Trends

Harga Batu Bara dan Gas Bumi Melambung, Ini Analisis Arcandra Tahar

Harga Batu Bara dan Gas Bumi Melambung, Ini Analisis Arcandra Tahar
Ilustrasi tambang batu bara (Foto istimewa).
Ilustrasi tambang batu bara (Foto istimewa).

Bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar menganalisis penyebab tingginya harga batu bara dan gas bumi yang menyebabkan masa sulit di negara-negara Uni Eropa. Padahal, pada 2020 penggunaan batu bara di Uni Eropa tercatat turun sekitar 20 persen pada 2020 lantaran adanya perlambatan ekonomi sekitar 7-10 persen.

Di sisi lain, ia melihat penggunaan energi terbarukan seperti angin dan matahari mencapai puncaknya. “Dengan turunnya kebutuhan batu bara dan naiknya penggunaan energi terbarukan, kenapa harga batu bara dan gas menjadi sangat mahal?” ujar Arcandra di akun Instagram resminya, @arcandra.tahar, Selasa, 5 Oktober 2021.

Sepintas, kata dia, situasi tersebut memang tidak masuk akal. Namun, kalau dicermati lebih dalam, ia mengatakan ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi petunjuk kenapa hal ini bisa terjadi.

Petunjuk pertama, harapan akan terkendalinya pandemi Covid-19 di tahun 2021 telah menimbulkan optimisme para pelaku ekonomi untuk mulai berinvestasi dan beraktivitas. Menurut Arcandra, hal ini mengakibatkan kebutuhan energi menjadi lebih tinggi.

Kedua, energi terbarukan di Eropa belum mampu mengimbangi lonjakan kebutuhan energi di tahun 2021. “Selain butuh waktu untuk membangunnya, ketersedian energi yang dibangkitkan juga tidak bisa stabil, terutama yang berasal dari angin dan matahari,” ujar Arcandra.

Keadaan ini diperparah oleh banyaknya turbin angin yang harus berhenti bekerja karena perawatan yang sudah terjadwal di tahun 2021. “Apakah pelaku bisnis mau kehilangan momentum untuk beraktivitas dengan menunggu energi bersih tersedia?” tuturnya. Realitanya, para pelaku bisnis tidak akan mau dan mencari solusi dengan melirik sumber energi lain yang bisa merespon kebutuhan mereka.

Data dari International Energy Agency (IEA) di tahun 2018 menyebutkan sumber energi di Uni Eropa sebagian besar masih berasal dari energi fosil. Rinciannya, 30 persen berasal dari minyak, 24 persen gas, 15 persen batu bara, 12 persen nuklir dan 14 persen energi terbarukan. Data ini tidak jauh berbeda untuk tahun 2020.

Petunjuk ketiga, pembangkit batu bara yang selama pandemi sudah dikurangi adalah jawaban yang dicari oleh pelaku bisnis untuk dihidupkan kembali. Selain lebih murah dan sudah terbangun, kata dia, tidaklah sulit untuk mengaktifkan PLTU yang baru sekitar beberapa tahun tidak beroperasi. Dengan asumsi ketersediaan batu bara yang masih banyak dan melimpah, harapannya harga batu bara tidak naik.

Petunjuk keempat, terjadinya perang dagang antara Cina dan Australia yang mengakibatkan suplai batu bara dari Australia ke Cina menjadi terganggu. Dengan kebutuhan energi Cina yang 64 persen berasal dari batu bara, maka Cina akan mencari batu bara dari negara produsen seperti Indonesia dan Rusia.

“Persaingan antara Eropa dan Cina terhadap kebutuhan batu bara disambut oleh negara produsen dengan menaikkan produksi,” kata Arcandra. Namun demikian, menaikan produksi batu bara secara cepat bukanlah hal mudah. Selain banyak tambang yang sudah tidak beroperasi selama pandemi, juga investasi di bidang tambang batu bara semakin tidak mendapat tempat.

Kenaikan kebutuhan batu bara yang lebih cepat daripada kemampuan produksi, tutur dia, berakibat fatal terhadap harga. Harapan akan harga batu bara murah meleset. “Justru harganya mencapai puncak di bulan Oktober 2021 dengan future contract menggunakan the benchmark Newcastle sebesar US$ 189 per ton. Rakyat Eropa ikut menanggung harga energi yang tinggi ini,” kata Arcandra Tahar.

Sumber: Tempo.co


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved