Trends Economic Issues

Sri Mulyani: Realisasi Penerimaan Negara Lampaui Target APBN 2018

Sri Mulyani: Realisasi Penerimaan Negara Lampaui Target APBN 2018
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai realisasi APBN sampai dengan akhir tahun 2018 sehat dan kredibel. Pada tahun anggaran 2018, realisasi defisit APBN mencapai 1,76 persen Produk Domestik Bruto (PDB) atau lebih rendah dari target APBN yang sebesar 2,19 persen PDB.

Level defisit anggaran ini merupakan yang terendah sejak tahun 2012. Sejalan dengan defisit anggaran yang semakin sehat pada tahun 2018, maka keseimbangan primer menjadi jauh lebih baik dari rencananya di APBN tahun 2018.

Realisasi pendapatan negara mencapai Rp1.942,3 triliun (102,5 persen dari APBN tahun 2018), melebihi target APBN. Jika dibandingkan dengan capaian tahun 2017, realisasi pendapatan negara tahun 2018 tersebut meningkat 16,6 persen.

Apabila dirinci lebih lanjut, jumlah tersebut terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp1.315,9 triliun (92,4 persen dari APBN 2018), atau tumbuh 14,3 persen dari realisasi tahun 2017. Pertumbuhan penerimaan pajak tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2012, sebesar 12,5 persen.

“Capaian realisasi penerimaan pajak ini merupakan resultan kombinasi dua hal, yaitu membaiknya perekonomian (terutama meningkatnya konsumsi dan impor) dan meningkatnya kemampuan memungut pajak sebagai hasil dari meningkatnya basis pajak (dampak kebijakan Tax Amnesty) dan meningkatnya kepatuhan wajib pajak serta intensifikasi pajak yang berjalan efektif,” ujar Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, (2/1/2019).

Sementara, realisasi penerimaan Kepabeanan dan Cukai tahun 2018 mencapai Rp205,5 triliun (105,9 persen dari APBN 2018) atau tumbuh 6,7 persen dari realisasinya pada tahun 2017.

Pertumbuhan penerimaan kepabeanan dan cukai lebih tinggi dibandingkan rata-rata lima tahun terakhir, yang hanya tumbuh 5,9 persen. Keberhasilan ini antara lain didukung oleh membaiknya aktivitas perdagangan internasional (ekspor-impor) dan keberhasilan penertiban cukai berisiko tinggi serta keberhasilan reformasi kepabeanan dan cukai.

Selanjutnya, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tercatat sebesar Rp407,1 triliun (147,8 persen dari APBN 2018), atau tumbuh 30,8 dari realisasi tahun 2017. Pertumbuhan PNBP tahun 2018 ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2009. Capaian PNBP ini antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditas dunia terutama minyak dari US$51,2 (2017) menjadi US$7,5 (2018) per barel dan batu bara dari US$85,9 (2017) menjadi US$99,3 (2018) per ton, dan meningkatnya kinerja Badan Usaha Milik Negara serta layanan K/L kepada masyarakat.

Sementara itu, realisasi belanja negara mencapai Rp2.202,2 triliun (99,2 persen dari APBN 2018), atau meningkat dibandingkan penyerapan belanja negara tahun 2017 yang hanya sebesar 94,1 persen. Pelaksanaan belanja negara dapat dikatakan efektif dan efisien di tengah berbagai dinamika, seperti fluktuasi nilai tukar rupiah dan penanganan bencana alam di beberapa daerah.

Dengan melihat capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai dengan triwulan III yang mencapai 5,17 persen, outlook perekonomian nasional dalam keseluruhan tahun 2018 diproyeksikan dapat tumbuh mencapai 5,15 persen atau lebih tinggi dibandingkan realisasi tahun 2017 sebesar 5,07 persen.

Permintaan domestik terutama dari sisi konsumsi rumah tangga, investasi, dan konsumsi Pemerintah merupakan motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018. Sementara, peningkatan kinerja ekspor dan impor masih terbatas sejalan dengan tren melemahnya perdagangan dunia sebagai dampak meningkatnya tekanan perang dagang.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 turut ditopang dengan kondisi ekonomi makro yang kondusif. Indikasi tersebut tercermin antara lain dari pergerakan harga yang terkendali. Tingkat inflasi yang rendah yaitu 3,13 persen pada tahun 2018 mendukung daya beli dan konsumsi masyarakat.

“Pemerintah dihadapkan pada berbagai tantangan untuk terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tatkala sektor keuangan mengalami tekanan. Sinergi yang kuat antara institusi kebijakan moneter dan fiskal mampu menjaga stabilitas perekonomian dengan tetap menjaga momentum membaiknya pertumbuhan ekonomi dan kesehatan fiskal,” katanya.

Hal ini terbukti mampu meredakan tekanan khususnya terhadap nilai tukar rupiah yang sempat terdepresiasi ke level terendahnya pada posisi Rp15.200/US$sebagai dampak sentimen negatif faktor global. Sampai dengan akhir tahun, stabilitas nilai tukar rupiah dapat dijaga pada kisaran rata-rata Rp14.247/US$ atau terdepresiasi sekitar 6,9 persen jika dibandingkan dengan posisi akhir nilai tukar rupiah tahun 2017.

Tingkat depresiasi tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan mata uang lainnya di negara-negara berkembang seperti Turki, Argentina, dan Brazil.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved