Business Research Trends zkumparan

Grup Dexa Perkenalkan Terapi Terbaru Pasien Limfoma Non-Hodgkin

Limfoma merupakan istilah umum untuk berbagai kanker darah yang muncul dalam sistem limfatik yang menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening. Limfoma sendiri ada dua yaitu limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma Non-Hodgkin (LNH).

Sekitar 90% pasien limfoma merupakan LNH dan hanya 10% yang LH. Let.Kol (Purn) CKM. Drs. Rudy Soetikno, Apt, yang juga pendiri Grup Dexa meninggal dunia 2015 lalu karena penyakit ini. Latar belakang inilah yang mendorong grup perusahaan farmasi ini memperkenalkan terapi terbaru yaitu obat onkologi Bendamustine agar pasien limfoma memiliki harapan hidup lebih panjang dan kualitas hidup lebih baik.

Rudy Soetikno (almarhum) didiagnosis menderita Limfoma Non-Hodgin pada 4 tahun lalu, salah satu jenis kanker yang menyerang sistem limfatik. Sayangnya, sebagai pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung, beliau tidak dapat menerima rejimen kemoterapi standar yang biasa diberikan untuk pasien limfoma.

Melalui sahabatnya seorang dokter ahli kanker di Jerman, ia direkomendasikan pengobatan dengan kombinasi bendamustine dan rituximab. Bendamustine di tahun itu belum tersedia di Indonesia bahkan di Singapura. Maka Rudy menjalani pengobatan ke Jerman.

Ternyata pengalaman bolak-balik Rudy ke Jerman dan mahalnya biaya, mendorong penerus Grup Dexa saat ini mewujudkan impian Rudy, yaitu memproduksi obat kanker di Indonesia sehingga pasien tidak perlu berobat ke luar negeri. Dengan produksi di dalam negeri, otomatis biaya obat lebih terjangkau. Seperti diketahui pengobatan terhadap pasien limfoma terkendala oleh mahalnya obat dan kurangnya efektivitas terapi lama yang selama ini dijalankan pasien.

Melalui acara ‘Rudy Soetikno Memorial Lecturer’ di Titan Center Bintaro (28/01/2018) diadakan diskusi ilmiah yang melibatkan para ahli farmasi dan kedokteran tentang terapi terbaru ini. Cara ini menjadi harapan baru bagi pasien limfoma dengan dikembangkannya obat limfoma Bendamustine di Indonesia, oleh PT Ferron Par Pharmacueticals. “Kami mulai memproduksi bendamustine sejak 2014 dan berkat rekomendasi RS Dharmais membuat obat ini sedang proses masuk formularium nasional, diharapkan dapat digunakan pasien BPJS di tahun 2018,” kata Krestijanto Pandji, Presiden Direktur Ferron Par Pharmaceuticals.

Untuk diketahui Grup Dexa merupakan perusahaan farmasi yang dibawahnya selain ada PT Dexa Medica, juga PT Ferron Par Pharmaceuticals dan PT Fongko Internasional Pharmaceuticals yang memproduksi obat-obat onkologi. “Dengan terapi ini bisa jauh lebih murah 50 persen dibandingkan obat impor,” katanya.

Ditambahkan Dr. dr. Hilman Tadjoedin, perjalanan penyakit limfoma dapat diketahui dengan melihat beberapa parameter yaitu usia, penampilan pasien, nilai LDH (marker kerusakan jaringan), penyebaran di kelenjar getah bening, dan stadium penyakit. “Intinya semakin muda pasien, performanya baik (tidak sakit-sakitan), dan semakin rendah stadiumnya, maka penyakit lebih mudah disembuhkan dengan kemungkinan harapan hidup lebih panjang,” jelas Dr. dr. Hilman yang juga Ketua Himpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia.

Tujuan terapi Limfoma bukan penyembuhan, tetapi mengendalikan penyakit pasien. Kata kuncinya adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. “Jika ada pasien datang dengan benjolan sangat besar, maka kita berusaha menekan benjolan, tetapi tidak bisa hilang 100 persen. Itu sudah sangat berarti bagi pasien. Dengan pengobatan standar, kita berusaha menekan pertumbuhan sel-sel ganas. Maka dengan adanya obat-obatan baru yang lebih menjanjikan, maka akan semakin meningkatkan kualitas hidup pasien dan memperpanjang harapan hidup pasien,” tambah Hilman.

“Visi misi Dexa Group bukan semata-mata komersial. Namun, bagaimana produk ini dapat membantu masyarakat Indonesia untuk lebih mendapatkan kualitas hidup lebih baik dengan bendamustin-rituximab dibandingkan kemoterapi standar yang memiliki lebih banyak efek samping,” jelas Krestijanto.

Harga bendamustin lebih murah karena dikembangkan di pabrik lokal dengan standar pembuatan dari Eropa. “Kehadiran obat ini otomatis akan mengurangi ketergantungan Indonesia dari obat kanker impor. Bendamustine menambah produksi lokal untuk obat-obat kanker setelah sebelumnya juga sudah dikembangkan di Indonesia,” tambah Krestijanto.

Penelitian bendamustine yang dikombinasikan dengan rituximab, salah satunya dilakukan oleh Prof. Rummel MJ, MD, PhD dari RS Universitas Giessen di Jerman dan sudah dipublikasikan di jurnal kedokteran terkemuka The Lancet. Hasilnya bendamustine efektif untuk pengobatan Limfoma Non-Hodgkin. Dalam diskusi ilmiah hari itu Prof. Rummel hadir menjelaskan tentang terapi ini.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved