Trends

Indonesia Business Outlook 2020: The Show Must Go On

Menteri BUMN Erick Tohir dan Maya Matono, CEO – Dentsu Aegis Network Indonesia, pada acara seminar “Indonesia 2020 Business Outlook” di Jakarta, 4 Maret 2020

Kendati terjadi pelambatan ekonomi akibat sejumlah sebab, dari perang dagang Amerika vs China hingga virus corona, optimisme harus tetap dijaga. Pemerintah bersama dengan swasta siap memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk membangun ekosistem yang sehat dan berkelanjutan agar kondisi yang tak menguntungkan saat ini dapat diminimalisasi, termasuk wabah Covid-19 yang membawa dampak bukan hanya sebuah penyakit, tapi juga dampak ekonomi yang luar biasa.

Komitmen ini disampaikan Erick Tohir, Menteri BUMN dalam diskusi bertajuk “Indonesia 2020 Business Outlook” Rabu malam (4/3) di Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) dan PRSSNI mengurai beragam hal yang berkaitan dengan keadaan ekonomi global dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, khususnya dunia periklanan dan media. Selain menghadirkan Erick Tohir yang juga Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), juga hadir mantan Menteri Keuangan dan juga Komisaris Utama Bank Mandiri, Chatib Basri, serta Maya Watono, CEO – Dentsu Aegis Network Indonesia.

Erick meyakinkan, situasi yang dihadapi Indonesia sekarang bukan yang pertama kali. Dia menuturkan, Indonesia pernah mengalami kondisi yang luar bisa sebelumnya. Sebutlah, krisis tahun 1998 di mana ekonomi Indonesia ‘jebol’, krisis 2006-2008 yang menyebabkan rupiah melambung, dan lainnya. “Terbukti ekonomi Indonesia bisa pulih. Kita bisa balik,” ungkapnya, seraya menambahkan, asal semua pihak mau bergotong royong membangun ekonomi.

Baginya, yang terpenting adalah kesadaran bangkit dan tidak cuma mengeluh. Melalui Kementrian BUMN, Erick mengeluarkan 5 rencana aksi guna menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Pertama, BUMN tidak mengurangi biaya investasi (capital expenditure/capex). Kedua, proyek-proyek strtaegis BUMN tetap dijalankan. Tiga, terus melakukan konsolidasi dan menguatkan sektor-sektor usaha vital BUMN. Empat, mendukung BUMN-BUMN yang berencana go public; dan terakhir, lima, BUMN bertekad akan terus menggelontorkan belanja iklan. “Intinya, the show must go on. Meskipun pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi yang tadinya 5% lebih, menjadi 4% lebih, itu masih bagus kalau dibandingkan dengan negara-negara lain,” kata Erick. Apalagi, jika omnibus law berjalan sesuai dengan rencana; omnibus law mendorong investasi dan membuka lapangan kerja; optimisme itu layak dimiliki.

Komisaris Bank Mandiri, Chatib Basri, mempertegas optimisme Pemerintah melalui data-data ditangannya. Menurutnya, wabah virus corona sejauh ini masih hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi bisa terkoreksi 0,1 hingga 0,3 persen. “Pertumbuhan ekonomi kita bisa turun di bawah 5 persen menjadi 4,7-4,9 persen,” ujar Chatib di gedung Tribrata, Jakarta.

Dari pengamatan Chatib dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, seperti saat terjadi SARS mewabah pada 2002 lalu di Cina, penurunan pertumbuhan ekonomi tak terjadi berlarut-larut. Apalagi pemerintah saat ini sudah berancang-ancang melakukan langkah mitigasi untuk mengantisipasi dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi. Diantaranya, dari sektor pariwisata, Pemerintah mendorong pelaku usaha untuk memberikan diskon penginapan dan tiket pesawat guna mendulang tingkat kunjungan turis domestik. Chatib menyarankan, pemerintah dapat menggairahkan pariwisata MICE dan mengadakan pameran wisata. “Ini seperti yang terjadi saat bom Bali dulu sehingga (industri pariwisata) dibantu (kunjungan) dari dalam atau domestik,” ujarnya.

Belajar dari peristiwa yang lalu, Chatib justru mengingat peristiwa banjir besar 2013 di Thailand yang menyebabkan terganggunya pabrikan Toyota yang berpusat di sana. Akibat banjir bandang tersebut, penjualan Toyota di kawasan Asia terganggu karena supply barang terhenti. Sejak saat itu, Toyota memutuskan untuk diversifikasi jaringan produksi agar tidak ada ketergantungan di satu tempat saja. “Nah, kali ini kita pun bisa bersiap-siap, siapa tahu pabrikan-pabrikan di China kemudian memutuskan diversifikasi basis produksi,” kata Chatib Basri optimis Indonesia bakal tetap menjadi pilihan investasi. “Investment in Indonesia is dangerous because it can be addictive,” kelakar Chatib.

Dari sisi media dan periklanan, Maya Watono, CEO – Dentsu Aegis Network Indonesia, menyoroti perubahan lansekap ekonomi global yang mau tak mau mempengaruhi lansekap ekonomi di Indonesia. Seperti diketahui, potensi bisnis dalam ekonomi digital dunia saat ini dikuasai oleh tiga perusahaan teknologi: Facebook, Google, dan Amazon. Mereka berhasil meraup untung dari penjualan e-commerce, iklan digital, iklan media sosial, hingga iklan mobile.

Berdasarkan catatan Maya, pendapatan Google dan Facebook tahun lalu saja sebesar USD1,3 triliun atau sekitar Rp 20 ribu triliun. Artinya, dua raksasa ini ditambah Amazon menyedot hampir seluruh aktivitas ekonomi digital di dunia, dengan komposisi (data e-Marketer, 2017) e-commerce dikuasai Amazon (37, 7%, iklan digital dikuasai Google (37,2%), Facebook ( 22,1%), dan Amazon (8,8%). Lalu iklan media sosial hampir sepenuhnya dikuasai Facebook, yakni mencapai 83,3%. Sementara iklan mobile dikuasai Google dengan 33%, Facebook 30,8%, dan Amazon 5,2%.

Google dan Amazon juga mendapatkan sumber pendapatan baru di tengah industri pertelevisian yang sedang tersendat. Hampir 27% pelanggan yang menonton video streaming di televisi dilakukan melalui Amazon, sedangkan melalui Google hampir 17%. Situs video mereka bahkan menguasai pasar hampir 100%.

Realitas tersebut, menurut Maya, jelas mengubah total lansekap media dan periklanan di Indonesia. Perubahan itu bukan hanya menyangkut persebaran belanja iklan ataupun strategi dan cara beriklan, melainkan sudah menyangkut attitude, sikap, dan aspirasi masyarakat di industri media dan periklanan. “Tantangan saat ini dibutuhkan konten yang tidak hanya semakin cepat, melainkan juga konten yang semakin kreatif,” tandasnya.

Dari apa yang dipelajarinya, Maya menyimpulkan, kalau dulu dikenal brand driven –brand mempunyai kapasitas mengarahkab minat konsumen—sekarang murni telah terjadi consumer driven. Konsumen yang mendikte brand harus menjadi atau melakukan seperti apa sesuai aspirasi mereka. Fenomena ini mendorong praktisi iklan maupun media memiliki wawasan luas; tidak sekadar mengenali industri yang terkait dengan brand. melainkan harus mengenali wawasan, pengetahuan dan aspirasi konsumen sebagai target pelanggan. “Konsumen sekarang berharap banyak. Mereka menginginkan merek yang memberikan dampak sosial, sehingga kami tidak boleh melawan budaya. Kami harus bisa mengikuti dinamika masyarakat yang berkembang,” tandas Maya bahwa memasuki era baru, membutuhkan sikap mental baru dan paradigma baru agar tidak tercecer oleh zaman.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved