Economic Issues

Pemerintah Gelar Berbagai Upaya Atasi Inflasi Global

Pemerintah Gelar Berbagai Upaya Atasi Inflasi Global

Kenaikan harga berbagai komoditas penting di pasar global menyusul perang Rusia-Ukraina mendongkrak penerimaan negara dari sisi ekspor. Di sisi lain, kenaikan harga itu juga memukul masyarakat pada umumnya. Pemerintah pun menyusun strategi untuk mengatasi inflasi global.

Seorang pedagang hasil bumi dan rempah-rempah menunggu pelanggan di kiosnya di pasar tradisional di Tangerang, Selasa, 29 Maret 2022. (AP Photo/Tatan Syflana)

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kondisi geo politik yang masih panas antara Rusia dan Ukraina berdampak pada kenaikan harga komoditas dan kenaikan inflasi di Indonesia.

Airlangga mengungkapkan, harga batu bara kini sudah di atas USD258 per ton , harga minyak mentah brent sudah bertengger di atas USD100 per barel, harga minyak sawit mentah (CPO) di atas USD1.500 per barel dan harga gandum sudah mencapai USD1.000 per ton.

Kenaikan harga ini, katanya, bisa dimengerti karena Rusia merupakan produsen besar gandum dan minyak nabati.

“Oleh karena itu, di Indonesia ada dua akibat, satu terkait dengan penerimaan ekspor tentu akan ada kenaikan, tetapi juga ada transmisi di dalam negeri yang tidak bisa seluruhnya ditransmisikan ke masyarakat. Oleh karena itu, arahan Bapak Presiden adalah perlindungan sosial perlu terus dipertebal,” ungkap Airlangga dalam telekonferensi pers usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Merdeka, Selasa (5/4).

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam telekonferensi pers usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/4) mengatakan pemerintah akan perkuat perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah adanya inflasi global (biro Setpres)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam telekonferensi pers usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/4) mengatakan pemerintah akan perkuat perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah adanya inflasi global (biro Setpres)

Untuk menjaga daya beli masyarakat agar tetap stabil, katanya, pemerintah akan menggelontorkan berbagai bantuan, termasuk bantuan sembako dengan sasaran 18,8 juta keluarga penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) kepada 10 juta keluarga penerima, bantuan tunai langsung (BLT) Dana Desa, dan yang terbaru, BLT minyak goreng yang besarnya Rp300 ribu dan akan diberikan selama tiga bulan.

Selain itu, menurutnya, pemerintah juga akan memberikan bantuan subsidi upah untuk pekerja yang memiliki gaji di bawah Rp3,5 juta, sebesar Rp1 juta per orang. Bantuan ini, kata Airlangga, akan diberikan kepada 8,8 juta pekerja.

“Kebutuhan anggaran Rp8,8 triliun. Dan tadi juga ada usulan dari Banpres untuk usaha mikro yang nanti juga akan diagendakan besarannya Rp600 ribu per penerima. Ini sama dengan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, red) dan sasarannya 12 jutaan,” jelasnya.

Presiden Jokowi, ungkap Airlangga, juga menyoroti kenaikan harga pupuk. Harga pupuk urea, menurutnya, saat ini sudah mendekati USD1.000 per ton. Untuk mengatasi kenaikan harga pupuk ini, pemerintah akan memprioritaskan penggunaan pupuk bersubsidi pada komoditas tertentu.

“Tentu akan ada pembatasan terkait dengan komoditas, prioritasnya adalah padi, jagung, kedelai, bawang merah, cabe, tebu, kakao, kemudian tentu pupuk yang disubsidi juga mulai dibatasi yakni Urea dan MPK,” jelasnya.

Jokowi, katanya, memperingatkan agar subsidi pupuk ini tepat sasaran sehingga tidak menimbulkan kelangkaan pupuk yang pada akhirnya bisa menciptakan ketidakamanan ketersediaan pangan.

Ancaman Masyarakat Bertambah

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa kenaikan harga komoditas berdampak kepada bertambahnya penerimaan negara dari sisi APBN. Namun, sayangnya masyarakat akan merasakan tekanan pada harga pangan yang serba mahal.

“Di satu sisi dari sisi APBN penerimaan negara yang akan naik dari sisi komoditas tersebut entah itu dari minyak, gas, batu bara, dan juga nikel, CPO, itu memberikan daya tambah dari sisi penerimaan negara, namun di sisi lain masyarakat juga akan merasakan rambatan dari inflasi global tersebut yang kemudian perlu untuk diputuskan langkah-langkah untuk menjaga. Kalau dulu tantangan dan ancaman bagi masyarakat adalah pandemi, sekarang tantangan dan ancaman bagi masyarakat adalah kenaikan dari barang-barang tersebut,” ungkap Sri Mulyani.

Menkeu Sri Mulyani mengatakan pendapat negara dari kenaikan harga komoditas global akan digunakan oleh pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga momentum pemulihan ekonomi akibat pandemi dan tetap menjaga APBN tetap sehat. (Biro Setpres)
Menkeu Sri Mulyani mengatakan pendapat negara dari kenaikan harga komoditas global akan digunakan oleh pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga momentum pemulihan ekonomi akibat pandemi dan tetap menjaga APBN tetap sehat. (Biro Setpres)

Ia mengatakan, tambahan kenaikan penerimaan negara ini harus bisa dialokasikan secara tepat. Pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, ujarnya, adalah mempertahankan daya beli masyarakat, menjaga momentum ekonomi, dan menjaga APBN agar tetap sehat.

Selain memaksimalkan perlindungan sosial, menurut Sri Mulyani, pemerintah lewat berbagai kementerian dan lembaga juga diharapkan mengoptimalkan program-programakselerasi pemulihan ekonomi.

“Kita masih ada Rp455 triliun untuk program pemulihan ekonomi di dalam rangka PC-PEN (Program Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, red). Ini akan difokuskan kepada program-program seperti labor intensive atau program untuk meningkatkan ketahanan dan penciptaan kesempatan kerja, terutama untuk Kementerian PUPR, (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), kemudian kementerian lain,” jelasnya.

Ia juga mengatakan, pemerintah akan terus memperkuat langkah-langkah koordinasi khusus di bidang ketahanan pangan, seperti pembukaan lahan, irigasi, serta penyediaan pupuk dan bibit.

“Semua negara di dunia sekarang sedang menghadapi situasi yang tidak mudah, oleh karena itu ketahanan pangan dan ketahanan energi menjadi salah satu hal yang harus ditingkatkan dan Bapak Presiden menginstruksikan untuk pangan ini siklusnya biasanya untuk padi, jagung, kedelai, itu tidak lebih dari tiga bulan, jadi seharusnya bisa direspon secara lebih cepat, oleh Kementerian terkait bekerja sama dengan pemerintah daerah,” tuturnya.

“Dari sisi APBN kita akan dukung untuk langkah-langkah mengamankan masyarakat kita terutama yang merasakan dampak global yang memang dirasakan seluruh dunia, dan di sisi lain menggunakan APBN secara tepat sehingga betul-betul bisa menjaga keselamatan rakyat, menjaga keselamatan ekonomi dan menjaga kesehatan dari APBN,” pungkasnya.

Substitusi impor

Pengamat Ekonomi Indef Eko Listiyanto menilai langkah pemerintah untuk memperkuat perlindungan sosial dalam rangka menangkal inflasi global cukup baik.

Meski begitu, untuk jangka menengah-panjang, pemerintah perlu melakukan substitusi impor bahan baku dan penolong yang kerap dilakukan oleh industri-industri di dalam negeri.

Komoditas baja merupakan salah satu yang dikhawatirkan terdampak konflik Rusia-Ukraina. (Foto: Kemenperin)
Komoditas baja merupakan salah satu yang dikhawatirkan terdampak konflik Rusia-Ukraina. (Foto: Kemenperin)

Menurutnya, ketika harga komoditas sedang naik, pemerintah sering lupa membangun industri yang kuat di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Dalam era kenaikan harga komoditas ini, katanya, inflasi disebabkan oleh ketidakmampuan industri untuk tidak menaikkan harga, sebagai akibat dari naiknya harga barang modal yang didapat dari pasar global.

“Kalau zaman dulu, Pak Harto sangat concern dengan pertanian ketika kita booming komoditas, kemudian uangnya dipakai untuk panca usaha tani waktu itu dan bisa swasembada. Mungkin kali ini harus berpikiran dengan konsep yang mirip-mirip, jadi booming komoditas harus diarahkan bagaimana membangun industri di dalam negeri supaya tidak terlalu tergantung dengan komponen yang impor, terutama bahan penolong yang biasanya paling jadi persoalannya. Bagaimana bisa lebih kuat bahan baku dari domestik,” ungkap Eko kepada VOA.

Cara tersebut, menurutnya, memang tidak bisa berdampak langsung. Namun, kebijakan seperti ini harus dimulai dari sekarang, mengingat kejadian seperti ini selalu berulang. Menurutnya, keengganan industri untuk menggali potensi dalam negeri untuk bisa mengatasi ketergantungan impor bahan baku dan penolong salah satunya karena tidak adanya insentif dari pemerintah. Ia mencontohkan, industri yang ketergantungan impor bahan baku dan penolongnya sangat tinggi yakni gula, kedelai dan susu.

“Bahan bakunya (harus bisa) ditopang oleh dalam negeri, kalau dalam negeri walaupun harganya naik nanti yang merasakan kesejahteraannya kita-kita juga, daya beli naik, mereka membeli produk dalam negeri, akhirnya overall bagus, ketika terjadi kenaikan komoditas karena perputaran ekonominya jadi di dalam terus. Itu baru akan kejadian kalau memang tidak terlalu banyak ketergantungan impor industrinya. Ketergantungan impor industri kita banyak termasuk juga di industri pangan, sehingga kalau ada komoditas global naik, akhirnya mereka menaikkan harga,” pungkasnya. [gi/ab]

Sumber: VoAIndonesia.com


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved