Economic Issues

Muhammadiyah Tolak Rencana Merger Bank Syariah BUMN, Ini Alasannya

Gedung PP Muhammadiyah (Foto: www.suaramuhammadiyah.id)
Gedung PP Muhammadiyah (Foto: www.suaramuhammadiyah.id)

Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, meminta Menteri BUMN Erick Thohir untuk menghentikan rencana penggabungan atau merger bank syariah milik perusahaan pelat merah. Rendahnya penyaluran kredit untuk masyarakat yang bergerak di sektor UMKM selama ini menjadi alasan dibaliknya.

“Tolonglah memikirkan nasib rakyat,” kata Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas di Jakarta, Ahad, 5 Juli 2020.

Rencana merger ini sebenarnya sudah disiapkan sejak awal 2019. Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah, BRI Syariah, dan BTN Syariah, akan dilebur demi akselerasi ekonomi syariah di tanah air. Beberapa hari lalu, Erick Thohir mengatakan merger ditargetkan rampung Februari 2021.

Menurut Erick, kehadiran bank syariah milik BUMN dengan kapasitas besar juga akan memperluas pilihan pendanaan sektor riil yang selama ini masih bergantung kepada Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

“Dia bisa jadi top eight bank yang menjadi alternatif pilihan, karena yang namanya funding terbuka. Hal yang kita coba lakukan segmentasi, yang ada di Himbara juga supaya tidak kanibal dan supaya memperkaya marketnya,” kata Erick Thohir.

Lebih lanjut, Anwar mengatakan saat ini jumlah UMKM di Indonesia mencapai 99 persen lebih. Sementara, usaha besar hanya sekitar 0,01 persen. Sebanyak 62 juta UMKM dan 5 ribu usaha besar.

Dengan jumlah mayoritas seperti ini, UMKM telah mendapat jaminan penyaluran kredit perbankan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 17/12/PBI/2015.

Pasal 2 aturan ini menyebutkan “Jumlah Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20 persen (dua puluh persen) yang dihitung berdasarkan rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan.”

Tapi dalam praktiknya, Anwar menyebut kredit yang bisa didapat 99 persen UMKM ini tak pernah sampai 20 persen. “Pertanyaan saya, adilhkan itu?”

Kini muncul rencana merger. Padahal, kata Anwar, biaya untuk menyalurkan kredit untuk usaha besar dan UMKM hampir sama. Maka nantinya, bank hasil merger akan dihadapi pilihan memberikan kredit pada satu usaha besar yang memiliki biaya lebih murah, atau 10 UMKM dengan biaya 10 kali lipat.

Di saat yang bersamaan, perbankan milik negara ini juga diminta untuk menghasilkan keuntungan dan menekan cost. Kondisi inilah yang membuat Muhammadiyah khawatir, kredit UMKM bakal semakin kalah dari kredit untuk usaha besar. “Apakah bisa dijamin pihak manajemen bank hasil merger itu punya komitmen kepada UMKM?” kata dia.

Dari catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio kredit UMKM memang masih terkendali yakni sebesar 20,35 persen pada Mei 2020. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan posisi April 20,49 persen.

Total penyaluran kredit ke UMKM hingga Mei 2020 mencapai Rp1.091,63 miliar. Namun, persentase di tiap level berbeda-beda. Porsi penyaluran kredit paling besar berasal dari bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV yang mencapai Rp745,72 miliar atau 68 persen dari total penyaluran.

Sementara itu, BUKU III memiliki porsi penyaluran 17 persen dengan nilai Rp180,68 miliar, BUKU II sebesar 14 persen atau Rp155,51 miliar, dan BUKU I hanya sebesar 1 persen dengan nilai Rp9,73 miliar.

Meski demikian, Anwar menyebut merger bisa saja dilakukan terhadap bank syariah milik BUMN ini. Namun dengan aturan hanya boleh mengucurkan dana ke UMKM, bukan ke usaha besar. “Jadi kalau tidak menjalankan, dikenai penalti,” kata dia.

Sumber: Tempo.co


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved