Business Research

Tidak 100% Benar Anggapan Hasil Penelitian Lembaga Banyak Masuk Laci

 Tidak 100% Benar Anggapan Hasil Penelitian Lembaga Banyak Masuk Laci

Kusmayanto Kadiman

Hingga kini masih terjadi jurang pemisah yang lebar antara lembaga-lembaga penelitian dengan dunia usaha. Akibatnya, diperkirakan banyak penelitian yang tidak dapat diaplikasikan ke dunia usaha atau masyarakat. Untuk mengetahui lebih detail tentang hal itu, Kristiana Anissa dari SWA mewawancarai Kusmayanto Kadiman, mantan Menristek Kabinet Indonesia Bersatu dan mantan rektor ITB. Beriku petikan wawancaranya:

Benarkah hingga saat ini masih banyak hasil penelitian yang hanya tersimpan di laci lembaga penelitian dan tidak diaplikasikan? Mengapa demikian?

Tidak seratus persen benar !

Penelitian itu secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu, pertama, pnelitian yang sifatnya murni studi akademis yang hasil penelitiannya juga bersifat sangat akademis. Misalnya, riset tentang pencarian gugus bintang atau planet baru yang merupakan penelitian bidang astronomi. Hasil penelitian selain berwujud laporan hasil penelitian juga berupa makalah ilmiah atau populer yang publikasinya terbatas dan beredar di kalangan terbatas yaitu kalangan ilmuwan bidang astronomi atau astrofisika.

Contoh lain kajian antropologi atas asal usul manusia. Lalu ada pula riset matematika yang berupaya menghasilkan formula matematika atas wujud yang ada di alam seperti bentuk serta dinamika awan, ombak lautan dan gerakan magma. Hasil penelitian seperti ini sering dinilai oleh publik khususnya di negara-negara terbelakang dan berkembang tidak memberi manfaat, tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat atau memiliki potensi komersial dalam dunia ekonomi dan industri.

Penelitian aplikatif yaitu jenis penelitian yang hasil penelitiannya bisa memiliki dampak positif pada kehidupan keseharian kita. Misalnya penelitian yang menghasilkan varietas padi yang lebih tinggi hasil panennya, kuat terhadap serangan hama, tahan terhadap perubahan cuaca dll. Begitu juga penelitian yang menghasilkan intrumen pendeteksi pernyataan bohong para pejabat, politisi dan pengusaha korup. Contoh lain adalah penelitian yang menghasilkan produk kesehatan yang membuat pria lebih perkasa atau wanita yang lebih awet muda dan menarik.

Jika hasil penelitian ini diperlakukan oleh penelitinya sebatas pada pemenuhan laporan teknis, administrasi dan keuangan serta sebatas publikasi ilmiah saja maka layaklah dituding sebagai “disimpan dalam laci lembaga penelitian saja”. Walau jangan dilupakan bahwa masih panjang dan berliku jalan yang harus ditempuh untuk dapat sukses membuat sebuah hasil penelitian yang potensial bisa masuk ke industri untuk diproduksi masal dan laku dipasar. Jurang pemisah antara Kaum ABG (Academics, Business & Government) masih sangat lebar dan dalam. Masing-masing A, B dan G masih asyik dengan dunianya sendiri bak para penderita autis, khususnya di negara kita ini.

Mengapa hasil-hasil penelitian itu tidak dimanfaatkan kalangan bisnis atau diterapkan di masyarakat?

Seperti sudah dikatakan dibagian terdahulu, jurang pemisah antara dunia akademis (termasuk riset) dengan industri masih ternganga lebar. Pemerintah (government) belum mampu secara efektif menjadi intermediator. Tanpa kebijakan dan insentif yang jelas dan tegas dari pemerintah maka kecil kemungkinan jurang pemisah A-B ini diperkecil. Industri lebih suka memilih jalan pintas menggunakan dan membeli proven technology dari mitra atau induk semangnya di luar negeri.

Di sisi lain, pelaku riset akan terus terperangkap dalam academic exercise ketimbang melakukan riset terapan ataupun action research. Insentif pajak (tax insentive atau tax deduction) adalah instrumen pamungkas yang bisa digunakan pemerintah untuk membuat dunia industri tertarik melakukan komersialisasi dari hasil penelitian. Sudah ada upaya Pemerintah yaitu melalui UU Iptek dan Peraturan Pemerintah (PP) yang menawarkan insentif namun realisasinya masih setengah hati, belum ada kesepakatan ataupun harmonisasi antar kementerian dalam implementasi dari UU dan PP tersebut.

Dalam periode 2004 – 2009, saya termasuk dari aktor yang tidak berhasil melakukan harmonisasi ABG. Para pelaku riset juga harus ditarik dan didorong untuk keluar dari zona nyamannya. Riset yang dilakukan harus diperluas agar jangan berkutat dalam riset yang hanya untuk riset. Harus dipancing dan dicambuk agar melangkah kearah komersialisasi. Misalnya hasil riset yang potensial harus didorong untuk memperoleh Hak Atas kekayaan Intelektual (HaKI) baik berupa paten ataupun formula terproteksi. Serupa dengan kasus A vs B, A dengan G masih juga bermain tarik-ulur tanpa progres riil.

Apa yang harus dilakukan lembaga-lembaga penelitian untuk mendorong para penelitinya menghasilkan temuan yang spektakuler dan bisa dikomersialkan?

Lembaga penelitian harus melakukan reorganisasi dan restrukturisasi agar bisa bertindak sebagai sebuah lembaga profesional. Semua penelitian harus terkoordinasi dan terkelola dengan baik dan benar. Para peneliti dipayungi agar tidak “jualan” sendiri-sendiri. Urusan dengan pemerintah dan dunia bisnis juga harus terencana, teralisasi dan di-evaluasi secara berkesinambungan.

Melalui lembaga, pengelolaan sarana dan prasarana yang peran vital dalam kegiatan penelitian bisa efisien. Melalui lembaga, daya tawar para peneliti dalam berurusan dengan pemerintah dan industri akan lebih tinggi. Di sisi lain, akuntabilitas yang mejadi kata kunci yang dituntut dunia bisnis dapat dijamin oleh lembaga riset.

Tidak kalah pentingnya, lembaga penelitian harus memiliki divisi promosi, pemasaran, keuangan dan legal. Setiap lembaga penelitian harus memilih fokus penelitiannya dan memiliki rencana strategis. Semua peneliti, sarana dan prasarana diarahkan untuk melakukan sinkronisasi dengan visi dan rencana strategis lembaga yang menaunginya. Dengan demikian peneliti bisa fokus pada kegiatan penelitian dengan dukungan logistik memadai.

Apakah selama ini sudah ada royalti memadai yang diterima para peneliti jika hasil temuannya dikomersialkan?

Tanpa pembenahan seperti yang diuraikan dalam butir 3 diatas maka hal-hal seperti HaKi sampai pada insentif dan hasil (eg. royalty) tidak akan pernah terkelola dengan baik. Beberap perguruan tinggi dan lembaga riset sudah mulai membentuk organ yang menangani HaKI namun hasilnya masih jauh dari harapan. hal serupa juga terjadi di litbang industri. Kebijakan Pemerintah serta insentif yang memadai mejadi penentu dalam keberhasilan memperjuangkan HaKI ini. Fakta getir bahwa pengurusan HaKI ditanah air masih merupakan benang kusut yang masih belum terurai.

Mengapa belum banyak pihak swasta yang memanfaatkan hasil-hasil penelitian dari lembaga-lembaga. Apakah ada persyaratan yang berat yang dikenakan kepada pihak swasta untuk memakai hasil penelitian? Atau informasi hasil penelitian tidak sampai ke pihak swasta?

Di atas sudah sedikit saya urai bahwa jika melulu mengambil keputusan berbasis pada nilai keekonomian maka pihak swasta lebih memilih jalan pintas dan cara cepat dengan mengadopsi teknologi yang sudah matang (mature) dari mitra atau induk semangnya di luar negeri. Memang akan menelan biaya lebih mahal namun mereka menang dari ukuran cepatnya waktu dan rendahnya risiko.

Hasil penelitian masih memerlukan banyak langkah lanjut seperti pengupayaan HaKI, pembuatan prototipe, sederet uji dan pemenuhan standar, perizinan serta sertifikasi sebelum produk jadi layak dan laik alias kompetitif untuk dilempar ke pasar. Dari perspektif bisnis, banyak dan ragam langkah yang harus dilakukan ini memiliki risiko bisnis yang tinggi. Risiko ini dapat ditekan dan terkendali jika Pemerintah turut campur positif melalui kebijakan dan insentif baik insentif fiskal maupun non-fiskal. (Kristiana Anissa/EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved