Trends Economic Issues zkumparan

Gubernur BI Peringatkan Resesi Ekonomi di Tengah Covid-19

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan wabah Covid-19 yang berkecamuk di seluruh dunia akan meningkatkan resiko resesi perekonomian global di tahun ini. Namun, kepanikan yang sempat melanda pasar keuangan dunia mulai terlihat menurun.

Resiko resesi global ini dipengarhui oleh penurunan permintaan dan terganggunya proses produksi. Hal ini merupakan akibat dari social distancing dan anjuran untuk tidak pergi keluar rumah untuk meminimalisir resiko penyebaran Covid-19.

“Pertumbuhan ekonomi negara maju seperti Amerika Serikat dan banyak negara di kawasan Eropa diprakirakan mengalamikontraksi pada tahun 2020, meskipun berbagai kebijakan ultra-akomodatif dari kebijakan fiskal dan moneter telah ditempuh,”

Sementara itu, prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diprakirakan juga akan menurun. Resiko resesi diramalkan akan terjadi pada Triwulan-II dan Triwulan-III 2020 dan diperkirakan akan mulai membaik pada Triwulan-IV 2020. Namun, dia mengatakan di tahun depan pertumbuhan ekonomi dunia akan meningkat tinggi hal ini diakibatkan dari dampak positif kebijakan yang diambil oleh banyak negara.

“Saat ini, kepanikan pasar keuangan dunia juga mulai berkurang. Hal ini terlihat pada medio April 2020. Hal ini didukung oleh sentimen positif atas berbagai respons kebijakan yang ditempuh di banyak negara,” kata dia menambahkan. Kondisi ini tercermin dari penurunan volatility index (VIX) dari 85,4 pada 18 Maret 2020 menjadi 41,2 pada 14 April 2020.

Aktivitas ekspor juga diperkirakan akan menurun karena melambatnya permintaan dunia, terganggunya rantai penawaran global, serta rendahnya harga komoditas global. Adanya social distancing juga menyebabkan turunnya produksi sehingga menurunkan prospek permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi.

Pelambatan ini diperkirakan akan terjadi pada Triwulan-II dan Triwulan III-2020 sejalan dengan prospek kontraksi ekonomi global. “Namun, kami bisa perkirakan perekonomian nasional akan mulai membaik mulai Triwulan IV-2020,” ujarnya. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 adalah sebesar 2,3%, hal ini disebabkan oleh prospek perbaikan ekonomi global, pemulihan ekonomi nasional.

Meskipun aktivotas ekspor menurun, neraca perdagangan akan diramalkan membaik. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan impor yang lebih tinggi akibat menurunnya permintaan domestik dan berkurangnya kebutuhan input produksi untuk kegiatan ekspor. Sementara, defisit neraca jasa juga diprakirakan lebih rendah, karena didorong oleh penurunan devisa untuk biaya transportasi impor serta penurunan devisa pariwisata. “Defisit transaksi berjalan di Triwulan I-2020 diperkirakan akan lebih rendah dari 1,5% PDB,” kata Perry.

Aliran modal asing diprakirakan akan kembali ke Indonesia, akibat dari meredanya kepanikan pasar keuangan global dan membaiknya ekonomi domestik.

Lebih jauh, dia mengatakan, cadangan devisa pada akhir Maret 2020 sebesar US$121,0 miliar atau setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, dan diprakirakan akan meningkat pada akhir April 2020. “Cadangan devisa tersebut lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah,” kata Perry menjabarkan.

Di sisi lain, nilai tukar Rupiah menguat 4,35% secara point to point dibandingkan dengan level pada akhir Maret 2020. Namun, Rupiah masih mencatat depresiasi sekitar 11,18% dibandingkan dengan level akhir 2019. Penguatan ini didukung oleh masuknya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik.

Level ini dianggap dapat mendukung penyesuaian perekonomian yang telah undervalued. “Kami memperkirakan Rupian akan menguat ke arah Rp15.000 per dolar AS di akhir tahun 2020,” ujarnya optimis. Ke depan, BI berencana akan meningkatkan intensitas intervensi di pasar DNDF, pasar spot, dan pembelian SBN dari pasar sekunder.

Inflasi juga tercatat berada pada posisi yang rendah, pada Maret 2020 inflasi IHK tercatat sebesar 0,10% (mtm), lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,28% (mtm). Hal ini dipengaruhi oleh melemahnya permintaan serta mencukupinya pasokan barang, termasuk pangan, dan tetap lancarnya rantai distribusi.

Sementara itu, deflasi kelompok volatile food terutama dipengaruhi oleh koreksi harga pada beberapa komoditas seperti aneka cabai, ikan segar, bawang putih, dan minyak goreng. Adapun, deflasi kelompok administered prices terutama didorong oleh berlanjutnya koreksi tarif angkutan udara.

“Secara tahunan inflasi IHK Maret 2020 tercatat tetap terkendali sebesar 2,96% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan inflasi Februari 2020 sebesar 2,98% (yoy),” kata dia.

Selama tahun 2020, Bank Central telah melakukan injeksi likuiditas sebesar Rp300 triliun ke pasar uang dan perbankan. Injeksi ini dilakukan melalui pembelian SBN dari pasar sekunder sebesar Rp166 triliun, penyediaan likuiditas kepada perbankan sebesar Rp56 triliun melalui mekanisme term-repo dengan underlying, penurunan kembali Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sebesar 50 bps.

“Penurunan GWM menambah likuiditas sebesar Rp22 triliun, setelah sebelumnya mendapatkan penambahan likuiditas sebesar Rp53 triliun melalui penurunan GWM di tahun 2019 dan awal 2020,” kata Perry menjelaskan. Injeksi likuiditas juga didapat dari penurunan GWM valas sebesar 4% atau senilai US$3,2 miliar.

Aksi injeksi ini membuat kecukupan likuiditas di pasar uang menjadi terjaga. Hal ini tercermin pada rerata harian volume PUAB Maret 2020 yang tetap tinggi yakni sebesar Rp12,8 triliun serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 22,81% pada Februari 2020. “Kami meyakini peningkatan stimulus fiskal Pemerintah akan makin memperkuat efektivitas transmisi kebijakan injeksi likuiditas yang ditempuh Bank Indonesia kepada sektor riil,” kata dia.

Stabilitas sistem keuangan juga terjaga. Hal ini terlihat dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Februari 2020 yang tinggi yakni 22,27%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang tetap rendah yakni 2,79% (gross) dan 1,04% (net). Ke depan, BI akan berfokus untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dengan mengantisipasi potensi peningkatan risiko pada sektor keuangan yang terpengaruh dampak penyebaran COVID-19.

“Posisi Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) per Maret 2020 tumbuh 7,53% (yoy), lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya,” tegas Perry. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi peningkatan permintaan uang tunai di masa Covid-19.

Sementara itu, transaksi nontunai menggunakan ATM, Kartu Debit, Kartu Kredit, dan Uang Elektronik pada Februari 2020 terlihat menurun sejalan penurunan aktivitas ekonomi. Namun, transaksi masyarakat menggunakan wadah digital diperkirakan meningkat pada bulan Maret 2020. Hal ini sejalan dengan pemberlakukan pembatasan mobilitas sosial masyarakat. “Kami bersama PJSP akan memperkuat transformasi digital melalui penerapan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025, termasuk peningkatan akseptasi QRIS secara meluas di merchant UMKM dan pasar tradisional, lembaga pendidikan, lembaga sosial dan tempat ibadah,” kata Perry menutup pembicaraan.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved