Trends

Gebrakan Ditjen Dikti Sinergikan Perguruan Tinggi dan Industri

CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v80), quality = 82

Inisiatif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), merangkul berbagai elemen masyarakat untuk membangun ekosistem reka cipta (inovasi) seyogianya disambut dengan baik. Upaya ini dimaksudkan untuk membangun sinergi antara perguruan tinggi dan industri dalam hal inovasi yang, harus diakui, selama ini belum berjalan dengan baik. Padahal, gagasan link and match antara perguruan tinggi dan dunia usaha/industri sudah lama bergulir di negeri ini.

Upaya ke arah itu dilakukan Ditjen Dikti dengan menyelenggarakan berbagai aktivitas untuk mendapatkan masukan agar ekosistem reka cipta bisa terwujud. Antara lain, melakukan pertemuan dengan asosasi industri, seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asiosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO); mengadakan seminar internasional dengan mengundang para guru besar dan peneliti Indonesia yang bekerja di universitas luar negeri; serta menyelenggarakan focus group discussion (FGD) yang melibatkan elemen pentahelix, yakni akademisi, pemerintah, dunia usaha/industri, komunitas, dan media, dengan tema; “Membangun Ekosistem Reka Cipta Indonesia melalui Kolaborasi Pentahelix sebagai Implementasi Kampus Merdeka”, pada 7 September lalu, bekerjasama dengan majalah SWA.

Langkah selanjutnya, Dirjen Dikti berencana meluncurkan sebuah platform bernama Kedai Reka pada Oktober 2020. Platform ini akan menjadi wadah bertemunya perguruan tinggi dengan industri. Dirjen Dikti Profesor Nizam menjelaskan, di platform Kedai Reka, tidak ada lagi batasan birokrasi antara perguruan tinggi, industri, dan masyarakat. Artinya, mahasiswa, dosen, masyarakat umum, petani, dan elemen lainnya dapat berinteraksi dan bersinergi. Hal tersebut juga sejalan dengan implementasi visi Kampus Merdeka melalui gagasan kampus membangun yang dapat mengalirkan berbagai reka cipta kepada lebih dari 27 ribu desa tertinggal.

Terlebih, lanjut Nizam, era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) ini menggambarkan lingkungan yang menantang kepercayaan diri dan membingungkan para eksekutif. “Kondisi VUCA memaksa kita untuk memahami masa depan dan merencanakan respons yang perlu dilakukan, khususnya di tengah pandemi Covid-19. Tantangan saat ini mendorong kita untuk kreatif menciptakan solusi,” ia menuturkan.

Dalam 10 tahun ke depan, menurut Nizam, akan hilang sekitar 23 juta pekerjaan, tetapi akan muncul 17-46 juta pekerjaan baru dengan 10 juta di antaranya belum pernah ada sebelumnya. Sehingga, kita perlu menyamakan irama untuk terjadinya link and match. Jadi, dunia usaha dan pendidikan perlu jalan beriringan. Contohnya, saat menyusun kurikulum, perguruan tinggi bisa meminta ke industri seperti apa yang dibutuhkan karena dunia ini cepat sekali berubah. “Dengan seperti itu, beradaptasinya akan lebih cepat,” ujarnya.

Dengan adanya hubungan keterkaitan antara kampus dan dunia industri, akan ada keterikatan antara riset reka cipta di perguruan tinggi, industri, dan kebutuhan masyarakat. Sehingga, dampak kebermanfaatan bagi masyarakat dapat terwujud dengan semangat gotong royong inovator, industri, pemerintah, media, dan komunitas.

“Tak hanya kampus dan industri, diharapkan komunitas lokal atau masyarakat mampu terimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari hasil riset reka cipta tersebut,” kata Prof. Nizam.

Cindyanto Kristian, Direktur Operasional PT Sewu Segar Nusantara (SSN).

Cindyanto Kristian, COO PT Sewu Segar Nusantara, mengakui, yang terjadi saat ini, ketika industri membutuhkan perguruan tinggi untuk menemukan solusi atas permasalahan yang ada di perusahaan, tidak ada platform yang menaungi, sehingga industri yang aktif mencarinya. “Banyak perguruan tinggi yang tidak memiliki akses ke industri. Akibatnya, industri hanya masuk ke perguruan tinggi yang besar atau berada di pusat bisnis,” kata Cindyanto. Dengan demikian, lanjutnya, platform tersebut bisa dimanfaatkan bagi yang membutuhkan dan dampaknya tentu akan menguntungkan.

Sebenarnya, inisiatif untuk mendekatkan diri dengan industri sudah dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi. Salah satunya, Institut Teknologi Bandung (ITB). Eko Agus Prasetio, Kepala Divisi Transfer Teknologi Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan ITB, menerangkan bahwa perguruan tinggi ini telah menjalin hubungan baik dengan industri dan sudah berjalan, tetapi masih perlu ditingkatkan lagi, terutama dari sisi komersialisasi.

Saat ini, menurut Eko, yang sudah bekerjasama dengan ITB adalah perusahaan yang biasa bekerjasama dengan perguruan tinggi ini. Itu pun belum banyak. “Jadi, kalau komersialisasi hasil riset perguruan tinggi seperti di luar negeri, contohnya Singapura, itu masih sangat jauh, sehingga perlu dilakukan improvement,” ia menegaskan.

Selain itu, menurut Eko, bagi pemerintah kendalanya ada di regulasi. Misalnya, BUMN yang ingin menggunakan hasil inovasi datri perguruan tinggi harus melewati pengadaan melalui e-katalog dan bersaing dalam harga, mana yang paling rendah. Sementara, kalau produk inovasi itu adalah produk baru jadi, dari sisi cost juga lebih tinggi.

Untungnya, saat ini sudah ada katalog khusus produk inovasi. Ini yang diperlukan. “Jadi, dari sisi pemerintah diharapkan mengeluarkan regulasi yang berpihak pada produk inovasi dalam negeri ini. Sudah ada, namun perlu dikembangkan lagi,” Eko menegaskan.

Maka, dengan membangun ekosistem reka cipta, diharapkan terjadi hubungan yang sinergis antara perguruan tinggi dan industri dalam menghadirkan produk-produk yang makin inovatif. Manfaatnya, tentu saja, tidak hanya bagi perguruan tinggi dan industri itu sendiri, tetapi juga masyarakat secara luas, sehingga dapat mendorong kebangkitan ekonomi Indonesia yang babak belur akibat pandemi Covid-19. (*)

Kusnan M. Djawahir & Sri Niken Handayani

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved