Marketing Trends

Cara P&G Memahami Kebutuhan Talent

Cara P&G Memahami Kebutuhan Talent

Untuk menghadapi tantangan dan problematika yang muncul di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), P&G Indonesia terus mempertahankan talent demi commited dengan bisnis perusahaan.

Interupsi teknologi, opportunity lain, progress bisnis, kondisi ekonomi Indonesia, secara kolektif menjadi kondisi yang harus diatasi perusahaan di era VUCA ini. Perusahaan ini berusaha menciptakan engagement pada karyawan dan memastikan mereka fokus untuk bisa berkontribusi serta berkomitmen untuk produktivitas perusahaan.

Menurut Director South East Asia Talent Practice PT Procter & Gamble Home Products Indonesia, Dedie R. Manahera, solusi menghadapi talent di era VUCA salah satunya dengan menyediakan fasilitas yang menjadi kebutuhan karyawan. P&G menggunakan Employee Value Proposition (EVP) selama hampir 6 tahun terakhir. “Melalui cara ini, kami mencoba purpose karyawan apa yang paling valuable untuk mereka. Hasilnya mereka ingin merasa dihargai saat bekerja di perusahaan, memiliki growth, being rewarded dan recognize,” ujarnya. Kebutuhan tersebut yang disimpulkan di EVP perusahaaan.

Pihaknya bangga karena fasilitas yang diberikan perusahaan adalah investing ke karyawan untuk perusahaan tumbuh. Baginya, aset terbesar perusahaan adalah brand dan talent yang dimiliki. Bisnis P&G dapat suistanable apabila talent yang dimiliki juga berkelanjutan. “Tidak adanya responsif cepat yang dilakukan perusahaan dapat mengakibatkan kehilangan talent yang menjadi aset perusahaan, sehingga otomatis bisnis juga tidak akan mengalami pertumbuhan yang baik,” tambah Dedie.

Kiprah P&G sejak 180 tahun lalu ini mengharuskan perusahaan untuk tidak pernah menutup mata terhadap perubahan. Beradaptasi sesuai perkembangan menjadikan P&G dapat bertahan hingga sekarang. Inovasi bisnis menjadi core perusahaan, baik teknologi maupun people management-nya. Flexible working arrangements telah diterapkan sejak 12 tahun terakhir secara bertahap. ‘Dengan flexible working arrangements karyawan bebas duduk di mana saja. Kami juga menerapkan work from home sejak 2009 lalu, dulunya sehari dalam seminggu namun sekarang dua hari kami bisa bekerja di rumah,” ungkapnya. Work from home dibuat agar karyawan dapat meningatkan produktivitas.

Dalam menjalankan usahanya di Indonesia, P&G berusaha growing local talent. Keberadaan ekspatriat mengisi posisi yang masih belum bisa diisi oleh orang lokal. Hampir 95%, P&G merekrut fresh graduated. Prinsipnya growing bersama karyawan di dalam perusahaan. Transfer ilmu juga dilakukan oleh ekspatriat kepada fresh graduated. Dalam perekutan P&G menggunakan skill based interview dan based competency. Seberapa besar pengalaman kandidat dalam leadership dan inovasi menjadi pertimbangan kuat.

Membangun perusahaan bersama fasilitas yang tersedia untuk karyawan diwujudkan P&G. Salah satunya, klinik dengan dokter jaga selama 4 hari kerja, ruang gym, dan shuttle service sebagai transportasi menuju kantor. Kebijakan terkait dengan gender juga diperhatikan P&G dengan menyediakan nursery room, cuti hamil dan melahirkan hingga 4 bulan. “Perusahan juga promoting gender equality. Manager kami 47% perempuan. Di Indonesia sendiri, kami memiliki program support group, link in circle yaitu sebuah support system untuk karyawan perempuan agar mereka bisa konsultasi tentang kebutuhan dan pengalaman mereka,” tambahnya.

Proporsi pegawai perempuan secara keseluruhan 40%. Kantor Senayan dari total 150 karyawan 47% adalah perempuan. Sedangkan pabrik P&G sebanyak 35% perempuan dari 350 orang dan teknisi leader P&G 21% adalah perempuan. Perhatiannya pada equal oppurtunity ini mengantarkan P&G meraih penghargaan dari Pemprov Jawa Barat di tahun 2014 untuk kategori best work place for female.

Bagi P&G Indonesia, untuk menghadapi generasi milenial diperlukan cara yang berbeda. Generasi sekarang terbuka akan tantangan. Mereka, mencari tanggung jawab yang lebih besar. “Hal itu membuat cara training kami juga berubah, dari learning in development ke learning in growth. Ada 20% coaching dengan mendengar pengalaman, 10% teori, dan sisanya 70% mengerjakan sendiri. Approaching top talent juga mengalami perubahan. Kami ke kampus, exposure, dan memberikan kesempatan pengalaman untuk bekerja di P&G,” ujarnya.

‘How the company can be more agile‘ yang harus di kejar oleh P&G. Agilitas sangat penting bagi perusahaan. Saat ini communication parts of the brand team, maka dari itu kami lebih memperkuat brand karena merupakan aset perushaan. P&G lebih agility, memiliki long-term plan namun kami juga menciptakan short-term untuk tetap on the track. “Dalam menghadapi VUCA bukanlah sesuatu yang harus ditakuti oleh perusahaan, ini adalah realita yang harus dihadapi. VUCA justru merupakan bahan bakar bagi perusahaan untuk tumbuh maju lagi ke depannya. Kita memastikan capability untuk menghadapi VUCA telah dimiliki dan kami telah siap dengan hal itu,” dia mengakhiri penjelasannya.

Reportase: Anastasia Anggoro Sukmonowati


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved