Trends Economic Issues zkumparan

BI Pertahankan 7-day Reverse Repo Rate 6%

BI Pertahankan 7-day Reverse Repo Rate 6%
(Tengah) Perry Wardjiyo Gubernur Bank Indonesia (BI) memaparkan hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, (20/6/2019).

Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate di angka 6%, suku bunga Deposit suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.

Sementara itu, untuk menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam pembiayaan ekonomi, BI memutuskan untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah untuk Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah sebesar 50 bps sehingga masing-masing menjadi 6,0% dan 4,5%, dengan GWM Rerata masing-masing tetap sebesar 3,0%, berlaku efektif pada 1 Juli 2019.

Menurut Perry Wardjiyo, Gubernur BI, pada saat konferensi per di Jakarta, (20/6/2019), pihaknya terus mencermati kondisi pasar keuangan global dan stabilitas eksternal perekonomian Indonesia dalam mempertimbangkan penurunan suku bunga kebijakan. Hal ini sejalan dengan rendahnya inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Sementara itu, strategi operasi moneter tetap diarahkan untuk memastikan ketersediaan likuiditas di pasar uang. Kebijakan makroprudensial juga tetap akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit perbankan dan memperluas pembiayaan bagi perekonomian.

“Selain itu, kebijakan sistem pembayaran dan pendalaman pasar keuangan terus diperkuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait terus dipererat untuk mempertahankan stabilitas ekonomi, mendorong permintaan domestik, serta meningkatkan ekspor, pariwisata, dan aliran masuk modal asing,” ujar Perry.

BI juga menyadari peningkatan ketegangan hubungan dagang yang meningkat makin memengaruhi dinamika perekonomian global. Ketegangan hubungan dagang makin nyata menurunkan volume perdagangan dunia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara. Misalnya saja Amerika Serikat (AS), yang ekonominya diprakirakan tumbuh lebih rendah akibat ekspor yang menurun, stimulus fiskal yang terbatas, serta keyakinan pelaku ekonomi yang belum kuat. Ekonomi kawasan Eropa juga melambat dipengaruhi ekspor yang melemah, dan permasalahan struktural terkait aging population yang berlanjut.

Di sisi lain, pertumbuhan Tiongkok dan India juga melambat akibat penurunan kinerja sektor eksternal serta pelemahan konsumsi dan investasi. Pertumbuhan ekonomi yang melambat kemudian mendorong sejumlah bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar.

Perry menambahkan, “Di samping dampaknya terhadap pertumbuhan, tensi ketegangan hubungan dagang yang makin tinggi memicu ketidakpastian di pasar keuangan global, yang kemudian mendorong aliran modal keluar dari negara berkembang ke negara maju (flight to quality). Perkembangan ekonomi dunia ini memberikan tantangan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga arus masuk modal asing.”

BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2019 melandai akibat kinerja ekspor yang turun. Meningkatnya ketegangan hubungan dagang telah berdampak pada penurunan kinerja ekspor Indonesia akibat terbatasnya permintaan dunia dan turunnya harga komoditas, meskipun sejumlah komoditas seperti kimia, besi dan baja, batubara dan minyak nabati masih relatif baik.

Perry mengatakan bahwa investasi non bangunan belum meningkat signifikan dipicu dampak perlambatan ekspor, meskipun investasi bangunan tetap berlanjut. Sementara itu, konsumsi diprakirakan tetap baik didukung terjaganya daya beli dan keyakinan masyarakat.

“Permintaan domestik yang tumbuh terbatas mengakibatkan impor diprakirakan menurun. Ke depan, upaya untuk mendorong permintaan domestik perlu ditingkatkan untuk memitigasi dampak dampak negatif perlambatan ekonomi dunia akibat ketegangan hubungan dagang,” ujarnya.

Secara keseluruhan, BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 berada di bawah titik tengah kisaran 5,0-5,4%. BI akan menempuh bauran kebijakan dengan Pemerintah, dan otoritas terkait untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.

Pada kesempatan yang sama Perry menyampaikan bahwa neraca Pembayaran Indonesia triwulan II 2019 diprakirakan tetap baik sehingga menopang ketahanan eksternal Indonesia. Pasalnya, surplus transaksi modal dan finansial berpotensi lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya, di tengah defisit transaksi berjalan yang diprakirakan meningkat sesuai pola musiman. Berlanjutnya aliran modal asing dalam bentuk PMA dan investasi portofolio pun turut mendukung surplus transaksi modal dan finansial sejalan dengan prospek ekonomi nasional yang baik dan daya tarik investasi aset keuangan domestik yang tinggi.

Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan meningkat dipengaruhi kinerja ekspor barang dan jasa yang melambat, serta kebutuhan repatriasi deviden dan pembayaran bunga utang luar negeri yang meningkat sesuai pola musimannya. Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2019 tercatat sebesar 120,3 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Ke depan, defisit transaksi berjalan 2019 diprakirakan lebih rendah dari tahun 2018, yaitu dalam kisaran 2,5%–3,0% PDB. “Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal,” ujar Perry.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved