Trends

DEI: Mencegah Diskriminasi di Tempat Kerja

Oleh Editor
DEI: Mencegah Diskriminasi di Tempat Kerja
Jusuf Irianto, Guru Besar Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Oleh: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM Departemen Ilmu Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Jusuf Irianto, Guru Besar Dep. Adm. Publik FISIP Universitas Airlangga, Pengurus MUI Jawa Timur

Beberapa waktu lalu, seorang karyawan perusahaan online harus dihukum karena diskriminatif terhadap calon mitra penyandang tunarungu. Karyawan dimutasi, wajib kerja membantu komunitas penyandang diasabilitas, mengikuti pelatihan disabilitas, serta mendapat surat peringatan keras dari perusahaan.

Sementara itu, perusahaan besar sekaliber Amazon dihujani kritik atas perlakuan buruk dan rasis terhadap pekerja yang mayoritas berkulit hitam. Seorang karyawan memberanikan diri menggugat diskriminasi ras oleh perusahaan ke pengadilan negara bagian Washington DC.

Daftar kian panjang seiring banyaknya kasus lain di berbagai perusahaan. Diskriminasi sering terjadi di tempat kerja dalam berbagai bentuk, misalnya, diskriminasi gender yakni perbedaan perlakuan berbasis jenis kelamin. Semakin diskriminatif, akan semakin merusak reputasi hingga menggerus daya saing perusahaan.

Berbagai strategi dilakukan perusahaan untuk mencapai keunggulan daya saing secara keberlanjutan (sustainable competitiveness advantage/SCA). Namun, tak mudah mencapainya karena terdapat berbagai tantangan yang harus diatasi agar mampu mencapai level SCA optimal. Tak hanya teknologi, ternyata perusahaan juga menghadapi tantangan berupa perubahan komposisi karyawan akibat faktor demografi.

Perubahan demografi mengubah komposisi karyawan perusahaan. Pada masa lalu, komposisi karyawan relatif homogen. Dalam perusahaan, hanya ada karyawan yang berasal dari suku tertentu menggunakan bahasa yang sama. Kini, kondisi berbeda. Entitas perusahaan semakin heterogen termasuk kian banyak kaum perempuan.

Komposisi karyawan berasal dari berbagai wilayah dengan penggunaan bahasa ibu yang berbeda pula. Survei tahun 2019 di Amerika Sertikat (AS) mengungkap banyak karyawan berasal dari luar AS bekerja di berbagai perusahaan teknologi di Silicon Valley.

Jika perusahaan ingin meraih SCA, maka pimpinan perlu memperhatikan diversity, equity, dan inclusion (DEI) atau keanekaragaman, kesetaraan dan inklusi sebagai fokus pengembangan kebijakan. Sebagai pemberi kerja, perusahaan memastikan agar pelibatan setiap karyawan dalam posisi setara.

Tak sekadar dipekerjakan, setiap karyawan memiliki hak yang sama untuk dibina, dilatih, dipromosikan, dan mendapat rekognisi sesuai kontribusinya. Selama ini, kaum perempuan dan rentan misalnya, sering diperlakukan tak adil dalam berbagai kebijakan perusahaan. Perlakuan bahkan menjurus pula pada pelecehan seksual (sexual harassment).

DEI berperan penting menciptakan budaya kerja kondusif. Semua karyawan memiliki kesempatan dan diperlakukan sama dalam berkembang dalam bingkai keadilan. Karena itu, perlu dipahami strategi dan prinsip membangun DEI guna menciptakan budaya kerja lebih kondusif.

Strategi DEI

Kehadiran perbedaan dalam entitas perusahaan memicu keberagaman (diversity) karyawan. Di tempat kerja, hadir berbagai individu berasal dari ras atau etnis berbeda. Demikian jenis kelamin, identitas gender, orientasi seksual, usia, dan status sosial ekonomi pun beragam.

Menyikapi keberagaman, perusahaan harus mampu bersikap tegas menjamin kesetaraan (equity). Perusahaan bertindak elok memastikan semua proses dan program yang tak memihak, menjamin keadilan, serta memberi hasil yang sama bagi setiap individu.

Sedangkan keterbukaan (inclusion) dalam perusahaan merupakan praktik pimpinan menjamin semua orang memiliki self of belonging atau rasa memiliki perusahaan sebagai tempat kerja terbaik. Setiap karyawan merasa nyaman dan didukung entitas perusahaan dapat menjadi manusia dengan jatidiri masing-masing.

Dalam tulisannya bertajuk “Diversity and Inclusion Efforts That Really Work: Five best practices” yang diterbitkan Harvard Business Review, David Pedulla (2020) menguraikan lima strategi sebagai praktik terbaik meningkatkan pemahaman keberagaman dan inklusi dalam organisasi.

Strategi pertama adalah penetapan tujuan, pengumpulan data, dan pertanggungjawaban setiap orang bersedia menerima keberagaman. Orientasi perusahaan tentang DEI sangat jelas sebagai basis kebijakan berdasar fakta atau realitas. Fakta berupa data diperoleh dari wawancara stakeholders, obesrvasi, dan tinjauan kritis kondisi perusahaan.

Kedua, perusahaan menggunakan metode baru seraya meninggalkan sistem kendali diskriminasi tradisional tanpa penyelesaian tuntas. Metode baru mencakup asistensi karyawan (Employee Assistance Plans/EAPs), pelibatan badan ombudsman, dan sistem transformatif dalam menyelesaikan masalah. Metode baru tak sekadar mengurangi diskriminasi namun mendorong pula adanya perubahan organisasi lebih baik.

Strategi ketiga adalah memastikan teknologi yang digunakan dalam rekrutmen, seleksi, dan promosi karyawan tidak bias. Isu rekrutmen dan seleksi acap diwarnai pelanggaran berupa diskriminasi dan mengabaikan prinsip kesataraan. Demikian pula subyektifitas muncul tatkala perusahaan mempromosikan karyawan berdasar preferensi tertentu.

Keempat, menghindari tokenisme yakni menunjukkan perilaku positif namun semu alias menipu. Tokenisme juga menunjukkan kecenderungan perilaku sekadar formalitas mengabaikan substansi dan niat (intention) kebaikan yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan utamanya.

Sebagai strategi kelima adalah pelibatan semua manajer dan karyawan dalam program keberagaman sejak awal. Strategi ini diyakini dapat mengubah persepsi, meningkatkan dukungan dan mengarahkan perusahaan pada implementasi kebijakan relatif tanpa hambatan.

Dengan merujuk pada lima strategi tersebut, perusahaan dapat menjadi pelopor bagi upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran tentang DEI. Kasus diskriminasi atau pelecehan di tempat kerja optimis dapat diredam.

Prinsip-prinsip Mewujudkan DEI

Perusahaan dituntut mampu mewujudkan DEI mewarnai tempat kerja yang berkeadilan. Terdapat berbagai pendekatan yang telah dikembangkan para ahli untuk digunakan perusahaan merealisasikan gagasan DEI. Perusahaan dapat mengacu pendekatan mutakhir agar DEI dapat diraih lebih efektif.

Salah satu pendekatan efektif mewujudkan DEI adalah Values-Based Approach. Dalam tulisan yang diterbitkan MIT Sloan Management Review berjudul “How a Values-Based Approach Advances DEI?”, Anselm A. Beach dan Albert H. Segars (2022) menyatakan bahwa model baru dikembangkan guna mewujudkan DEI demi meraih kepuasan karyawan.

Beach dan Segars merekomendasikan tujuh guiding principles atau prinsip-prinsip pemandu bagi perusahaan dalam menciptakan kebijakan memihak DEI. Ketujuh prinsip tersebut dapat pula berfungsi sebagai peta jalan bagi pencapaian nilai-nilai (values) keterbukaan dan transformatif.

Prinsip pertama adalah “build a moral case”. Kasus pelanggaran moral dalam perusahaan mampu melegitimasi tindakan eksploitatif. Karena itu, berbagai kasus yang terjadi harus menjadi pelajaran dan pertimbangan dalam mewujudkan DEI sebagai hal yang benar dilakukan (the right thing to do). Pimpinan perusahaan menanamkan DEI ke dalam misi organisasi yang menjadi tanggung jawab secara kolektif.

Guiding principles yang kedua adalah “encourage willful interrogation”. Mendorong diskusi, tanya jawab, serta membahas berbagai alasan dan kemungkinan tentang perbedaan ras, representasi, keberagaman, dan inklusi. Diskusi secara terbuka menampung suara karyawan, mendukung kesadaran dan perubahan, serta mengidentifikasi berbagai kebutuhan perusahaan untuk melakukan perubahan.

Prinsip ketiga adalah “develop new mental model” memandu perusahaan menggunakan pelatihan-silang (cross-training) dan rotasi pekerjaan. Tujuannya untuk meningkatkan akses bagi lebih banyak karyawan. Perusahaan melihat market dan pelanggan sebagai entitas multikultural. Rekayasa sistem perlu dilakukan untuk mengatasi ketidaksetaraan akibat berbagai bias persepsi.

Sebagai prinsip keempat adalah “adopt entrepreneurial leadership”. Dalam mewujudkan DEI, pimpinan perusahaan melibatkan semua karyawan guna memecahkan masalah. Di samping itu, juga dimaksudkan mendorong terbentuknya tim self-managed, bimbingan (mentorship) serta menjadikan tempat kerja sebagai entitas yang aman untuk tumbuh dan berkembang.

Kemudian prinsip kelima adalah “ensure accountability”. Berdasar prinsip ini, pimpinan perusahaan menerapkan mekanisme pengambilan keputusan dengan membentuk task force atau steering committee. Tujuannya adalah memberi ruang bagi proses mediasi dan pencapaian hasil yang akan diperoleh selanjutnya mampu mendorong dan memandu terbentuknya tanggung jawab (social accountability) dalam perusahaan.

Prinsip keenam adalah “be ambitious”. Sesuai prinsip ini, pimpinan perusahaan memperlakukan DEI dengan spirit dan energi luar biasa agar dapat menginsiprasi semua pihak. Pimpinan juga berupaya mewujudkan DEI ke komunitas yang lebih luas seraya memperhatikan tantangan atau kebutuhan penyempurnaan kebijakan.

Sedangkan prinsip ketujuh adalah “expand the boundary”. Untuk mewujudkan DEI dalam perusahaan secara konsisten, pimpinan direkomendasikan untuk belajar praktik terbaik dari perusahan terkemuka dan berhasil menerapkan DEI. Pimpinan juga perlu berbagi pengalaman dan wawasan dengan pihak lain yang tergabung dalam asosiasi profesional, working groups, dan pihak eksternal lainnya.

Berbagai kesalahan fatal berupa perlakuan diskriminatif, pelecehan, atau tindakan tak manusiawi dapat dicegah dengan membelakukan kebijakan memihak DEI. Penegakan aturan sangat penting mendorong peningkatan disiplin karyawan. Citra dan reputasi pun didapat demi meraih daya saing perusahaan secara berkelanjutan.

Referensi:

Anselm A. Beach & Albert H. Segars (2022). “How a Values-Based Approach Advances DEI?”. MIT Sloan Management Review. 63(4): 25-32.

David Pedulla (2020). Diversity and Inclusion Efforts That Really Work: Five best practices. Harvard Business Review.

Retrieved from: https://hbr.org/2020/05/diversity-and-inclusion-efforts-that-really-work


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved