Economic Issues

EY: Volume IPO Global Menyusut 45% dengan Perolehan Pendanaan Menurun 61%

Setelah memecahkan rekor pada 2021, pasar IPO global berbelok tajam ke arah yang berlawanan pada 2022. Dengan total 1,333 IPO yang mengumpulkan dana sebesar US$179,5 miliar, aktivitas IPO dari tahun ke tahun (YOY) mengalami penurunan sebesar 45% dan 61% untuk jumlah penawaran dan perolehan pendanaan.

Dengan rata-rata nilai transaksi yang menyusut akibat rendahnya valuasi dan kinerja pasar saham yang kurang baik, bursa global mengalami penurunan jumlah IPO besar di 2022. Hal ini dan temuan lainnya dipublikasikan dalam EY Global IPO Trends 2022.

Sepanjang 2022, aktivitas IPO global banyak dipengaruhi oleh peningkatan volatilitas pasar dan kondisi lainnya yang kurang menguntungkan, serta performa yang kurang dari banyak IPO yang tercatat di 2021. Dengan kondisi d imana inflasi lebih tinggi serta kenaikan suku bunga, investor tentu lebih memilih untuk berinvestasi ke aset yang kurang berisiko dan menghindari perusahaan yang baru melantai di bursa.

Demikian pula dengan aktivitas IPO bersponsor, dimana jumlah transaksi dan perolehan pendanaan masing-masing mengalami penurunan tajam sebesar 77% dan 93% berdasarkan jumlah transaksi dan perolehan pendanaan. Sebagian besar perusahaan akuisisi tujuan khusus (SPAC) yang terdaftar dari akhir 2020 juga telah mencapai batas dua tahun, sehingga harus menemukan target untuk bergabung atau mengembalikan hasil IPO kepada investor mereka. Meskipun angka-angka ini menunjukkan penurunan signifikan dari 2021, jumlah IPO global masih menunjukkan peningkatan sebesar 16% jika dibandingkan dengan pra-pandemi di 2019.

Meski aktivitas pasar sebagian besar mengalami penurunan, ada beberapa industri dan daerah yang tetap merasakan nuansa positif. Sektor teknologi memimpin dengan mencatat 23% dari total transaksi yang ada, sementara sektor energi mendominasi perolehan dana sebesar 22% dari jumlah transaksi di 2022.

Di antara mega IPO yang terdaftar, yaitu mereka yang mengumpulkan dana lebih dari US$1 miliar, hasil rata-rata pada 2022 adalah 45% lebih tinggi dibandingkan pada 2021, didukung oleh valuasi yang kuat untuk IPO mega energi yang berlangsung tahun ini. Pasar tertentu seperti Cina, Timur Tengah, dan beberapa negara Asia Tenggara telah menunjukkan kinerja yang relatif baik meskipun kinerja globalnya menurun secara signifikan.

Kinerja IPO Regional Secara Keseluruhan

Aktivitas IPO di Amerika merosot ke posisi terendah sejak terjadinya puncak resesi. Ini merupakan level terbawah dalam 13 tahun berdasarkan volume, dan dalam 20 tahun berdasarkan nilai karena pasar dipengaruhi oleh volatilitas dan kebijakan yang diambil untuk memerangi inflasi. Baik untuk jumlah IPO ataupun hasil, keduanya menukik tajam dengan 130 transaksi dengan nilai US$9 miliar, masing-masing turun 76% dan 95%, YOY. Sebagai catatan, sebagian besar IPO seluruh Amerika (69%) ini terjadi di bursa Amerika Serikat.

Sementara itu, pasar IPO Asia-Pasifik dengan 845 IPO dan total perolehan sebesar US$120,6 miliar terdampak paling ringan dari penurunan ekonomi global dan ketegangan geopolitik, menyumbang 63% dari penawaran dan 67% dari perolehan dana global di 2022. Cina kemungkinan akan mencetak rekor lain dalam peningkatan modal tahunan tertinggi pada penutupan tahun.

Di Asia Tenggara, tercatat ada total 137 IPO yang mengumpulkan US$6,5 miliar pada tahun 2022, dibandingkan dengan 134 IPO dengan total dana dihimpun senilai US$13,2 miliar pada tahun 2021. Pemimpin pasar adalah Indonesia (60 IPO sejumlah US$2,2 miliar), Thailand (32 IPO sejumlah US$3,1 miliar) dan Malaysia (29 IPO sejumlah US$0,7 miliar), diikuti oleh Filipina (8 IPO sejumlah US$0,5 miliar) dan Singapura (8 IPO sejumlah US$40 juta). Secara khusus, jumlah IPO skala besar di bursa Asia Tenggara pada tahun 2022 memang lebih sedikit, tetapi dengan kondisi COVID-19 yang kian membaik, aktivitas IPO yang besar diharapkan dapat kembali di tahun ini.

Kegiatan IPO di EMEIA juga mengalami penurunan sebesar 53% dan 55% dari segi jumlah dan hasil, dengan 358 pencatatan yang mengumpulkan US$49,9 miliar. Meskipun aktivitas IPO Eropa turun 78% karena gejolak geopolitik, MENA mengalami kenaikan sebesar 115% karena diuntungkan oleh dominasi sektor energi dan aktivitas IPO lainnya yang sudah tercatat, serta inisiatif privatisasi yang diluncurkan oleh pemerintah. EMEIA juga menghasilkan 5 dari 10 IPO teratas tahun ini.

Indonesia Optimistis akan Lebih Banyak IPO di Paruh Pertama 2023

Setelah sebagian besar pembatasan terkait COVID-19 telah dicabut, investor bertanya apakah jumlah dan ukuran IPO akan kembali ke tingkat sebelum masa pandemi. Pada kenyataannya, Indonesia mengalami musim IPO terbaik dalam hal perolehan pendanaan di tahun 2021 lalu, ketika 54 perusahaan mengumpulkan total pendanaan sebesar US$4,7 miliar.

Di tahun 2022, meski jumlahnya turun menjadi US$2,2 miliar, kondisi ini masih terbilang sebagai hasil IPO terbesar kedua yang di seluruh Asia Tenggara – di belakang Thailand yang sukses mengumpulkan pendanaan IPO yang lebih besar (US$3,1 miliar). Dari segi jumlah IPO, Indonesia menempati tempat teratas di Asia Tenggara dengan 60 IPO pada 2022.

Pada Q4 2022, Indonesia memulai aktivitas cenderung melambat dengan satu IPO di bulan Oktober. Namun, tambahan 10 listing tercatat pada bulan November, yang menghasilkan 30% dari total hasil IPO tahun 2022 – sebagian besar disebabkan oleh IPO raksasa e-commerce Indonesia, BliBli senilai US$510 juta. Ini diikuti oleh lima listing lainnya di bulan Desember, sehingga jumlah IPO Q4 ditutup dengan tercatatnya 16 perusahaan.

“Seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, kami perkirakan jumlah IPO sekitar 50-60 perusahaan pada 2023, dipimpin oleh rencana listing beberapa perusahaan milik negara, dan perusahaan yang berencana merebut kesempatan penggalangan dana pada paruh pertama tahun 2023, sebelum pemilihan presiden pada tahun 2024. Beberapa perusahaan mungkin mengambil pendekatan “wait-and-see” setelah pemilihan umum dan pembentukan pemerintahan baru,” ujar Sahala Situmorang, Strategy and Transactions Partner, PT Ernst & Young Indonesia.

Sementara itu, pembentukan papan pencatatan baru Bursa Efek Indonesia (BEI) yang disebut Papan Ekonomi Baru diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan berbasis teknologi untuk mempertimbangkan IPO, meskipun situasi ini dinilai sebagai masa pendanaan yang sulit bagi perusahaan start-up. Secara keseluruhan, akan menarik untuk melihat bagaimana hambatan ekonomi global akan memengaruhi aktivitas pencatatan lokal selama tahun 2023.

Prospek IPO Global di 2023

Terdapat prospek IPO yang cukup kuat di 2023. Meski aktivitas IPO kemungkinan belum membaik setidaknya hingga kuartal pertama, tetap ada peluang untuk kondisi yang menguntungkan bagi IPO global sebagai upaya mendapatkan kembali momentum pada paruh kedua tahun ini.

Agar pasar IPO kembali aktif, ada sejumlah prasyarat: sentimen positif dan peningkatan kinerja pasar saham; inflasi yang lebih rendah dan berakhirnya kenaikan suku bunga; meredakan ketegangan geopolitik; dan berkurangnya efek pandemi pada ekonomi global.

Banyak perusahaan masih akan mengambil pendekatan “wait-and-see” dan menunggu waktu yang tepat untuk IPO. Saat ini, investor akan lebih fokus pada perihal fundamental perusahaan, seperti pertumbuhan pendapatan, profitabilitas, dan arus kas – lebih dari sekedar proyeksi pertumbuhan.

Adanya korelasi positif antara kinerja harga saham pasca-IPO perusahaan dan komunikasi strategi lingkungan, sosial, serta tata kelola (ESG), investor juga akan semakin memperhatikan agenda ESG perusahaan mereka.

Paul Go, EY Global IPO Leader, menjelaskan tahun rekor IPO di 2021 lalu membuka jalan bagi peningkatan volatilitas dari memanasnya kondisi geopolitik, inflasi, dan kenaikan suku bunga yang agresif. Melemahnya pasar saham, valuasi dan kinerja pasca-IPO semakin menghalangi sentimen investor IPO.

Seiring dengan berlanjutnya pembangunan pipeline, banyak perusahaan menunggu waktu yang tepat untuk menghidupkan kembali rencana IPO mereka. “Namun, dengan pengetatan likuiditas pasar, investor lebih menghindari risiko dan lebih menyukai perusahaan yang dapat menunjukkan model bisnis yang tangguh dalam profitabilitas dan arus kas, sambil mengartikulasikan agenda ESG mereka dengan jelas,” katanya.

Dede Suryadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved