Trends

Dirjen PDT Samsul Widodo: “Tugas Pemerintah adalah Menciptakan Ekosistem, Bukan Jadi Kompetitor”

Samsul Widodo, Direktur Jenderal (Dirjen) Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

Di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Samsul Widodo lebih banyak menangani daerah tertinggal, bencana, dan kemiskinan. Maka, ketika diangkat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Samsul langsung tune in dengan isu-isu di daerah tertinggal. “Yang perlu saya perdalam tinggal solusinya,” ujarnya. Samsul pun berusaha mencari terobosan baru agar bisa menemukan solusi yang tepat. Seperti apa terobosan program yang dijalankannya? Berikut ini penuturannya kepada wartawan SWA, Vina Anggita:

Ketika dilantik pada akhir 2017, apa yang diamanatkan oleh Pak Menteri kepada Anda? Apa yang harus dibenahi atau dikembangkan di Direktorat Jenderal PDT ini?

Kalau di pemerintahan, kita bicara mengenai tugas-tugas rutin yang tertuang di dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), RKP (Rencana Kerja Pemerintah), dan sebagainya. Tapi, ada satu hal yang membuat saya seperti dendam. Saya ini kan latar belakangnya lebih ke perencanaan. Karier saya dari tahun 1994 sampai 2015 di Bappenas, dan tugas saya adalah menulis serta membuat gagasan. Saya pindah ke Kemendes PDTT tahun 2015 sebagai Kepala Biro Perencanaan. Akhir 2017, saya dilantik sebagai Dirjen PDT. Saya merenung kembali, dan ketika masuk ke ruangan, saya merasa terisolir. Eselon I itu sebenarnya terisolir. Jika dilihat dari struktur, eseleon I itu bahkan tidak punya bagian ke-TU (Tata Usahan)-an. Jadi, tidak punya back office.

Terkait tugas sebagai Dirjen PDT, saya membaca ulang, sebenarnya yang paling penting dari tugas pemerintah ini apa? Karena, dari tahun ke tahun kita sudah menjadi orang pemerintah, tapi lupa tugas pemerintah ini apa. Saya baca ulang, saya cari, dan saya menemukan kata enabler. Pemerintah itu harus menjadi enabler, menciptakan ekosistem di mana sektor swasta dan masyarakat bisa produktif.

Secara konkret, apa sebenarnya tugas pemerintah?

Menciptakan investasi dengan mendorong swasta untuk investasi. Memang ada investasi dari pemerintah dalam bentuk kegiatan regulasi dan sebagainya. Tapi, saya berbicara investasi secara umum, bukan skala kecil. Investasi ini untuk apa? Supaya ada produksi. Jika ada produksi, ada pekerjaan. Jika ada pekerjaan, ada pendapatan. Pendapatan akan mendorong daya beli sehingga muncul permintaan barang dan jasa (konsumsi). Pendapatan ini selalu larinya kepada tiga hal, yakni konsumsi, tabungan, dan reinvestasi. Pada saat kita investasi, yang dikejar pemerintah itu pajak pendapatan. Kalau ada daya beli, juga akan muncul pajak. Tapi jika kita tidak produktif, akhirnya semua masyarakat akan minta BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Bagaimana strategi yang Anda jalankan?

Saya mencoba menerjemahkannya dengan terobosan-terobosan. Saat situasi ekonomi kita menurun seperti sekarang dan pertumbuhan kita minus, hanya pemerintah yang punya uang. Swasta tidak punya uang, sehingga pemerintah langsung shortcut dengan memberikan BLT supaya ada pendapatan bagi masyarakat. Jadi, tidak melalui produksi dan pekerjaan lagi karena memag tidak ada. Langsung diberikan pendapatan dengan berbagai cara agar timbul daya beli yang akhirnya mendorong permintaan barang dan jasa. Setelah itu, akan mendorong produksi. Jadi, ini akan berputar kembali.

Jadi, tugas pemerintah adalah menciptakan ekosistem, tidak boleh menjadi kompetitor. Ketika swasta sudah jalan, ya sudah swasta saja. Pemerintah harus mundur, tidak boleh mengambil alih. Pemerintah harus masuk ke ruang-ruang di mana tidak ada swasta. Ini sebenarnya paparan saya ketika di Bappenas. Saya memetakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, baik dalam bentuk regulasi maupun kegiatan, di mana semuanya harus mendorong produktivitas, sehingga muncul pekerjaan dan pendapatan yang akhirnya mendorong konsumsi. Jadi, intinya menciptakan ekosistem.

Seperti apa tantangan yang Anda hadapi?

Ketika saya dilantik sebagai Dirjen PDT, daerah tertinggal itu ada 122 kabupaten, 84% di antaranya atau 102 kabupaten ada di Kawasan Indonesia Timur. Dan, 62 kabupaten dari 122 kabupaten DT pada 2015-2019 telah terentaskan dan menyisakan 60 kabupaten dan dua kabupaten DOB (daerah otonomi baru) yang menjadi indikasi daerah tertinggal untuk tahun 2020-2024.

Daerah tertinggal itu identik dengan Indonesia Timur. Indonesia Barat ada sebagian, tapi sebagian di Indonesia Barat isunya itu lebih kepada sumber daya manusia, bukan infrastruktur dan bukan kegiatan ekonomi.

Saya juga melihat banyak kegiatan pemerintah yang sebenarnya mangkrak. Banyak program bantuan pemerintah yang tidak mampu menyelesaikan persoalan dan cenderung mangkrak. Misalnya, kita memberikan bantuan kepada nelayan keramba jaring apung, lalu kita bantu bibit kerapu. Setelah kita bantu dan panen, pendapatan nelayan akan meningkat. Jeleknya, setelah mereka panen, tidak diberi bibit lagi, sehingga keramba jaring apung itu pun menjadi mangkrak. Sebab, mereka ini bukan nelayan budidaya, tetapi nelayan tangkap. Mereka berpikir seolah-olah pada saat ikan kerapu dia tangkap, akan muncul benih baru. Mereka menunggu alam nanti yang akan menabur benih. Kalau nelayan budidaya, dia menabur untuk dipanen.

Lantas, bagaimana solusinya?

Sejak awal 2018 saya mengubah cara kerja. Saya sampaikan bahwa kami tidak akan memberikan bantuan kepada masyarakat berupa peralatan pascapanen jika tidak ada offtaker atau pembeli. Akhirnya, keramba jaring apung yang mangkrak itu kami hubungkan dengan pengusaha yang akan menampung hasil panen mereka. Sifatnya adalah investasi, sehingga nelayan dipaksa, jika mereka tidak bekerja, tidak akan dapat uang. Tentunya, dengan pengawalan dari kami sehingga fair price, harga tidak ditekan semurah-murahnya.

Apa saja kendalanya di lapangan?

Untuk petani, mereka kan tidak mudah kita ceramahi. Mereka mengatakan punya pengalaman 30 tahun, tapi sebenarnya tidak. Mereka hanya punya pengalaman satu tahun dan yang diulang-ulang 30 tahun. Pengalaman satu tahun tersebut pun belum tentu tata kelola pertaniannya baik. Kalau kita ajari, mereka marah, apalagi anak muda yang mengajari. Makanya, kita cari dulu champion yang mau diajari tekniknya sampai berhasil sehingga yang lain mau mengikuti dan bisa bergabung.

Waktu yang kopra putih itu, saya dapat pembeli yang mengeluh kesulitan mendapatkan kopra putih. Bisa dibayangkan pembeli mengeluh tidak dapat barang sementara petani mengeluh tidak bisa berjualan. Ini kan aneh. Makanya, saya pertemukan. Jadi, yang saat ini terus saya lakukan adalah mencari terus offtaker.

Selain di pertanian, bagaimana pengembangan di bidang lainnya?

Pendidikan hampir sama dengan infrastruktur, masih banyak kekurangannya di Indonesia Timur. Sejak di Bappenas, saya lebih banyak menangani daerah tertinggal, bencana, dan kemiskinan sehingga dari sisi isu saya sudah punya. Tinggal yang perlu saya perdalam adalah solusinya. Indonesia Timur itu isunya kekurangan guru. Guru itu alasan saja jadi pegawai negeri di sana, padahal tujuannya agar segera diangkat, dan setelah diangkat balik lagi mencari kota lain.

Kita tahu, jika kekurangan guru, solusinya adalah rekrutmen. Bagaimana caranya satu guru tapi bisa handle lebih dari satu kelas? Suatu saat saya diundang oleh para bidan. Saya lihat ada alat HaloHola yang dipakai di kios bidan untuk memberikan edukasi mengenai kesehatan. Saya berpikir bahwa alat ini bisa saya modifikasi untuk pendidikan, bagaimana online bisa di-offline-kan. Kurikulum kan tidak ganti setiap saat. Nah, seluruh kurikulum saya download secara online, saya masukkan ke alat HaloHola, lalu kami pancarkan kembali secara offline. Alat ini bisa memancarkan sinyal tanpa pulsa, tapi hanya untuk lokal. Lalu, ditangkap oleh desktop di kelas-kelas itu, dengan Infocus kita siarkan pelajaran yang dipilih. Jadi, online yang saya offline-kan, sehingga satu guru bisa handle tiga kelas.

Saya kerjasama dengan Zenius dan Quipper untuk minta kontennya. Saya menyadari kami tidak terlalu punya banyak anggaran untuk melakukan terobosan ini, apalagi terobosan ini tidak mudah diterima oleh teman-teman di Bappenas atau Kementerian Keuangan. Namun, setelah saya jalankan, ternyata bisa.

Lalu, di bidang kesehatan, bagaimana bidan itu tidak harus berkunjung setiap hari karena mahal biayanya. Saya menemukan startup untuk bekerjasama yang intinya memdokumentasikan aktivitas bidan atau mendigitalisasi kartu ibu dan anak sehingga AI (artificial intelligence) bisa bekerja untuk mengingatkan dan memberi notifikasi jika ada indikasi negatif. Solusi terintegrasi ini bernama Telemedicine Cardiotocography (TELECTG) dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan di daerah tertinggal.

Bidan ini tidak selalu ingat kejadian minggu lalu karena ada ratusan orang yang dia periksa. Dengan alat ini juga, kita bisa konsultasi secara daring. Pertanyaannya, bagaimana dengan daerah yang belum ada sinyal internet? Ya, belum ada solusinya, tapi paling tidak sudah ada teknologinya. Secara bertahap mereka yang tidak ada sinyal internet bisa mengirimkan surat ke kami untuk menginfokan desanya, dan biasanya kami akan berkoordinasi dengan Kominfo karena itu tugas Kominfo. Kami tidak bisa menangani karena itu sangat mahal.

Sementara, yang menyangkut pasar tradisional, saat ini yang saya kerjakan adalah mendigitalisasi pasar desa. Saya bekerjasama dengan startup, namanya Tumbasin.id. Jadi, bisa dibayangkan, ada sekitar 14.000 pasar di Indonesia dan tidak ada yang mengakuisisi. Kalau 14.000 ini bisa berjalan baik, dengan cita-cita, berarti bisa dong kita bersaing dengan Indomaret atau Alfamart. Sepertinya naif ya, tapi inilah yang sedang saya lakukan sehingga nanti kita siapkan platform digital jika pedagang pasar mau menjual secara online, di sisi lain dia tetap bisa berjualan secara offline. Platform ini untuk menyiapkan transformasi digital. Ini konsepnya sudah jadi dan sedang saya matangkan.

Saya juga ingin membuat direktori desa wisata. Itu sedang saya kerjakan dengan Pejalan.id. Kami sedang diskusi, kapan mau di-launching. Kami ingin membuktikan bahwa pengelola desa wisata bisa on boarding, baru kami launching. Ini yang saya lakukan sambil membenahi bisnis lokal. (*)

Vina Anggita

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved