Trends zkumparan

INPRES No. 3/2017 Membuat Fungsi Pengawasan BPOM Makin Maksimal

INPRES No. 3/2017 Membuat Fungsi Pengawasan BPOM Makin Maksimal

Badan Pengawas Obat & Makanan (BPOM) telah menjalankan tugasnya secara maksimal terkait kewajibannya untuk mengawasi peredaran obat, obat tradisional, komestik, produk pangan dan suplemen kesehatan di Indonesia. Lima inti kegiatan BPOM yang menjadi pilar lembaga ini gencar digalakan terkait dengan pengawasan sebelum dan paska produk beredar di masyarakat, serta pemberdayaan masyarakat melalui edukasi dan kemitraan dengan stakeholder untuk meningkatkan efektivitas pengawasan. Hal ini terkait ingin terwujudnya salah satu Nawa Cita Presiden, yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia melalui sektor kesehatan.

Direktur Pengawasan NAPZA BPOM, Rita Endang.

Terbitnya Instruksi Presiden (INPRES) No. 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat Dan Makanan dimanfaatkan dengan positif oleh BPOM untuk semakin meningkatkan kinerja pengawasannya secara lebih efektif lagi, bersama Kementrian Negara, lembaga dan daerah. INPRES No. 3 Tahun 2017 ini memberikan instruksi, antara lain, kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Gubernur, dan Bupati & Walikota. Lembaga-lembaga ini diharapkan dapat bersinergi dengan BPOM untuk lebih terlibat aktif dalam kegiatan Pengawasan Obat dan Makanan.

Munculnya Inpres No. 3 Tahun 2017 ini didorong oleh hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tahun 2016 yang menunjukkan bahwa hanya 20% hasil rekomendasi BPOM yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi, Kota dan Kapubaten. Tidak terakomodasinya rekomendasi BPOM secara baik inilah yang menjadi salah satu faktor munculnya INPRES ini. Menurut Direktur Pengawasan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif), Rita Endang, faktor lainnya adalah banyaknya obat palsu yang beredar di Indonesia. Menurut data WHO (World Health Organization), tahun 2016 ada sekitar 10%-30% obat beredar di negara berkembang, termasuk Indonesia, dan 1%-2% klasifikasinya sebagai obat-obatan ilegal. “Obat ilegal tersebut merupakan obat tanpa izin edar, palsu, dan kadaluarsa,” ungkap Rita. Data BPOM mencatat, di Indonesia ada 335 ribu produk obat dan makanan yang beredar dan itu diawasi oleh BPOM sendiri. “Isu vaksin palsu yang sempat marak juga menjadi perhatian khusus Presiden agar jangan pernah terulang kembali,” Rita menambahkan.

Melalui INPRES ini, diharapkan kordinasi pengawasan yang dilakukan BPOM lebih meningkat dengan adanya andil dari masing-masing Kementerian Negara, lembaga dan daerah yang ditunjuk. “Dengan adanya INPRES ini, BPOM ingin pengawasan yang dilakukan jauh lebih efektif lagi dengan menciptakan regulasi yang mendukung. Kepercayaan di tingkat internasional (WHO) juga ingin diwujudkan BPOM melalui sistem pengawasan yang semakin baik,” Rita menegaskan. Menurutnya, kegiatan yang telah dilakukan BPOM harus sejalan dengan Nawa Cita yang menjadi agenda penting prioritas pembangunan nasional dan visi BPOM sendiri untuk memberikan obat dan makanan yang aman, bermanfaat, dan berkhasiat.

Adanya INPRES No. 3 Tahun 2017 memberikan kesempatan kepada BPOM untuk mengimplementasikan tugasnya secara lebih baik lagi dengan menjadi koordinator yang menyusun dan menyempurnakan regulasi terkait pengawasan obat dan makanan. Selain itu, BPOM juga berusaha menyinergikan tata kelola, bisnis dan mengembangkan sistem yang terintegrasi dengan kementerian dan pemerintah daerah untuk proses pengawasan obat dan makanan. Tak hanya itu, BPOM juga berusaha untuk meningkatkan efektvitas pengawasan dengan memberikan bimbingan teknis dan supervisi ke daerah-daerah melalui Dinas Kesehatan dan Disperindag. Inpres ini juga mewajibkan BPOM untuk mengoordinasi pelaksanaan pengawasan dengan tindak lanjut dari instansi terkait.

Dikeluarkan 10 Maret 2017, INPRES No. 3 Tahun 2017 terbilang cukup baru. Namun BPOM cukup bisa beradaptasi dengan peraturan baru ini dengan pembuatan rencana aksi yang telah dilaporkan kepada Deputi Bidang Kordinasi Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) sebagai bentuk kesiapan. “Rencana aksi yang BPOM buat ini terkait dengan pendelegasian tugas yang dapat dilakukan oleh 12 kementerian, lembaga & daerah, dan juga tugas BPOM yang akan dilakukan di dalamnya. Tanggal 13 April lalu juga telah dilakukan rapat untuk dukungan komitmen bersama,” ungkap Rita lagi. Rencananya BPOM akan melakukan pertemuan nasional sekaligus sosialisasi INPRES baru ini. Sebelumnya, BPOM juga telah melakukan sosialisasi ke Kalimantan Selatan dan Bali terkait INPRES No. 3 Tahun 2017 itu. Secara internal, BPOM juga telah melakukan kegiatan sosialisasi di 33 provinsi sebagai bentuk tanggung jawab dan tugasnya.

Secara teknis, koordinasi BPOM dengan lembaga daerah adalah hasil dari pengawasan BPOM yang langsung ditindaklanjuti dalam bentuk pertemuan nasional yang membahas hal-hal teknis apa saja yang harus didukung untuk menjalankan INPRES ini. Hasil dari pertemuan ini diketahui, tidak adanya struktur di pemerintah kabupaten & kota yang mengawasi persoalan pengawasan obat dan makanan. Masalah yang paling mendasar adalah persoalan anggaran, sumber daya, dan regulasi yang belum mendukung. “Koordinasi lain yang dilakukan BPOM untuk 12 kementerian negara dilakukan melalui Kemenko PMK dan komitmennya telah terbentuk yang disesuikan dengan masing-masing kementrian,” Rita menjelaskan. Di luar 12 lembaga yang ada dalam INPRES No. 3 Tahun 2017, BPOM juga bekerja sama dengan Bea Cukai dan BNN (Badan Narkotika Nasional). Namun, fokus utama BPOM adalah tetap menyinergikan tugasnya dengan 12 lembaga sesuai kewenangannya untuk peningkatan efektivitas dan penguatan pengawasan obat dan makanan.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved