Trends Economic Issues zkumparan

Proyeksi CIMB Niaga: Ekonomi Indonesia Tumbuh 3,9 Persen Tahun Ini

Kepala Ekonom CIMB Niaga, Adrian Panggabean dalam diskusi virtual (25/2)

Kepala Ekonom PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berada di kisaran 3,9%. Kenaikan ini akan mulai tampak dari geliat perekonomian pada kuartal pertama 2021 sebesar 0,8% secara year-on-year (yoy).

Adrian menilai tahun 2021 masih penuh dengan tantangan, namun akan lebih baik dari 2020. “Proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun ini kami dasarkan atas lima faktor yang mempengaruhi dinamika perekonomian 2021. Dua faktor pertama bersifat mendukung angka pertumbuhan yang lebih tinggi, sedangkan tiga faktor lainnya bersifat menahan prospek laju pertumbuhan ekonomi di 2021,” katanya dalam konferensi virtual (25/2/2021).

Faktor pertama, yaitu base-effects menjelaskan sekitar tiga-perempat dari narasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2021. Adapun sisanya diterangkan oleh normalisasi perekonomian di pulau Jawa yang mencakup hampir 60% dari total PDB Indonesia yang ditopang oleh sektor keuangan, telekomunikasi, infrastruktur publik melalui alokasi APBN, dan kesehatan. Hal ini sejalan dengan dimulainya program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Faktor kedua, prospek dorongan likuiditas lewat stimulus fiskal terutama belanja modal yang didukung oleh penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia 7 Day Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) ke arah 3,50% yang kini telah terealisasi minggu lalu. Khusus terkait pelonggaran moneter, ke depan sebaiknya BI-7DRRR tidak diturunkan lagi ke bawah 3,50%.

“Hal ini penting karena dua alasan yaitu pertimbangan eksternal terkait masih sangat besarnya ketidakpastian arah pergerakan aset global di 2021 yang pasti akan berdampak pada stabilitas rupiah. Selain itu, dari sisi domestik untuk menjaga agar monetary tank tidak terlalu kosong, sehingga dapat mencegah munculnya komplikasi saat akan dilakukannya normalisasi moneter pasca 2022/2023,” ujar Adrian.

Adapun faktor ketiga, lanjut Adrian, terhambatnya dorongan fiskal oleh kelambanan tata administratif (business processes) sehingga pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya akan mencapai maksimum 85-90% dari yang telah dianggarkan. Adapun dari sisi penerimaan, APBN juga akan terkendala oleh kurangnya penerimaan pajak sebagai akibat dari belum pulih sepenuhnya kondisi perekonomian dan berbagai insentif penurunan pajak yang telah dan akan diberikan. Kendala sisi penerimaan dan keperluan untuk menjaga arus kas APBN berpotensi menghambat efektivitas dari rencana stimulus fiskal.

Faktor keempat yaitu masih adanya kendala mobilitas manusia yang merupakan konsekuensi dari berkepanjangannya pandemi di 2021, sehingga akan menyebabkan belum signifikannya ekspansi produksi. Menurut Adrian, masih terkendalanya mobilitas manusia dipicu relatif rendahnya kecepatan program vaksinasi di Indonesia yang hingga akhir tahun 2021 diperkirakan belum akan mencapai target. “Artinya, prospek belum akan terbentuknya herd immunity berpotensi menyebabkan perusahaan belum berani menggenjot produksinya secara maksimal pada tahun ini, selain rumah tangga yang masih akan menahan belanjanya,” jelas Adrian.

Selanjutnya faktor kelima berasal dari pengurangan belanja modal (capital expenditure atau capex) yang masih akan berlanjut di 2021. Paling tidak, ini akan terus terjadi di segmen korporasi swasta. Implementasi proyek infrastruktur dari belanja modal APBN kemungkinan besar akan menghadapi tantangan dari belum akan terciptanya herd immunity. Rendahnya capex di 2020 telah berdampak pada turunnya angka potential output di 2021. Belum terciptanya optimal mix antara capex swasta dan capex pemerintah di tahun ini juga berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi di tahun 2022.

“Terkait tenaga kerja, bila kita belajar dari episode krisis kita sendiri (1998) dan krisis di negara-negara lain, pekerja yang terlalu lama dirumahkan akan cenderung kesulitan memperoleh kembali pekerjaannya. Pola ini berpotensi terulang di 2022, terlebih saat bisnis semakin mengarah kepada moda digital atau bahkan penggunaan artificial intelligence yang lebih marak,” papar Adrian.

Dari perspektif tersebut, Adrian melihat hanya tersisa tiga katalis yang diharapkan berperan sebagai game changer. Ketiganya yaitu: implementasi dari Omnibus Law Cipta Kerja mulai bulan Februari 2021; kehadiran lembaga Sovereign Wealth Fund (SWF) yang diharapkan mampu berfungsi penuh dan siap menjalankan operasi investasinya di Maret 2021; serta urgennya kebutuhan akan rekonstruksi struktur kelembagaan keuangan serta penyesuaian terhadap model pembiayaan pembangunan, misalnya dalam bentuk mobilisasi dari long-term savings.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved