Economic Issues

Peringkat Indonesia Turun Kelas, Apa Konsekuensinya?

Para pekerja penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor. (Foto: Kompas.com).

Indonesia turun peringkat menjadi negara kelas menengah bawah atau low middle income, menurut penilaian Bank Dunia. Turunnya kelas Indonesia ini akan memiliki beberapa konsekuensi besar terhadap perkembangan ekonomi negara.

Mengutip laporan Bank Dunia, penilaian terkini mencatat pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita Indonesia pada 2020 turun menjadi 3.870 dolar AS.

Pada tahun lalu, Indonesia berada di level atas negara berpendapat menengah atas dengan GNI sebesar 4.050 dolar AS per kapita.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, ada beberapa konsekuensi dari turunnya peringkat Indonesia ini. Yang paling utama adalah, proses menuju menjadi negara maju akan semakin tertunda.

“Harusnya dari upper middle income ke high level income, kalau sekarang turun peringkat, berarti proses ke negara maju makin terlambat,” ujar Bhima, Kamis (8/7).

Efeknya, Indonesia bisa terjebak dalam jebakan kelas menengah atau middle income trap, karena dalam 25 tahun ke depan Indonesia tetap jadi negara pendapatan menengah.

Konsekuensinya, masyarakat akan semakin sulit mencari lapangan pekerjaan atau serapan tenaga kerja kurang optimal. Apalagi saat ini ada bonus demografi yang puncaknya pada 2030. Pada saat itu, anak muda banyak yang lulus dari perguruan tinggi, tetapi karena ekonominya tidak tumbuh signifikan, maka lapangan kerja menjadi sangat terbatas.

“Tingkat pengangguran usia muda menjadi tinggi. Sekarang Indonesia menjadi negara dengan pengangguran usia muda tertinggi, salah satunya di Asia Tenggara.” papar Bhima.

Kedua, Indonesia akan menjadi tua sebelum kaya. Artinya, kita akan masuk sebagai generasi yang perlindungan sosial juga kecil dari pemerintah, pendapatan rata-rata tidak mengalami kenaikan yang tinggi, dan alhasil kualitas hidup tidak akan meningkat.

Tidak ada kenaikan kualitas hidup warga indo scr umim, baik dalam kesehatan dan pendidikan, ini juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan mereka yang termasuk lansia.

“Anak mudanya, milenial dan Gen Z, akan semakin banyak yang menjadi generasi sandwich, sehingga generasi sandwich ini akan jadi generasi yang berat, bahkan lebih berat dari generasi sebelumnya.” jelasnya.

Ketiga, Indonesia akan kurang diminati dalam hal investasi, karena dianggap sama saja dengan negara miskin seperti Timor Leste. Jadi, Indonesia tidak akan menjadi negara dengan tujuan investasi yang secara profil risiko aman, dan masuk negara risiko tinggi.

Artinya, minat investasi dari luar negeri untuk menanamkan modalnya dalam jangka panjang di Indonesia ini akan berkurang minatnya. Investor akan mencari negara lain yang berpendapatan menengah ke atas.

Keempat, Indonesia akan ketagihan meminjam utang. Ketika turun kelas, akan banyak kreditur yang memberikan pinjaman, karena Indonesia dianggap belum mampu mendorong penerimaan pajak sendiri yang optimal atau sumber-sumber pembiayaan di dalam negeri.

Konsekuensinya adalah Indonesia menjadi negara yang meminta pinjaman kepada para kreditur dan semakin semangat menambah utang. Padahal saat ini utang luar negeri sudah cukup menjadi beban, dimana per tahunnya negara harus membiayai bunga utang sekitar Rp 370 triliun.

“Positifnya cuma satu, Indonesia masih tetap mendapatkan fasilitas perdagagan seperti general system of prefrence (GSP). Jadi kalau mau kirim barang ke luar negeri tarifnya sangat rendah karena dianggap sebagai negara menengah ke bawah atau masih perlu asistensi dari negara maju.” ujarnya.

Sumber: Republika.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved