. Program ini memfasilitasi masyarakat pengelola hutan untuk mengintegrasikan rencana pengelolaan hutan yang mereka buat termasuk rencana melindungi hutan dengan strategi penurunan emisi. Program ini juga membantu mereka untuk menghitung besaran emisi yang bisa diturunkan.

Sebanyak 20 komunitas tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat. Luas lahan hutan yang masuk dalam program penurunan emisi gas rumah kaca berbasis masyarakat mencapai sekitar 69.300,12 ha. Sedangkan jumlah kepala keluarga (KK) yang terlibat mencapai 17.002 Kepala Keluarga.

“Program ini diharapkan dapat berkontribusi dalam implementasi Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), dan memberi manfaat berupa nilai tambah yang berasal dari besaran emisi karbon yang berhasil diturunkan,” ungkap Arif Aliadi, Ketua PES Consortium saat konfrensi pres Program Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Berbasis Masyarakat di Jakarta, (5/3).

Menurut Alif, agar dapat diapresiasi, maka besaran emisi karbon akan diukur dengan menggunakan standard Plan Vivo, yaitu: salah satu standar internasional untuk menghitung besaran penurunan emisi karbondioksida.

Senada dengan ungkapan Alif, Chris Stephenson, Direktur Plan Vivo, menjelaskan bahwa Plan Vivo sudah diterapkan di berbagai negara, seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia. “Pada tahun 2014, standar Plan Vivo telah digunakan di 29 negara. Diperkirakan ada USD 8 juta nilai manfaat yang dinikmati oleh 10.000 komunitas pengelola hutan,” tambah Chris.

Hadir dalam acara tersebut Penasihat Senior untuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Yetti Rusli. Menurutnya program penurunan emisi berbasis masyarakat sejalan dengan RAN GRK di sektor kehutanan, khususnya kehutanan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah telah menentukan target volume emisi gas karbondioksida (CO2) yang harus diturunkan.

“Kami berharap Hutan Kemasyarakatan (HKm) dapat berkontribusi untuk menurunkan emisi sebesar 91,75 juta ton CO2 dari areal seluas 2.500.000 ha. Sedangkan Hutan Desa diharapkan dapat berkontribusi mengurangi emisi sebesar 9,18 juta ton CO2 dari areal seluas 250.000 ha,” sambung Yetti

Program penurunan emisi berbasis masyarakat juga didukung oleh We Forest yang akan berkontribusi dalam membangun hutan melalui program rehabilitasi hutan. Menurut Direktur We Forest, Victoria Gutierrez pada 2015 We Forest akan mendukung program rehabilitasi hutan dengan jumlah total bibit 500.000 bibit. Pada tahap pertama ini dukungan akan diawali di 4 lokasi dan diharapkan dukungan dapat dilanjutkan untuk tahun-tahun selanjutnya dengan jumlah yang lebih banyak.

Program rehabilitasi hutan sangat penting karena semakin rusak hutan berarti semakin tinggi emisi yang dihasilkan, yang selanjutnya akan menyebabkan ketidak seimbangan komposisi gas rumah kaca di atmosfir. Pada gilirannya, hal ini akan berakibat pada terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Sebaliknya, semakin luas hutan yang dijaga dari kerusakan maka semakin rendah emisi yang dihasilkan, dan pemanasan global dapat dicegah.

Gas karbondioksida adalah salah satu gas rumah kaca yang dapat diserap oleh hutan sehingga gas tsb. tidak terlepas (emisi) ke atmosfir. Peran hutan untuk mencegah terjadinya emisi adalah salah satu bentuk dari jasa lingkungan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved