Technology Trends zkumparan

Energi Listrik Menjadi Pilihan dari Sisi Teknologi dan Kepraktisan

Energi Listrik Menjadi Pilihan dari Sisi Teknologi dan Kepraktisan
Pengalihan pola konsumsi energi oleh masyarakat tergantung dua hal, yakni aspek ketersediaan dan keterjangkauan

Pengalihan pola konsumsi energi oleh masyarakat tergantung dua hal, yakni aspek ketersediaan dan keterjangkauan. Sebab, pada dasarnya konsumen tidak mempermasalahkan, apakah menggunakan energi berbasis migas ataupun listrik, selama dua aspek tersebut terpenuhi, tergantung mana yang lebih mudah.

“Saat ini konsumen belum memikirkan apakah sumber energinya berasal dari batubara, migas ataukah bagian dari energi baru terbarukan (EBT). Yang penting, energinya harus tersedia dan terjangkau,” jelas pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi.

Menurut Fahmy, akan ada sejumlah manfaat yang diperoleh masyarakat, apabila nantinya pengalihan pola konsumsi ini terjadi. Misalnya saat terjadi migrasi ke mobil listrik. “Manfaat langsung yang dirasakan konsumen, terutama karena yang digunakan energi listrik, termasuk energi bersih (clean energy). Ini dimungkinkan, mengingat ada sebagian masyarakat yang mulai sadar lingkungan. Maka di sini energi listrik menjadi pilihan, seperti halnya mobil listrik dan kompor listrik (induksi).”

Ke depan pengalihan pola konsumsi energi masyarakat ke listrik akan terjadi, namun yang penting lagi, kembali dua hal itu harus ada, yakni terkait ketersediaan dan keterjangkauan. Perubahan memang tidak bisa terjadi secara total dan cepat, melainkan secara bertahap. Tapi yang jelas, dengan adanya perpindahan pola konsumsi energi, akan ada penghematan.

Pakar ketenagalistrikan dan Guru Besar FT-UI, Professor Iwa Garniwa, mengemukakan hal senada. ”Misalnya penggunaan kompor listrik untuk memasak, manfaatnya lebih bersih (ramah lingkungan) dibandingkan menggunakan energi migas. Karena migas masih membakar dan menghasilkan emisi. Sementara pembangkit listrik yang ada saat ini, adalah PLTU yang lebih sedikit menggunakan batu bara dan sangat minim emisi yang diakibatkan.”

Namun kalau ditinjau dari segi harga, apakah listrik lebih murah dengan harga yang ada sekarang, ia tidak bisa menjawab secara pasti. Lima tahun lalu ia melakukan riset memasak satu objek yang sama dengan gas dan listrik, memang lebih murah, memakai listrik. Sekarang harga listrik sudah berbeda.

“Jika pemerintah memutuskan menaikkan atau menurunkan harga migas, bisa jadi harganya lebih mahal atau murah perbandingannya, antara memasak menggunakan bahan bakar migas atau listrik. Jadi penetapan harga itu relatif sifatnya,” papar Anggota Panitia Akreditasi Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM ini.

Menurut pemerhati ekonomi makro dari Universitas Indonesia, Faisal Basri seperti dikutip dari faisalbasri.com, pada tulisannya perihal cadangan migas, saat ini cadangan migas Indonesia tinggal tersisa 3,2 miliar barrel, sedangkan di tahun 1980 masih mencapai 11,6 miliar barrel. “Akibat dahaga mengonsumsi minyak bumi, saat ini status Indonesia sebagai netto eksportir minyak bumi, sudah berbalik menjadi negara netto importir minyak bumi. Karena itu minyak yang harganya relatif lebih mahal masih dibeli, sedangkan gas yang relatif harganya murah, sebagian besar juga diekspor,” ujar Faisal.

Adapun cadangan gas Indonesia juga tidak tergolong melimpah, hanya 102,9 TCF atau mencapai 1,4 persen dari cadangan dunia. Mengutip data dari BP Statistical Review of World Energy, maka menurut Faisal yang saat ini menjadi Advisory Board pada Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA), perlu mengubah paradigma dari energi sebagai komoditi, menjadi energi sebagai tulang punggung perekonomian, pembangunan nasional dan daerah.

Iwa yang juga Ketua Electrical Power and Energy Studies (EPES) UI dan Kepala Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Departemen Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, ini menekankan, perhatian jangan terkonsentrasi pada peralatan listrik yakni harga terjangkau, melainkan sebaiknya mempertimbangkan juga pada aspek lain, seperti pada kapasitas produksi kompor listrik. “Teknologi harus diikuti kebijakan yang mendukung teknologi tersebut. Misalnya penggunaan kompor listrik yang mau ditingkatkan dengan pertimbangan tadi, maka pemerintah harus membuat kebijakan, harga kompor listrik murah, dan tersedia di mana-mana,” jelas dia.

Bicara tentang langkah apa yang harus ditempuh PLN dan pemerintah untuk mengkonversi pola konsumsi energi masyarakat dari bahan migas ke energi listrik, maka terlebih dahulu, sistem PLN harus disiapkan untuk mendukung peralihan tersebut. “Seandainya kondisi existing rumah di satu komplek rata-rata 1.300 watt. Maka kalau beralih ke kompor listrik yang 1000 watt, bisa jadi ketersediaan listrik di rumahnya berkurang, apalagi saat terjadi beban puncak,” ungkap Iwa.

Jadi sistem PLN harus dibangun, untuk mempersiapkan konversi pola konsumsi energi masyarakat dari migas ke listrik. Terutama PLN harus mengevaluasi struktur jaringannya kalau terjadi peningkatan beban puncak, sehingga harus jauh-jauh hari dipersiapkan. Selanjutnya jika hal tersebut sudah dilakukan, maka PLN dan pemerintah tinggal mensosialisasikan ke masyarakat, misalnya penggunaan listrik itu aman dan harganya terjangkau.

Secara terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, mengemukakan, penggunaan sejumlah perlengkapan berbasis listrik mulai dari kompor listrik, mobil dan motor listrik akan menjadikan konsumen memiliki pilihan dalam komoditas energi. “Artinya apabila tersedia semakin banyak pilihan energi yang disediakan oleh negara, maka akan semakin efisien. Selain itu, dengan dengan adanya mobil listrik atau motor listrik, dari segi polusi, bisa menekan pengeluaran dari sisi bahan bakar,” jelasnya.

Exeecutive Vice President Corporate Communication and CSR PT PLN (Persero), I Made Suprateka, mengatakan, pada akhirnya kita memang harus sepakat untuk mempertajam berbagai sumber alam yang dapat memberi kontribusi penguatan ekonomi Indonesia, sekaligus berarti meminimalisir berbagai hal, terutama pada pos-pos pengeluaran belanja negara, yang memiliki fungsi substistusi yang bersumber dari dalam negeri. Dengan demikian maka kita dapat melakukan bauran energi yang paling ekonomis, untuk menghasilkan sumber listrik yang sustain, baik dalam hal kapasitas, ketersediaan, dan harga.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved