Trends Economic Issues zkumparan

Pentingnya Keberagaman Hayati Untuk Ketahanan Pangan Nasional

Pentingnya Keberagaman Hayati Untuk Ketahanan Pangan Nasional

Data dari Badan Ketahanan Pangan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu. Keragaman sumber pangan ini merupakan yang tertinggi di dunia setelah Brazil.

Yayasan KEHATI menilai menumpukan kebutuhan pangan nasional hanya pada beras jelas berisiko. Selain karena tidak semua lahan cocok untuk tanaman padi, perubahan iklim merupakan ancaman tersendiri bagi produktivitas sawah.

“Upaya untuk kembali ke sumber pangan lokal harus ditingkatkan. Keragaman sumber pangan Nusantara merupakan jawaban terhadap permasalahan kelaparan, gizi buruk, termasuk perubahan iklim,“ ujar Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto dalam talkshow “Keberagaman sebagai Jawaban Sumber Kebutuhan Pangan Lokal ke Depan” di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Penyeragaman pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi, telah menempatkan sebagian masyarakat justru rentan pangan. Kasus gizi buruk dan bencana kesehatan di Asmat, Papua awal tahun 2018 yang menewaskan 72 anak menjadi puncak gunung es kerentanan pangan Indonesia. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2018 tentang ”Kondisi Ketahanan Pangan dan Gizi di Dunia” juga menyebutkan, Indonesia adalah negara yang memiliki prevalensi tinggi untuk tiga indikator malnutrisi, yaitu anak pendek (child stunting), kurus (child wasting), dan kegemukan (child overweight).

Dengan kekayaan keanekaragaman potensi pangan di Indonesia, maka kebijakan untuk meninggalkan bias beras dan menyambut berbagai kearifan lokal masyarakat akan mendorong perbaikan gizi masyarakat. Yayasan KEHATI mengajak masyarakat untuk melihat dan memahami pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati untuk kedaulatan pangan, khususnya kemandirian dan ketahanan pangan lokal.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sudah secara tegas menyatakan penganekaragaman pangan merupakan upaya meningkatkan ketersediaan pangan yang beragam dan berbasis potensi sumber daya lokal. Dengan regulasi tersebut, pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan dan pengembangan produksi pangan lokal.

Sesuai dengan policy brief yang dikeluarkan oleh Yayasan KEHATI, terdapat 7 usulan agar Indonesia dapat mewujudkan cita-cita ketahanan pangan yaitu:

Pertama, pemerintah dan stakeholder terkait perlu mengembalikan konsep pangan nusantara yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal. Pemerintah perlu mengubah visi pangan nasional yang mengakomodir keragaman dan kebutuhan pangan lokal, yang secara alami telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat dan secara budaya menjadi sumber pangan masyarakatnya. Oleh karena itu, ketersediaan pangan nasional harus memasukkan data tentang ketersediaan pangan nusantara dan tidak lagi disederhanakan hanya menjadi padi, jagung, dan kedelai yang kemudian dipaksanakan di seluruh Indonesia yang memiliki keberagaman agroklimat dan budaya.

Kedua, pemerintah dan stakeholder terkait perlu mengarusutamakan pangan nusantara ke dalam program nasional. Selain itu, perlu memperluas ruang lingkup visi Presiden terpilih untuk mempercepat dan melanjutkan pembangunan infrastruktur, tidak hanya persawahan dan perkebunan melainkan juga wilayah cadangan pangan lainnya.

Ketiga, gagasan tentang mengembalikan keberagaman pangan nusantara perlu masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), programprioritas nasional, dan sistem penganggaran nasional.

Keempat, pemerintah dan stakeholder terkait perlu menyusun target nasional penurunan konsumsi beras sebagai sumber karbohidrat dan menggantinya dengan ragam pangan nusantara lainnya.

Kelima, kebijakan tentang pangan perlu diintegrasikan dengan kesehatan, keberagaman hayati, perubahan iklim, dan sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya goal ke-2. Perlu ditekankan bahwa produksi pangan ke depan harus mengembangkan model berkelanjutan melalui pendekatan agroekologi yang berbasiskan empat pilar: layak secara ekonomi, teknologi adaptif, tidak merusak lingkungan, serta secara sosial-budaya diterima warga.

Keenam, pemerintah dan stakeholder terkait perlu merealisasikan Cadangan Pangan Masyarakat (CPM), sesuai UU Pangan Pasal 33, di mana masyarakat punya hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam mewujudkannya. Demikian juga perlu pemerintah memfasilitasi pengembangan CPM sesuai kearifan lokal.

Ketujuh, pemerintah dan stakeholder terkait perlu membangun mekanisme pemberian insentif, termasuk penghargaan, bagi pemerintah daerah dan pegiat pelestarian pangan Nusantara.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved