Trends Economic Issues zkumparan

4 Potensi Risiko Pelebaran Defisit dan Pembiayaan Indonesia

Pemerintah resmi menambah stimulus untuk menanggulangi dampak negatif penyebaran COVID-19. Total tambahan anggaran yang disalurkan mencapai Rp405 triliun Rupiah atau setara 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tambahan anggaran ini ditujukan untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, insentif perpajakan dan pemulihan ekonomi nasional. Namun sayangnya, tambahan belanja ini tidak bisa diimbangi oleh kenaikan penerimaan negara pada akhir tahun nanti. Kondisi ini akan mendorong pelebaran defisit anggaran yang diproyeksikan akan mencapai Rp852 triliun atau setara 5,07% terhadap PDB.

Dr. Piter Abdullah Redjalam, Direktur Riset Core Indonesia, mengatakan, ada 4 potensi risiko yang harus diperhatikan pemerintah akibat dari rencana pelebaran defisit dan pembiayaan hingga tahun 2022.

Pertama, melebarnya defisit anggaran akan mendorong pemerintah menerbitkan surat utang (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar. “Sekitar 35 sampai 40 persen SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing. Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun Tiongkok,” kata dia.

Kondisi ini, menurutnya, akan menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow). Kedua, tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah akan meningkatkan risiko sudden capital outflow yang akan mendorong pelemahan nilai tukar.

Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4%. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan. “Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar Rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia,” kata dia menambahkan.

Ketiga, risiko crowding out. Hal ini bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuditas dari perbankan. Dampaknya, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.

“Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah,” kata dia menambahkan.

Keempat, risiko peningkatan utang luar negeri swasta. Peningkatan utang luar negeri swasta, menurutnya, perlu menjadi perhatian karena 89% utang luar negeri swasta berdenominasi US Dollar dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas.

“Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar,” kata dia. Oleh karena itu, dia menjabarkan ada 3 rekomendasi yang harus dilakukan untuk pemerintah terkait pembiayaan defisit fiskal yakni pertama, mendahulukan penerbitan SUN domestik yang berdenominasi Rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh Bank Indonesia.

Peneribitan SUN domestik dengan pola pembelian oleh BI akan memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon SUN yang lebih rendah dengan tenor yang wajar.

“Ekspansi moneter yang terjadi melalui pembelian SUN Domestik oleh BI tidak akan mendorong peningkatan inflasi yang berlebihan karena tekanan inflasi di tengah wabah Covid-19 cenderung menurun akibat rendahnya permintaan,” kata dia menjelaskan.

Kedua, pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah supply dollar dengan menerbitkan SUN Global. Ketiga, penerbitan SUN Global dapat dilakukan ketika wabah covid-19 sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih. “Di tengah kebijakan moneter global yang cenderung menurunkan suku bunga maka penerbitan SUN Global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga kupon yang lebih baik, dengan tenor yang wajar,” kata dia menutup pembicaraan.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved