Trends Economic Issues

Investasi Energi Terbarukan Berpeluang Pulihkan Ekonomi Pascapandemi

Gurihnya Berbisnis Energi Terbarukan - Majalah SWA Edisi 07/2017
Sampul Majalah SWA tentang peluang bisnis energi terbarukan. (Ilustrasi Foto : Majalah SWA).

Investasi di infrastruktur energi terbarukan merupakan salah satu kebijakan yang paling dibutuhkan untuk pemulihan pasca Covid-19. Demikian kesimpulan dari survei 231 responden yang terdiri dari pejabat kementerian keuangan, bank sentral, dan ekonom di 53 negara, termasuk Indonesia.

Analisis tentang berbagai rencana paket pemulihan ekonomi Covid-19 menunjukkan bahwa ada keselarasan yang kuat antara ekonomi dan lingkungan. Berdasarkan riset terbaru yang akan dipublikasikan di Oxford Review of Economic Policy, ada lima tipe kebijakan pemulihan yang paling dibutuhkan, yaitu: investasi kesehatan, kesiapsiagaan bencana, belanja riset, pemberian dana talangan untuk organisasi non-profit, dan investasi infrastruktur energi bersih.

Cameron Hepburn, penulis utama riset sekaligus Direktur di Smith School of Enterprise and Environment, Universitas Oxford, mengatakan pengurangan emisi akibat Covid-19 hanya sementara. “Laporan ini menunjukkan bahwa kita dapat memilih untuk membangun kembali dengan lebih baik dan menjaga agar tetap ada perbaikan—seperti udara yang lebih bersih, kedekatan kembali dengan alam, dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Hepburn seperti dilansir SWA Online di Jakarta (5/5/2020).

Kombinasi hasil survei dan bukti literatur mengungkapkan bahwa ada sejumlah tipe kebijakan pemulihan fiskal yang dapat menawarkan perbaikan ekonomi sekaligus berdampak positif bagi iklim. Di antaranya: investasi infrastruktur dalam bentuk aset energi terbarukan, pengembangan teknologi penyimpanan energi (termasuk hidrogen), modernisasi jaringan, dan belanja teknologi terkait lainnya.

Laporan ini selaras dengan berbagai penelitian sebelumnya yang juga menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur energi bersih cenderung lebih padat karya, sehingga dia akan menciptakan lapangan pekerjaan dua kali lebih banyak dibandingkan investasi bahan bakar fosil.

Charles Donovan, Direktur Centre for Climate Finance, Imperial College Business School, mengatakan energi bersih tidak hanya terjangkau dan dapat diandalkan, tetapi juga menawarkan pengembalian investasi tertinggi. “Investor memiliki selera yang semakin besar untuk menggunakan uangnya di bidang keuangan berkelanjutan. Pemerintah perlu menulis ulang peraturan sehingga mereka bisa (merealisasikan itu),” ucap Donovan.

Sementara itu, kebijakan pemberian insentif untuk maskapai, dukungan likuiditas ke perusahaan besar, bantuan pelaporan kebangkrutan perusahaan, dan penundaan pajak bisnis dinilai memiliki multiplier effect yang buruk dalam jangka panjang maupun dalam mengatasi perubahan iklim. “Responden survei global ini termasuk para pakar dan ekonom di Indonesia. Belanja Indonesia dalam merespons COVID-19 sejauh ini relatif netral terhadap isu iklim, tetapi ada sejumlah kebijakan yang negatif untuk iklim seperti pemberian insentif untuk maskapai dan diskon bahan bakar pesawat di bandara,” rekan penulis riset Brian O’Callaghan menjelaskan.

Seperti diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 tahun 2020 yang memberikan stimulus fiskal merespons COVID-19. Insentif untuk karyawan dan dunia usaha berupa: pajak penghasilan (PPh) karyawan ditanggung pemerintah, pembebasan PPh impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, serta pemberian insentif atau fasilitas PPN yang terdampak COVID-19.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alternatif pilihan kebijakan lain yang dapat memberikan multiplier effect yang lebih baik untuk masa depan ekonomi dan ketahanan perubahan iklim Indonesia di masa depan.

Ajay Gambhir, Peneliti Senior di Institut Grantham untuk Perubahan Iklim dan Lingkungan, Imperial College London, menambahkan ada beberapa perubahan yang dipaksakan kepada publik oleh pandemi ini, termasuk lebih sering bekerja dari rumah dan berkurangnya aktivitas di luar rumah, telah secara tidak sengaja menggambarkan secara sekilas seperti apa masa depan dengan jalan-jalan yang lebih tenang, lebih bersih, dan tidak terlalu stres. “Mendukung perubahan ini dengan mempercepat investasi untuk koneksi di rumah, peralihan ke kendaraan listrik, desain rumah rendah karbon, dan berbagai inisiatif hemat energi jelas lebih masuk akal secara ekonomi dan lingkungan,” tutur Gambhir.

Emily Shuckburgh, Direktur Cambridge Zero, Universitas Cambridge, berpendapat formulasi rencana pemulihan nasional dan global dari pandemi virus corona dengan cara yang lebih responsif terhadap perubahan iklim maupun ancaman lingkungan lainnya sangatlah masuk akal, tidak hanya analisis ini menunjukkan bahwa paket pemulihan yang lebih hijau memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar, tetapi berinvestasi dengan tepat dalam penelitian, inovasi, infrastruktur dan pelatihan keterampilan, serta mencocokkannya dengan struktur kelembagaan yang kuat akan membantu menciptakan dunia yang lebih adil, lebih tangguh, lebih berkelanjutan, dan lebih bermanfaat untuk semua orang. “Seperti biasa, kebaikan dapat diekstraksi bahkan dari saat yang paling gelap, tetapi itu membutuhkan pemikiran yang jelas, imajinasi, dan kepemimpinan yang berani,” ungkapnya.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved