Business Research Editor's Choice

Transaksi Kartu Debit Hampir Setara Kliring Perbankan, Sekitar Rp 12 Triliun/Hari

Transaksi Kartu Debit Hampir Setara Kliring Perbankan, Sekitar Rp 12 Triliun/Hari

Bank Indonesia mendorong transaksi nontunai untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi transaksi. Hasilnya, kini terjadi lonjakan transaksi nontunai. Untuk transaksi dengan menggunakan kartu debit saja, nilai transaksinya sudah mencapai Rp 11,5 triliun/hari. Hampir menyamai nilai kliring perbankan yang besarnya sekitar Rp 12 triliun/hari. Bagaimana pengaturan Bank Indonesia terhadap uang elektronik? Berikut penuturan Ronald Waas, Deputi Gubernur BI, kepada Rif’atul Mahmudah:

Mengenai adanya tren penggunaan perbankan elektronik yang semakin marak, bagaimana Bank Indonesia merespons tren tersebut?

Sebetulnya penggunaan uang elektronik bukan hal baru. Aturannya pertama kali sudah keluar pada 2006 melalui peraturan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Sekarang memang BI mendorong masyarakat ke arah nirtunai. Perkembangannya memang sangat cepat. Tetapi, perkara nontunai ini sebetulnya kita jangan terjebak pada uang elektronik adalah kartu ATM Debit dan kartu kredit. Penggunaan cek itu juga nontunai. RTJS juga nontunai. Untuk yang high-value, ada RTJS dan untuk retail ada kliring. Kemudian karena ada perkembangan teknologi, muncul kartu kredit, ATM Debit hingga sekarang orang tidak perlu account untuk menyimpan uang, bisa pakai kartu bahkan handphone.

BI Ronald

Tadi disebutkan BI memang mendorong penggunaan nontunai. Sebenarnya apakah karena dianggap efisien dan lebih aman? Perkembangannya ke depan akan seperti apa?

Kalau lebih aman, sepertinya sudah pasti ya. Kalau kehilangan kartu, kita bisa bilang tolong blok ke penerbit kartu. Kedua, memudahkan orang bayar. Kalau sekarang kalau mau bayar tunai mesti repot bawa uang banyak, kalau ini pakai kartu saja. Kunci sistem pembayaran, sistem pembayaran itu urat nadinya perekonomian. Kalau ekonomi itu badan kita, tidak akan jalan kalau darahnya tidak beredar. Darah ini ibarat uang, kalau sistem pembayaran lancar, perekonomiannya sehat, karena uang beredar. Jadi kecepatan mencerminkan efisiensi. Efisiensi juga bisa dicerminkan pada biaya yang dibebankan ke nasabah. Efisiensi ini juga terus didorong dengan perlindungan konsumen.

Apakah peraturan yang telah ditetapkan soal perbankan elektronik dan transaksi melalui media digital itu masih ada yang akan direvisi/diperbaiki?

Karena BI punya program financial inclusion, salah satunya branchless banking, yang diganti dengan layanan keuangan digital, kami harus keluarkan aturan baru untuk uang elektronik, misalnya, ini mesti dikombinasikan dengan UU Transfer Dana. Berdasarkan kajian yang dilakukan BI, uang elektronik itu bisa juga dipakai untuk pengalihan dana. Itu kan layanan baru yang sebelumnya tidak ada. Tahun 2012, BI mendorong untuk kerjasama antar provider. Jadi sekarang bisa transfer antar provider. Jadi bisa dari A ke B, B ke C dan C ke A. Itu kami dorong.

Jadi aturannya akan selesai kapan?

Kalau soal target agak sulit karena tergantung di Rapat Dewan Gubernur. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, semester I 2014. Karena acara Rapat Dewan Gubernur lagi banyak.

Berapa besar transaksi yang sekarang dilakukan secara elektronik?

Uang elektronik Rp 1,8 miliar per hari di tahun 2010. Volumenya 772 ribu transaksi per hari. Desember 2013, sudah menjadi Rp 8 miliar, transaksinya 400 ribu. Itu ada peningkatan. Kalau kita mau melihat kartu ATM Debit, sekarang sudah menyusul kliring-nya BI, sekitar hampir 12 triliun/hari. Itu data Desember 2013. Desember Rp 11,5 triliun. Rata-rata hariannya sudah 12 juta transaksi. Kalau kartu kredit, Desember 2013 685 miliar/hari. Itu rata-rata transaksi per hari, jumlah transaksinya 700. Kalau dibandingkan, itu peningkatan jadi saya perlu lihat 2010 juga. Kalau kartu kredit 2010 itu masih 447 miliar nilainya, kartu ATM Debit 4,9 jutavolumenya, nominalnya 5,4 triliun. Jadi dalam tiga tahun, doubled, baik volume maupun nilai. Peningkatannya ini luar biasa. Tetapi, itu kan dari nilainya saja. Dari produknya, kita juga lihat, dulu uang elektronis didominasi bank. Sekarang Telco juga punya produk-produk uang elektronik.

Apakah pernah dihitung, dari sekian banyak transaksi digital yang terjadi berapa persen fraud yang terjadi?

Paling hitungannya jumlah kasus saja, tetapi itu juga jarang. Karena ada yang lapor, ada yang tidak. Tetapi kalau jumlah berapa besar rupiah, tidak ada. Ada RPMK 2013, Rp 5 miliar. Ini ada lonjakan. Kenapa? Karena BI mendorong untuk lapor, kalau tidak lapor kan sistemnya seperti lemah, akhirnya setelah dipersuasi, mereka mau melaporkan. Totalnya sekitar Rp 33 M, di 2013. Kalau dilihat dari 2010 menurun, 2010 Rp 55 miliar, 2011 Rp 37 miliar, 2012 Rp 37,2 miliar; 2013 Rp 33 miliar.

Bagaimana BI mencegah dan meminimalkan terjadinya fraud tersebut, seperti pencurian identitas, dll?

Sistem pembayaran itu kan ukurannya harus aman, lancar, dan melindungi konsumen. Pertama, soal keamanan. Pengaturan BI pasti ada unsur keamanannya, ini dari segi teknologi. Di peraturan BI, sebelum diberi izin, sistemnya harus sudah diaudit dulu oleh pihak independen. Kedua, pilihan teknologinya, dulu kita pakai magnetik, kemudian ada chip. Kartu ATM sedang kami dorong agar pakai chip semua, paling lambat Desember 2015. Ketiga, pengamanan dalam bentuk pin dan password, kami paksa agar untuk ATM Debit harus 6 digit dan kartu kredit harus pakai PIN, karena tanda tangan mudah dipalsukan. Aturan BI makin lama makin ketat, BI berupaya memperketat syarat-syarat pengamanan. Kemudian soal kelancaran, kelancaran itu masih belum terbentuk karena kita terkotak-kotak penyedia jasanya. Tetapi seperti Telco, mereka sudah buka diri, bisa transfer antar telco.

Mengapa branchless banking ini seperti terhenti? Apakah karena masih menunggu aturan baru dari OJK? Apakah benar bahwa nantinya branchless banking ini hanya bisa dilakukan oleh bank BUKU IV yang berarti hanya Bank Mandiri, BNI, BCA dan BRI?

Aturannya belum keluar. Mengapa keluar terlambat? Dari BI sedang mempersiapkan, ternyata harus dialihkan ke OJK. Dari yang tadinya otoritasnya cuma satu, bank maupun nonbank, sekarang otoritas bank sudah ke OJK. BI mesti bicara dulu ke OJK. Yang memang sudah disepakati memang Bank Buku IV, OJK punya pandangan lain, ya bisa juga. Mengapa Bank Buku IV, karena mereka dipandang memiliki governance untuk pengamanan, risk management-nya sudah baik. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved