Trends Economic Issues

IPB Kritisi UU Cipta Kerja Bidang Pangan dan Pertanian

Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang telah diterbitkan pemerintah termasuk Peraturan Pemerintah (PP) turunannya penting untuk dicermati melalui kajian ilmiah dan diseminasikan ke publik. Hal ini untuk memastikan hadirnya UU Cipta Kerja yang berkeadilan untuk semua pihak dan meminimalisir dampak negatif yang menyertainya.

Hal tersebut disampaikan Eva Anggraini, Direktur Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis (DPIS) IPB University dalam The 21st Strategic Talk yang bertajuk “Tinjauan Kritis IPB terhadap UU Cipta Kerja Bidang Pangan dan Pertanian” yang diselenggarakan secara daring, Selasa (9/03/2021). “Diskusi ini juga diharapkan akan semakin memperkaya kajian IPB dalam meninjau UU Cipta Kerja ,” kata Eva.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Muhammad Firdausyang memandu acara diskusi ini menyampaikan bahwa kajian dan diseminasi UU Cipta Kerja ini tetap perlu dan penting dilakukan, walaupun UU Cipta Kerja telah diterbitkan. “Sebab hal penting yang tidak boleh terlewatkan adalah dalam tataran operasional melalui PP turunan dari UU Cipta Kerja,” ujarnya.

Dalam diskusi berseri ini hadir sejumlah narasumber yang kompeten di bidangnya. Seperti Edi Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB yang secara khusus menguraikan PP 26/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian sebagai turunan dari UU Cipta Kerja. Menurutnya, terdapat poin kritis yang ditemukan dalam PP ini, yaitu aspek batas minimal luas lahan dan kewajiban memiliki lahan.

Dalam pengaturan ini, pertama kali diatur tentang luasan maksimal satu perusahan secara nasional, yaitu kelapa sawit 100 ribu ha, kelapa 25 ribu ha, karet 23 ribu ha, kakao dan kopi 13 ribu ha, tebu 125 ribu ha, teh 14 ribu ha, dan tembakau 5 ribu ha. Sedangkan untuk luasan minimal adalah 6 ribu ha untuk kelapa sawit, 2 ribu ha untuk kelapa, dan 600 ha untuk teh. Hal ini cukup beresiko, jika dilihat realitas di lapangan dengan adanya ketidaksinkronan data, yaitu rata-rata luas kebun swasta dan negara adalah 4,6 ribu ha, maka perusahan-perusahan tersebut akan selalu berusaha memenuhi luasan minimal tersebut.

Menyikapi hal di atas, Edi menyatakan dalam menentukan batas luasan wilayah, sangat penting juga untuk memperhatikan zonasi daerah tersebut, dengan memperhatikan hal-hal berikut, di antaranya 1) keunggulan wilayah 2) efisiensi alokasi sumber daya, dan konservasi ekologi. Di sisi lain, dalam UU Cipta Kerja ini tidak ada regulasi yang mengatur tentang perlindungan dan peningkatan kapasitas pangan lokal. “Tidak hanya itu, regulasi terkait penjual bibit UMKM, introduksi benih, produsen benih, dan peredaran benih online sama sekali tidak diatur dalam PP ini,” kata Edi.

Sementara itu, Sobir, Guru Besar Fakultas Pertanian IPBmenjelaskan investasi di bidang pertanian terus menunjukan tren penurunan, sehingga sebenarnya melalui UU Cipta Kerja pemerintah berupaya untuk mengembangkan investasi di bidang pertanian. Dalam UU Cipta Kerja, yang paling banyak diubah adalah sektor perkebunan. Dengan kata lain, penggerak utama investasi adalah bidang perkebunan, sementara dalam bidang pangan paling sedikit diubah.

Tidak hanya itu, terdapat perubahan yang signifikan dalam UU Cipta Kerja tentang tanaman perkebunan, yaitu dengan tidak adanya pembedaan antara asing dan dalam negeri dalam investasi (Pasal 39 dan 58), dan syarat usaha hak tanah dan/atau izin usaha menjadi hak tanah dan perizinan berusaha. “Tentu hal tersebut akan berpotensi merugikan investor dalam negeri,” cetus Sobir.

Adapun Widiatmaka, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB menyoroti bidang pertanian yang tidak masuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurutnya, hal ini secara jelas mencermikan kealpaan prioritas dan keberpihakan UU Cipta Kerja dalam bidang pertanian.

Lebih jauh lagi, Widiatmaka menyoroti hilangnya perlindungan lahan pertanian dalam UU Cipta Kerja , yang justru masuk dalam klaster pengadaan tanah. Padahal, pengadaan tanah yang dimaksud UU Cipta Kerja adalah pengadaan tanah untuk investasi, infrastruktur, dan PSN. Tidak hanya itu, produksi pangan tidak masuk dalam kepentingan umum dan PSN, padahal kita tahu pangan adalah hajat hidup umat manusia. “Saya juga menyesalkan, pangan dan kawasan pertanian rakyat tidak menjadi bagian dari kepentingan umum ataupun isu strategis nasional,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Widiatmaka menguraikan beberapa saran implementasi lahan pertanian berkelanjutan, di antaranya 1) Diperlukannya penguatan aturan perlindungan pertanian dalam bentuk PP tersendiri, 2) Perlunya PP tersendiri untuk keberlanjutan lahan pertanian, dan 3) Perlu penegasan pengendalian lahan pertanian dalam RDTR berbasis spasial dan perhitungan skenario kuantitatif kedaulatan pangan/pertanian, agar perencanaan penyediaan pangan dan produksi pertanian lebih terukur dan memudahkan pengambilan kebijakan.

Dede Suryadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved