Trends Economic Issues

Ekonomi Indonesia di Semester II Akan Lebih Baik

Ekonomi Indonesia di Semester II Akan Lebih Baik
Proyeksi ekonomi Indonsia dan global di semester kedua

PT Manulife Aset Management Indonesia (MAMI) memproyeksikan ekonomi Indonesia ke depan akan lebih baik dengan memasuki era suku bunga rendah.

Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist MAMI, menjelaskan, inflasi yang rendah membuat bank sentral menjaga tingkat suku bunga di level rendah.

Banyaknya ketidakpastian di pasar global terkait konflik dagang, geopolitik, dan kebijakan suku bunga menekan sentimen bisnis dan tingkat inflasi global. Ini merupakan isu pertama.

“Inflasi yang rendah dan terus berada di bawah target membuat The Fed mengubah postur kebijakannya menjadi lebih akomodatif. Kondisi ini akan menciptakan iklim lower rate for longer di mana bank sentral akan menjaga tingkat suku bunga di level rendah secara berkepanjangan untuk mencapai target inflasinya,” katanya di Kantor MAMI, Sampoerna Strategic Square Jakarta (20/08/2019)

Ia berpendapat, jika perang dagang antara AS dan Tiongkok dieskalasi yang rugi sebenarnya kedua belah pihak. “Pemilu AS yang akan datang menekan kedua pihak untuk menjaga elonomi agar tidak turun. Saya memperkirakan akan ada deal sebelum pemilu diperkirakan,” ujarnya.

Di domestik, menurut Katarina, ketika ada ketegangan perang dagang, dengan kondisi dukungan ekspor terhadap pendapatan negara hanya 20% saja sebenarnya sangat diuntungkan. “Persepsi risiko membaik, beda dengan Hongkong misalnya krn dominan ekspornya,” terangnya. Kondisi inflasi Indonesia pun terkendali dipengaruhi disinflasi global. Ia menyarankan peraturan yang tidak ramah investor asing harus dipangkas.

Kedua, tren pelonggaran moneter global akan memberi dukungan bagi perekonomian global dan Indonesia. Setelah The Fed melakukan pemotongan suku bunga, mayoritas bank sentral dunia akan mulai – atau melanjutkan – pelonggaran moneter. Potensi pelemahan mata uang terhadap dolar AS – jika ada – akan lebih terkendali.

Global yield hunt akan menjadi tema investasi yang dominan, dan menguntungkan kawasan negara berkembang, didukung oleh inflow dari investor yang mencari imbal hasil atraktif. Pelonggaran moneter global akan memberi dukungan bagi perekonomian global dan Indonesia di paruh kedua 2019, terutama jika ada perbaikan tensi perdagangan Amerika Serikat-Tiongkok.

Ketiga, penurunan Fed Rate akan menopang pasar saham global, terutama negara berkembang. Secara historis, dalam 245 hari setelah penurunan Fed rate di tahun 1989, 1995, 1998, 2001, dan 2007, pasar saham Asia menunjukkan kinerja yang lebih tinggi secara rata-rata dibandingkan pasar Amerika Serikat (S&P500), yaitu 19,9% dibanding 6,7%.

Keempat, stabilisasi ekonomi Tiongkok akan menopang Asia. Tiongkok masih memiliki ruang untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter dan pemangkasan pajak yang ditargetkan untuk beberapa sektor ekonomi. Ekonomi Tiongkok yang lebih stabil berpotensi mendukung aktivitas perdagangan global, terlebih jika terjadi de-eskalasi tensi dagang yang tentunya berpotensi memberikan dukungan positif tambahan bagi sentimen bisnis dan pertumbuhan ekonomi global.

Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income MAMI, mengungkapkan, dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, Indonesia menawarkan _real yield_ pasar obligasi yang cukup tinggi.

Hal ini karena ada empat isu positif domestik. Pertama, kondisi domestik yang membaik. Hingga akhir Juli 2019, pasar saham dan obligasi Indonesia mencatatkan kinerja positif, yaitu 3,16% dan 9,54% secara berurutan. Sementara nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS menguat 2,56% pada periode yang sama.

Ekonomi Indonesia lebih terinsulasi dari konflik dagang global, karena konsumsi domestik lebih dominan dibandingkan ekspor-impor. Selain itu, membaiknya peringkat utang Indonesia dalam dua tahun terakhir mendorong perbaikan premi risiko, yang tercermin pada penurunan credit default swap (CDS). Sementara itu, stabilitas Rupiah menjadi kunci penting untuk meningkatkan sentimen investasi dan kepercayaan investor, baik bagi penanaman modal asing (PMA) maupun portofolio investasi.

Kedua, kebijakan suku bunga rendah. Sejalan dengan arah kebijakan bank sentral global, Bank Indonesia (BI) mulai melakukan pelonggaran moneter dengan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan Juli lalu. Hal ini dilakukan oleh BI untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir.

MAMI yakin BI masih akan melakukan pemangkasan suku bunga di waktu mendatang, seiring dengan tingkat inflasi yang rendah dan adanya kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Peluang pemangkasan suku bunga lebih lanjut tercermin dari real interest rate Indonesia yang tinggi dan yield spread antara obligasi pemerintah Indonesia dengan US treasury yang masih lebar.

Peluang pemangkasan suku bunga lebih lanjut dapat tercapai dengan dukungan stabilitas neraca pembayaran (balance of payment/BoP). Stabilitas BoP dan perbaikan defisit neraca transaksi berjalan dapat dicapai dengan meningkatnya PMA. Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, penetrasi PMA terhadap PDB Indonesia merupakan yang terendah, yaitu sekitar 1,9%. Stabilitas politik dan reformasi kebijakan yang terjadi paska keputusan MK mengenai hasil Pilpres diharapkan dapat mendorong masuknya PMA.

Ketiga, inflasi domestik yang terkendali, dipengaruhi oleh disinflasi global. Perekonomian global mengalami perlambatan dalam dua tahun terakhir akibat ketidakpastian konflik perdagangan dan kenaikan suku bunga global. Perlambatan ini membuat inflasi dunia juga turun, dan menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi banyak bank sentral untuk memangkas suku bunga.

BI memperkirakan pergerakan inflasi domestik di tahun 2019 akan terjaga di bawah level 3,5% berkat disinflasi global yang disertai dengan perbaikan manajemen pasokan pangan domestik. Dalam setahun terakhir, di sepanjang Juli 2018-Juli 2019, perubahan inflasi di Indonesia hanya sebesar 0,16%.

Keempat, daya tarik pasar saham dan obligasi Indonesia semakin meningkat. Penurunan suku bunga yang disertai dengan kenaikan peringkat utang Indonesia yang konsisten dalam dua tahun terakhir membuat Indonesia menjadi destinasi investasi yang menarik, khususnya bagi pasar obligasi.

Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, Indonesia menawarkan imbal hasil pasar obligasi yang cukup tinggi. MAMI memperkirakan, hingga akhir tahun 2019, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia untuk tenor 10 tahun akan berada di kisaran 6,5% – 7,0%.

Sementara itu, berkurangnya tensi gejolak politik dan harapan akselerasi reformasi kebijakan mendorong penguatan pasar saham Indonesia. Pasar saham berpotensi mengalami penguatan lebih lanjut dengan dukungan beberapa katalis, yaitu pemangkasan lanjutan suku bunga BI (untuk mendorong pertumbuhan ekonomi), stabilitas politik dan reformasi kebijakan (untuk meningkatkan aktivitas investasi), kabinet pemerintahan baru yang solid terutama di bidang ekonomi (untuk mempercepat reformasi kebijakan, khususnya bidang energi dan industri, yang penting untuk memperbaiki neraca pembayaran), dan potensi pemotongan pajak pendapatan korporasi (untuk meningkatkan laba korporasi).

Menurut Katarina, saham perbankan, telko, logam dasar dan properti khusus untuk industrial estate masuk dalam kategori saham-saham yang layak dipegang ke depan. “Walau sempat stagnan, industri telko karena pemakaian data yang terus meningkat saat ini, saya melihat ini industrti yang kebal penurunan pertumbuhan ekonomi. Kemudian untuk logam dasar, nikel ini melhat tren mobil hybrid ke depan akan terdorong naik permintaannya. Lalu karena ada dorongan relokasi perusahaan, saham properti khususnya industrial estate bukan residensial termasuk yang menarik,” terangnya.

Ia meyakini, semester kedua ekonomi Indonesia akan lebih baik, dengan berakhirnya ketidakpastian politik, orang akan kembali investasi, serta kondisi alam yang lebih baik ke depan. Walau demikian ia memperkirakan GDB masih di angka 5,2%, belum ada revisi.

Editor: Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved