Economic Issues zkumparan

Pariwisata Indonesia: Goes to Next Episode

Wishnutama dan Arief Yahya tengah, usai berlangsungnya sertijab di Gedung Sapta Pesona pada 23 Oktober 2019
Wishnutama dan Arief Yahya tengah diwawancarai usai berlangsungnya sertijab di Gedung Sapta Pesona pada 23 Oktober 2019. (Foto: Kemenpar)

Pariwisata Indonesia telah mencatat kemajuan signifikan di tangan Arief Yahya, Menteri Pariwisata 2014-2019. Kini, ditunggu terobosan Wishnutama Kusubandio yang dipercaya Presiden Joko Widodo memimpin Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada Kabinet Indonesia Maju untuk membawa industri pariwisata kita makin berjaya.

Rabu, 23 Oktober 2019, di sore hari, suasana santai dan penuh canda mewarnai serah-terima jabatan (sertijab) Menteri Pariwisata periode 2014-2019 Arief Yahya ke Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) yang baru, Wishnutama Kusubandio, di Balairung Gedung Sapta Pesona, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Arief Yahya, ketika menyampaikan sambutannya, mengungkapkan, dirinya menjabat Menteri Pariwisata selama lima tahun kurang lima hari, sebab dia melakukan sertijab dengan Menteri Parekraf sebelumnya, Mari Elka Pangestu, pada 28 Oktober 2014. Dengan berkelakar ia berkata, “Nanti yang lima hari saya cicil selama tahun. Yakni, pada saat acara halalbihalal, kalau diundang,” yang disambut dengan tawa dan tepuk tangan pegawai dan pejabat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), serta tamu undangan.

Wishnutama pun tak kalah kocak. Tengoklah, ketika mantan Direktur Utama Net.TV itu mulai berpidato dan mendapat sambutan dari pegawai Kemenparekraf, terutama kalangan muda, dengan santai Wishnutama berujar, “Wah, ini cewek-cewek. Ini bukan konser musik. Saya bukan BTS.” BTS adalah grup musik asal Korea Selatan yang sedang populer.

Arief Yahya adalah salah satu menteri pada Kabinet Kerja (periode pertama Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla) yang mendapat kepercayaan dari Presiden Jokowi untuk memimpin Kementerian Pariwisata (Kemenpar) selama lima tahun. Terlepas dari target jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang tidak tercapai, ia berhasil membawa industri pariwisata Indonesia mencatat kemajuan yang signikan. Tahun 2014, sektor ini hanya mencatatkan perolehan devisa US$ 11,6 miliar. Lalu, tahun 2015 naik menjadi US$ 12,23 miliar, tahun 2016 US$ 13,46 miliar, dan tahun 2017 meningkat lagi ke angka US$ 15,24 miliar. Dan, di tahun 2018, menurutnya, pemasaran pariwisata telah mencapai angka tertinggi dengan menghasilkan devisa pada 2018 sebesar US$ 19,3 miliar, dan tahun ini diperkirakan mencapai US$ 20 miliar, yang menjadikan pariwisata sebagai penyumbang devisa terbesar.

Jumlah wisman yang datang ke Indonesia dalam lima tahun terakhir memang menunjukkan angka yang menggembirakan. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), selama 2014-2018, jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia naik 67,6%. Sementara pada lima tahun sebelumnya (2009-2013) hanya tumbuh 39,2%. Jika di rata-rata, pertumbuhan setiap tahunnya (CAGR (compound annual growth rate), pada periode 2009-2013 tercatat 9%, sedangkan pada 2014-2018 sebesar 14%.

Wisman di 2018 tercatat 15,81 juta orang. Sebetulnya, Kemenpar menargetkan jumlah wisman yang datang ke Indonesia di tahun lalu sebanyak 17 juta orang. Hanya saja, berbagai bencana alam yang terjadi di destinasi wisata utama Indonesia, di antaranya erupsi Gunung Agung di Bali dan gempa di Lombok, membuat arus wisatawan, termasuk wisman, sedikit tersendat. Begitu juga dengan tahun 2019 yang semula ditargetkan 20 juta wiswan, direvisi menjadi 18 juta wisman.

Azril Azhari, pengamat industri pariwisata, menilai target jumlah wisman tahun 2019 sebesar 20 juta sangat tidak realistis. Ia mengemukakan, data tahun 2001 hingga 2014 rata-rata pertumbuhan wisman hanya 8,99% per tahun. Kalau secara normal dengan pertumbuhan 8,99% per tahun, tahun awal 2014 sebesar 9,4 juta wisman, maka diharapkan jumlah wisman sebesar 10,3 juta (2015), 11,2 juta (2016), 12,2 juta (2017), 13,3 juta (2018) dan 14,5 juta (2019). Dengan asumsi pemerintah berupaya keras (optimistis) dengan fokus pada pembangunan destinasi dan event tertentu, kenaikan pertumbuhannya bisa 2%-3%/tahun secara kumulatif (karena ada upaya khusus), sehingga diharapkan dapat mencapai jumlah wisman 10,5 juta (2015), 11,9 juta (2016), 14,0 juta (2017), 16,8 juta (2018), dan 20,6 juta (2019).

Namun, lanjutnya, yang diuntungkan adalah pemilik modal. Maka, Azril menyarankan, sebaiknya masyarakat sekitar harus mendapatkan benefit(community-based tourism), seperti bisa ikut memiliki dan berpartisipasi sebagai pemilik saham, walaupun tidak secara utuh dan penuh, sekecil apa pun besarnya. Dengan demikian, rasa memiliki akan timbul dan bukan hanya sebagai pekerja. “Pada saat mulai perencanaan dan rancangan, sebaiknya masyarakat sekitar sudah dipersiapkan untuk dididik dan dilatih kompetensinya agar mampu dan kompeten menduduki jabatan yang tersedia. Sehingga secara realitas terdapat target yang bisa dicapai secara normal, yaitu 10,5 juta (2015), 11,6 juta (2016), 12,9 juta (2017), 14,3 juta (2018), dan 16,0 juta wisman (2019),” tutur Azril yang juga Ketua Ikatan Cendikia Wisata in.

Catatan positif lainnya, menurut World Travel and Tourism Council (WTTC), Indonesia menempati urutan ke-9 pertumbuhan pariwisata di dunia, ke-3 tercepat di Asia dan di urutan pertama di Asia Tenggara. Yang juga naik sigifikan adalah peringkat Indonesia dalam Travel and Travel Competitiveness Index (TCCI): di tahun 2013 masih di posisi 70, tahun 2017 melonjak di urutan 42, dan di tahun 2019 naik lagi level 40. Hal ini menandakan bahwa pariwisata Indonesia makin kompetitif.

Hanya saja, Azril memberi catatan lima sub-indeks (pilar) dari komponen penilaian TCCI yang masih sangat rendah. Pertama, environmental sustainability, Indonesia berada pada peringkat 135 dunia (2019), tahun 2017 di urutan 131 dunia, dan 134 di tahun 2015. Kedua, health and hygiene, peringkat 102 dunia (2019), 108 di tahun 2017 dan 109 pada 2015. Ketiga, tourist service infrastructure, peringkat 98 dunia (2019), tahun 2017 di urutan 96 dan peringkat 101 di tahun 2015. Keempat, safety and security, peringkat 80 dunia (2019), tahun 2017 di urutan 91, dan peringkat 83 di tahun 2015. Dan, kelima, ICT Readiness, peringkat 67 dunia (2019), peringkat 91 pada 2017 dan 85 di tahun 2015.

Artinya, Azril menegaskan, secara total peringkat dunia Indonesia meningkat dari 50 (2015) menjadi 42 (2017) dan 40 (2019). Akan tetapi, kalau dianalisis dan dirinci per sub-indeks/pilar ada beberapa sub-indeks yang menurun peringkatnya, seperti safety and security dan ICT Readiness. Ini, tentu saja, menjadi pekerjaan rumah bagi Kemenparekraf di masa mendatang untuk melakukan perbaikan agar pariwisata Indonesia makin kompetitif lagi.

Ruang untuk perbaikan dan peluang untuk meningkatkan pertumbuhan pariwisata Indonesia masih terbuka lebar. Dan, Presiden Jokowi pun telah menetapkan industri ini sebagai leading sector, yang terus dipacu pertumbuhannya karena pengembangannya bisa dilakukan lebih cepat dan lebih murah dibandingkan sektor lainnya. Terlebih, kontribusinya terdahap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pun masih rendah, yakni sekitar 6%. Sementara, di negara-negara ASEAN lainnya, kontribusi PDB pariwisata terhadap PDB nasional sudah lebih tinggi, seperti di Singapura yang mencapai sekitar 10%, Vietnam 9%, Malaysia 13%, Filipina 24%, dan Thailand 21%.

Dalam hal kunjungan jumlah wisman, Indonesia juga masih tertinggal dari beberapa negara lain di ASEAN. Tahun 2018, wisman yang berkunjung ke Singapura tercatat 18,5 juta, Malaysia 25,8 juta, dan Thailand 38,3 juta, sedangkan Indonesia tercatat 15,8 wisman. Padahal, kalau dilihat dari sisi destinasi wisata, negara kita lebih kaya dari negara-negara tersebut. Maka, wajarlah bila pemerintah memiliki perhatian yang lebih serius untuk mengembangkan industri pariwisata.

Arief Yahya menekankan bahwa pengembangan destinasi pariwisata Indonesia fokus pada lima destinasi super prioritas, yakni Danau Toba, Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang. “Presiden Jokowi menginstruksikan pembangunan infrastruktur dan utilitas dasar di lima destinasi super prioritas tersebut harus selesai tahun depan, 2020,” katanya.

Begitu juga dalam pengembangan sumber daya manusia, harus SDM yang nomor 1. Arief Yahya menjelaskan, Kemenpar menyertifikasi 500 ribu orang. Kurikulum yang digunakan di sekolah tinggi pariwisata adalah kurikulum tingkat dunia. Lalu, sertifikasi profesinya tingkat ASEAN, namanya MRA-TP ASEAN. Dan, sekolah tinggi tersebut menjadi center of excellence juga. “Jangan mundur, kurikulum harus level dunia, harus sertifikasi standar ASEAN,” Arief menegaskan.

Ia berharap, sektor pariwisata bersama ekonomi kreatif dalam lima tahun ke depan lebih maju dengan menghasilkan devisa lebih besar. “Tahun ini pariwisata diproyeksikan akan menghasilkan devisa hingga US$ 20 miliar. Ke depan, akan lebih besar lagi,” kata Arief Yahya.

Optimalisasi Event sebagai Daya Tarik bagi Wisatawan

Bak gayung bersambut, Wishnutama pun mengungkapkan, pariwisata dan ekonomi kreatif merupakan core business bangsa Indonesia ke depan, sehingga harus dikelola lebih kreatif agar menghasilkan devisa dan dikunjungi wisatawan berkualitas. Selain promosi dan infrastruktur, dibutuhkan kemampuan lebih kreatif untuk mengelola daya tarik wisata. “Kreativitas tidak hanya dibutuhkan dalam mengelola produk ekonomi kreatif seperti film dan musik, tetapi juga pada pariwisata, khususnya bagaimana membuat destinasi pariwisata memiliki daya tarik yang luar biasa,” kata mantan Direktur Utama TransTV ini.

Menurutnya, alam Indonesia yang menarik itu merupakan anugerah Tuhan. Tinggal bagaimana kreativitas kita untuk menjadikan sebagai daya tarik yang luar biasa agar dikunjungi wisatawan. Contohnya, Belgia punya Tomorrowland, festival yang didirikan di atas padang rumput. Ada lagi Coachella di California, Amerika Serikat, yang sudah mendunia dan punya daya tarik luar biasa, padahal lokasinya hanya di padang pasir.

Tomorrowland yang disebutkan Wishnutama adalah festival musik dansa elektronik yang diadakan di Boom, Belgia. Tomorrowland pertama kali diadakan pada 2005, dan sejak itu menjadi salah satu festival musik terbesar dan paling terkenal di dunia. Sekarang, membentang lebih dari dua akhir pekan dan biasanya tiketnya terjual habis dalam hitungan menit.

Adapun Coachella adalah festival musik dan seni tahunan yang diselenggarakan di Empire Polo Club di Indio, California, tepatnya di Inland Empire, Coachella Valley di Gurun Colorado. Festival ini disebut juga dengan Coachella Valley Music and Arts Festival atau Coachella atau Festival Coachella. Festival ini didirikan oleh Paul Tollett pada 1999 dan kemudian diselenggarakan oleh Goldenvoice yang merupakan anak perusahaan AEG Live. Acara Coachella memiliki banyak genre musik, termasuk rock, indie, hip hop, dan musik dansa elektronik, juga terdapat instalasi seni dan patung.

Wishnutama menambahkan, festival musik tersebut memiliki daya tarik tinggi karena dikelola secara kreatif. Kita, lanjutnya, memiliki banyak calender of event (CoE). Ke depan, “Kita pilih dan fokus beberapa saja namun memiliki daya tarik yang luar biasa agar banyak mendatangkan wisatawan,” ia menegaskan. Wakil Menparekraf Angela Tanoesoedibjo sepakat, ke depan Indonesia perlu menghadirkan event-event besar untuk megundang wisatawan dari negara lain. Ia menyebut contoh sport tourisme, seperti Asian Games dan balap mobil elektrik. “Juga, event-event musik dan lainnya yang seuai dengan kebudayaan lokal,” tutur Angela, usai dilantik Presiden Jokowi pada 25 Oktober lalu.

Sebenarnya, Kemenpar setiap tahun juga sudah mempunyai daftar 100 CoE pilihan, di mana CoE tahun 2020 sudah diluncurkan oleh Arief Yahya pada 15 Oktober 2019. Esthy Reko Astuti, Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Manajemen CoE Kemenparekraf, menjelaskan, awal dibentuknya CoE adalah pada saat event Sail Tomini 2015, yang juga dihadiri Presiden Jokowi. Dia menyampaikan kepada Kemenpar bahwa jika ingin membuat event yang bagus, harus ditangani secara profesional, mulai dari fashion yang dikenakan, atraksi, hingga musiknya. Nah, dari sanalah, Menpar periode 2014-2019 menindaklanjuti keinginan Presiden, yang kemudian membuat daftar 100 CoE pilihan.

Selain itu, ia menambahkan, Kemenpar juga menyusun kriteria apa saja yang harus dimiliki dan dilakukan oleh penyelenggara untuk membuat event yang lebih profesional sesuai dengan arahan. “Kami mengatur sampai bagaimana cara penyelenggaraanya, dan lain-lain. Dari sana kami mencoba untuk menyusun formatnya dan mulai mengkurasi event-event di daerah,” Esthy menjelaskan.

Event yang dikurasi adalah yang sudah diselenggarakan di daerah, baik yang digelar oleh pemerintah daerah, pro bono, maupun swasta. Beberapa di antaranya berupa event musik, olahraga, dan literasi. Setelah itu, dibuatlah kriterianya, di antaranya harus memiliki unsur kultural dengan mengakat kebudayaan dan konten lokal tetapi ditampilkan secara lebih kreatif, harus memperhatikan aspek komersial dan komunikasi, juga aspek konsistensi dan komitmen penyelenggaranya. “Para kurator ini juga akan mempertimbangkan aspek aksesibilitasnya. Para kurator yang memilih event untuk EoC ini; bukan kami, tapi orang profesional. Kami tidak banyak mencampuri hasil kurasi dari para kurator,” Esthy mengungkapkan.

Ruang Perbaikan ke Depan

Fokus pengembangan pariwisata ke depan bisa saja bergeser. Namun, Dadang Rizki Ratman, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenparekraf, sepakat bahwa pembangunan pariwisata ke depan harus diperbaiki dan ditingkatkan agar masyarakat menerima manfaat yang dikerjkaan pemerintah, termasuk di bidang pariwisata. Semuanya untuk masyarakat. Prinsip yang disampaikan dari Presiden Jokowi, tidak hanya send, tetapi juga deliver. “Jadi, kami semua dituntut untuk men-deliver kepada semua masyarakat apa saja manfaat yang bisa diterima oleh mereka. Nantinya, bisa dibuktikan oleh masyarakat sendiri terasa atau tidak manfaatnya,” kata Dadang.

Menurut Dadang, secara konsep, destinasi itu terdiri dari beberapa atraksi yang berbasis alam, budaya, dan buatan. Semua itu akan tetap digemari. Masyarakat semakin berkembang, gaya hidup juga sudah berubah, ada yang tetap senang ke alam, ada yang tetap senang ke budaya, dan ada yang lebih suka kepada atraksi buatan. “Dengan kemajuan teknologi, kemungkinan besar akan ada pergeseran antara ketiganya. Menurut kami, atraksi yang disiapkan di daerah masing-masing tetap menarik dikunjungi wisatawan dan terus ada peningkatan ke depan,” katanya.

Terkait pengembangan industri pariwisata Indonesia ke depan, Arief Yahya juga memberikan dua PR yang harus segera dituntaskan demi kemajuan sektor ini. PR pertama, bencana alam dan bencana bukan alam. Menurutnya, untuk bencana alam, sebagian besar destinasi wisata di dalam negeri sudah mulai membekali diri dengan sistem mitigasi yang baik. Permasalahan paling mendasar justru terletak pada bencana bukan alam, seperti zero dollar tour dan polemik Pulau Komodo yang menghebohkan dunia beberapa waktu lalu. “Masalah bencana tidak alam ini dapat membawa dampak yang sangat besar bagi keberlangsungan pariwisata dalam negeri. Contoh paling nyata adalah kasus zero dollar tour, separuh wisatawan dari China dilaporkan enggan mengunjungi Indonesia setelah kasus ini merebak ke permukaan,” kata Arief Yahya, saat peluncuran CoE tahun 2020, pada 15 Oktober 2019.

Zero dollar tour merupakan paket wisata murah yang dibeli para turis China untuk berlibur ke Bali. Harga paket yang ditawarkan digadang-gadang senilai biaya tiket perjalanan Denpasar-China. Sekilas, memang sangat menggiurkan. Namun, selama di Bali, mereka diwajibkan mengikuti itinerary atau jadwal yang telah ditetapkan oleh agen wisata. Mereka ditengarai menerapkan praktik monopoli, di mana wisatawan digiring untuk berbelanja di tempat yang telah mereka tentukan. Harga barang yang ditawarkan ternyata jauh lebih tinggi, dan pembayarannya hanya bisa dilakukan secara nontunai. “Zero dollar tour itu impact-nya sangat besar. Ketika itu terjadi, separuh turis China ‘hilang’. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak terjadi, karena yang rugi ya kita juga,” Arief Yahya menegaskan.

PR kedua adalah soal anggaran. Kemenpar di bawah kepemimpinannya hanya menerima anggaran sebesar 45% dari total yang diajukan. Bahkan, anggaran tahun ini turun menjadi 35%. “Itulah PR-nya,” Arief Yahya menandaskan. Dengan PR seperti ini, katanya, industri pariwisata Indonesia masih belum mampu, dan justru akan overheating bila dipaksakan. Ia menganalogikan, Indonesia bila diibaratkan sebagai mobil 1.000 cc, dan diadu dengan mobil 4.000-5.000 cc, kalau dipaksakan, mesinnya akan panas dan meledak.

Padahal, bila ingin mencapai target kunjungan 20 juta wisman, setidaknya jumlah kunjungan wisman kita harus tumbuh 20% per tahun. Masalahnya, untuk meng-attract seorang wisman itu minimal membutuhkan dana US$ 20, sedangkan kita hanya dialokasikan US$ 6 atau sekitar 30%. “Jadi, tidak mudah. Untungnya, kita bisa meningkatkan average spending arrival. Walau jumlah kunjungan wismannya tidak tercapai, devisanya tercapai,” ungkap mantan Dirut Telkom itu.

Sementara itu, Azril Azhari menyampaikan sejumlah saran untuk pengembangan pariwisata ke depan. Pertama, Menparekraf yang baru sebaiknya cepat memahami betul dan mengubah paradigmanya terhadap pariwisata saat kini, karena perjalanan pariwisata dunia sudah bergeser. “Menteri perlu dibantu oleh tenaga ahli/pakar yang profesional, yang benar-benar memahami kepariwisataan,” katanya.

Kedua, melakukan riset kebijakan (policy research). Menurut Azril, riset kebijakan sangat berbeda dengan riset yang selama ini dilakukan oleh lembaga pendidikan parwisata. “Riset kebijakan adalah a special type of research that can provide communities and decision-makers with useful recommendations and possible actions for resolving fundamental problems,” katanya. Artinya, bahwa riset kebijakan adalah alat untuk pengambil dan penentu kebijakan yang akan bermanfaat untuk masyarakat, sehingga perlu diawali dengan evaluasi kebijakan yang ada. Tujuannya, memberikan rekomendasi dan tindak lanjut yang berguna untuk kebijakan baru dan pemecahan masalah.

Azril menegaskan, pariwisata dunia telah bergeser sejak tahun 2010, dari 3S: Sun-Sand-Sea menjadi 3S: Serenity-Spirituality-Sustainability. Untuk itu, lanjutnya, pemerintah sebaiknya mengikuti pergeseran paradigma pariwisata dengan mengangkat dan menciptakan ketenangan diri (serenity), ketenangan spiritual (spirituality), serta keberlanjutan budaya dan lingkungan (sustainability). Artinya mass/quantity tourism telah bergeser ke alternative/quality tourism (responsible tourism).

Tentu, kita berharap, dengan kreativitas dan perbaikan yang akan dilakukan oleh Kemenparekraf di bawah kepemimpinan Wishnutama, industri pariwisata makin berkembang lagi. Tak hanya itu, karena sifat industri ini yang multiplier effect, diharapkan juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Semoga! (*)

Ni Wayan Giri Adnyan, Deputi Bidang Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kemenparekraf

Peningkatan kualitas pelayanan untuk wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan Nusantara, diharapkan memberikan impresi yang baik dan menimbulkan keinginan untuk kembali berkunjung. Hal ini diimplementasikan melalui peningkatan kapasitas dan profesionalisme SDM, sehingga diharapkan kualitas pelayanan dalam bidang kepariwisataan menjadi lebih baik sekaligus meningkatkan daya saing SDM pariwisata Indonesia, terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara lain, peningkatan kompetensi tenaga kerja kepariwisataan melalui sertifikasi kompetensi, peningkatan kualitas dan kuantitas lulusan perguruan tinggi pariwisata, serta optimasi penelitian dan pengembangan sebagai dasar perumusan arah kebijakan kepariwisataan.

Kemudian, pengembangan wisata budaya, alam, dan buatan melalui diversifikasi, diferensiasi, peningkatan dan pengembangan wisata kuliner dan spa, pengembangan wisata sejarah dan religi, pengembangan wisata tradisi dan seni budaya, pengembangan wisata perdesaan dan perkotaan, pengembangan wisata bahari, pengembangan wisata ekologi dan petualangan, pengembangan kawasan wisata, serta pengembangan wisata konvensi, olahraga dan rekreasi. Selain itu, juga penguatan kapasitas masyarakat melalui kelompok sadar wisata, peningkatan kapasitas usaha masyakarat, serta internalisasi Sadar Wisata dan Sapta Pesona.

Kemenparekraf optimistis pertumbuhan sektor pariwisata di masa mendatang tetap baik. Seperti yang kita ketahui, Indonesia mengalami pertumbuhan kunjungan wisman sebesar 12,58% di tahun 2018, di atas Malaysia, Singapura, dan Thailand. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan kunjungan wisman ke Indonesia lebih besar daripada pertumbuhan di regional ASEAN yang sebesar 7,4%, maupun pertumbuhan di dunia yang sebesar 5,6%. Berdasarkan data World Travel & Tourist Council (WTTC), pada 2018 pertumbuhan pariwisata Indonesia menduduki peringkat ke-9 tercepat di dunia.

Rata-rata pertumbuhan tahunan, Compound Annual Growth Rate (CAGR), jumlah wisman juga mengalami peningkatan, dari 9% pada periode 2009-2013 menjadi 14% pada periode 2014-2018. Sementara itu, pertumbuhan absolut (absolute growth) wisman di Indonesia pada periode 2014-2018 juga mengalami pertumbuhan, sebesar 67,6%. Pertumbuhan pada periode tersebut menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan periode 2009-2013 yang mengalami pertumbuhan 39,2%. (*)

Esthy Reko Astuti, Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Manajemen Calender of Event Kemenparekraf

Selama ini, Kemenpar (sekarang menjadi Kemenparekraf) melihat bahwa format Calende of Event (CoE) ini membuat proses promosi menjadi lebih mudah, dan acara yang ada juga ditampilkan dengan lebih matang karena sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, atau sekitar setahun. CoE juga membantu pasar Eropa, karena biasanya orang Eropa merencanakan liburan satu tahun sebelum keberangkatan.

Kemenparekraf mengevaluasi CoE setiap tahun. Namun, jika event-nya memang sudah besar dan profesional, event tersebut akan lebih stabil dan konsisten. Mereka juga biasanya sudah lebih matang dan konsisten dari segi komunikasi dan rencana promosi. Selain itu, mereka pun lebih profesional dalam hal membuat konten dan cara pengemasan. Untuk menilai apakah event tersebut layak dipertahankan dalam kalender event atau tidak, Kemenparekraf juga melihatnya dari impresi dan attraction masyarakat di media sosial.

Ada 100 event yang masuk dalam daftar CoE yang menjadi favorit wisman, antara lain sport tourism, acara musik, Bali Spirit Festival, Pesta Kesenian Bali (PKB), dan Tour de Ijen. Beberapa event olahraga, budaya, dan seni memang menjadi daya tarik bagi wisman. Sementara Ubud Writer Festival, Tour de Singkarak, Tour de Ijen, dan PKB banyak dikunjungi wisatawan domestik. Yang paling banyak mendatangkan wisatawan adalah yang berpromosi melalui berbagai media, termasuk media sosial.

Tugas Kemenparekraf tidak membuat event. Kami hanya mendorong daerah dan penyelenggara untuk menggelar event wisata. Nah, Kemenparekraf tugasnya menyinergikan dengan kementerian lain, seperti Kementerian Perindustrian, juga menyinergikan dengan destinasi wisata agar dampaknya besar dan memiliki daya tarik lebih di mata wisatawan. (*)

Rizki Handayani, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran 1 Kemenparekraf

Ke depan, Menteri Parekraf yang baru concern pada creating product, dan memberikan contoh mengenai festival Tommorrowland di Belgia dan Conchella di California, AS. Jadi, dalam rangka menarik wisatawan, dan meningkatkan jumlah devisa tentunya, harus ada sesuatu yang dikembangkan Kemenparekraf.

Sebenarnya, secara framework apa yang disusun oleh Pak Arief Yahya bisa kita teruskan. Pak AY (panggilan Arief Yahya di Kemenparekraf) menstrukturkan dan berkonsentrasi di beberapa hal seperti digital tourism, dan Pak Wishnutama juga sepertinya akan ke arah itu. Kemudian, kaitannya dengan penerbangan dalam rangka membawa penumpang, akses menjadi penting. Ini akan tetap kami teruskan. Bahkan, kami juga harus memikirkan bagaimana mengembangkan destinasi lain di luar lima destinasi super prioritas. Dan, bagusnya, ekonomi kreatif sudah bersama kita lagi.

Pak Wishnutama mungkin berpikir bahwa sarana infrastruktur sudah dilakukan oleh kementerian yang lain, sehingga Kemenparekraf akan mendukung dari sisi pengembangan atau penciptaan event-event yang bertaraf internasional. Misalnya, MICE (meeting, invcentive, conference, exhibition), dia akan concern untuk menarik kegiatan meeting atau konferensi internasional. Jadi, beliau mengarahkan event internasional mana yang bisa kita tarik kesini, atau menciptakan event yang bertaraf internasional, dan sepertinya ini juga sebagai pesan dari Presiden. (*)

Reportase: Andi Hana Mufidah Elmilasari, Arie Lilyah, Chandra Maulana, Sri Niken Handayani dan Vina Anggita/Riset: Nico Augusta

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved