Management Trends

IBCSD Konsisten Dorong Pelaku Bisnis Terapkan Prinsip Bisnis Berkelanjutan

IBCSD Konsisten Dorong Pelaku Bisnis Terapkan Prinsip Bisnis Berkelanjutan

Penting bagi perusahaan menjaga bisnis berkembang dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Selain ada banyak karyawan yang bergantung didalamnya, juga berbagai pihak yang menjalin relasi bisnis dengan perusahaan. Sayangnya ketika penerapan strategi melipatgandakan bisnis perusahaan dan operasi mereka, dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan ternyata tidak bisa dielakkan. Harus disadari bahwa bisnis dapat bertumbuh apabila sejumlah tantangan bisa dituntaskan bersama, seperti isu hak asasi manusia, kesejahteraan masyarakat sekita, isu kesehatan dan isu lingkungan. Untuk itu penting bagi perusahaan selain memperhatikan aspek bisnis, juga harus menerapkan prinsip-prinsip bisnis berkelanjutan dalam berbagai kebijakan internal dan rantai pasokan mereka.

Inilah yang menjadi konsern Indonesia Business Council of Sustainable Development (IBCSD) saat didirikan pada 2011. Salah satu yang dilakukan adalah dengan melakukan lokakarya dengan mengambil fokus bahasan HAM (Hak Asasi Manusia) Dalam Bisnis Berkelanjutan: “Meningkatkan Usaha Bisnis Berkelanjutan dengan Menjajaki Alternatif Bentuk Kemitraan Pemerintah dan Swasta”. yang diadakan di JS Lawansa Hotel, Jakarta belum lama ini. “Lokakarya ini bertujuan untuk mempromosikan isu HAM yang berdampak pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan usaha. Penerapan prinsip HAM dalam kegiatan usaha dapat menghindarkan dunia usaha dari kendala yang mengakibatkan penurunan produktivitas perusahaan dan mengakibatkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat,” ujar Tony Wenas, Chairman IBCSD pada konferensi pers disela lokakarya.

Dalam lokakarya tersebut IBCSD menggandeng ICCO Coprporation dan European Union (EU) yang sama-sama memandang penting mengedepankan isu HAM dalam kegiatan operasi dunia usaha. Lokakarya ini merupakan rangkaian kampanye ICCO Corporation yang berfokus pada kegiatan kolaborasi dalam mempromosikan pengembangan ekonomi inklusif yang berkontribusi pada pencapaian sustainable development goals.

Kiswara Santi Prihandini, ICCO Coordinator Indoensia Program Policy and South East Asia Resposible Business menuturkan pihaknya berkeyakinan kemitraan antara dunia usaha dan publik meningkatkan kepemilikan masyarakat. “Masyarakat tidak merasa ditinggalkan,” ujarnya. Dan dunia usaha secara konsisten menerapkan HAM pada semua lini kegiatan usahanya. Michael Bucky, perwakilan dari EU mengakui ada daerah abu-abu dalam proses penerapan HAM karena presepktif berbeda. “Maka itu konsensus sosial membutuhkan waktu, mengikuti perubahan hukum dan sosial,” tuturnya.

IBCSD Gandeng Tiga Stakeholders

IBCSD didirikan oleh KADIN (Kamar Dagang Indonesia) pada 2011. Organisasi ini mendorong upaya bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan di dalam dunia usaha. Ada 6 yang bergabung ketika awal didirikannya IBCSD antaranya Garuda Indonesia, RAPP, BNI, Bakrie Group. Sekarang sudah ada 23 perusahaan yang resmi menjadi anggotanya dari berbagai sektor seperti minning, manufaktur, agrikultur, banking, BUMN dan multinasional. Semua anggota yang tergabung menjadi anggota mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan dan mempromosikan sustainable bisnis di Indonesia. IBCSD mengkampanyekan beberapa isu yang menjadi fokus bisnis berkelanjutan.

Seperti hari ini mengupas isu HAM. Juga termasuk isu deforestrasi, air dan energi yang cukup menjadi perhatian dunia. IBCSD banyak melakukan kegiatan-kegiataan yang tidak hanya bersifat admisnistrastif, juga advokasi, lalu mengembangkannya ke publik dan sektor bisnis itu sendiri melalui berbagai event. Utamanya menyatukan civil society, business entity, dan pemerintah bekerja bersama-sama untuk beberapa isu yang menurut IBCSD bisa memberikan impact lebih besar. Secara internal dengan upaya yang dilakukan anggota IBCSD telah menerapkan prinsip bisnis yang berkelanjutan, contohnya APP dan RAPP dalam value chain perusahaan.

Inisiatif yang dilakukan IBCSD didukung oleh UKCCU (United Kingdom Climate Change Unit), didanai pemerintah Inggris kurang lebih US$ 3 juta untuk tiga tahun untuk mengembangkan conflict resolution unit. “Kami sudah selesai tahun pertama fase persiapan, kami coba engage tiga stakeholder: pemerintah, civil society, dan business entity, jadi bersama-sama kami lakukan upaya dan membuat platform agar konflik yang terjadi bisa diselesaikan sebelum pergi ke pengadilan. Ini memang baru tahap pertama, kami akan lanjut ke tahap ke dua menuju pilot project, saat ini ada dua pilot project yang sedang berjalan,” jelas Budi Santosa, Executive Director IBCSD. Langkah ini terinspirasi dari yang dilakukan di beberapa negara, untuk menghindari biaya yang begitu tinggi jika konflik sudah terjadi dan dibawa ke pengadilan.

Selain program ini mendorong diselesaikannya konflik sebelum dibawa ke pengadilan, juga mencegah konflik baru terjadi. Platform ini didesain independen, agar ketiga stakeholder bisa melakukan mediasi di sana sebelum konflik membesar dan masuk ke pengadilan. Ia memandang dengan adanya sustainable development goals, dimana ketiga stakeholder sudah terbangun kepercayaan dan komunikasi yang baik disitulah kita bisa mengharapkan hasil terbaik dari sana.

“Tentu saja banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan,” katanya. Soal konflik yang terjadi di RAPP, pihaknya memandang mengakui masalah yang dihadapi bukan masalah sederhana. Sebagai salah satu anggota IBCSD menurutnya selalu didorong untuk berkomitmen mencegah dan menyelesaikan konflik. “Kami melihat mereka sudah menjalankan sistem manajemen baru terkait forest management, mereka begitu transparan semacam daskboard yang bisa diakses dan menggunakan asesor independen dalam penerapannya,” kata Budi. Ia melihat ke-23 anggota sudah mendukung komitmen menjalankan prinsip bisnis berkelanjutan dan melakukan perbaikan-perbaikan dalam menjalankan bisnisnya.

Editor : Eva Martha Rahayu


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved