Trends Economic Issues

Kemandirian Ekonomi Terkait Erat dengan Kesinambungan Fiskal yang Sehat

Kemandirian Ekonomi Terkait Erat dengan Kesinambungan Fiskal yang Sehat
Target ekonomi Indonesia sejatinya bukanlah pada pertumbuhan ekonomi semu, melainkan pada pemerataan ekonomi itu sendiri (Foto: Eva/Swa)

Guruh Soekarnoputra menyampaikan, Presiden Pertama RI Ir Soekarno menggagas ekonomi berdikari, sebagai reaksi atas praktik ekonomi kolonial yang eksploitatif. Menyusul gagalnya penerapan sistem parlementer yang liberal pada era 1950-1959, maka dikeluarkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno -yang salah satu isinya adalah kembali ke UUD 1945 sebagai upaya untuk melaksanakan cita-cita proklamasi yang terombang-ambing selama 9 tahun dalam pemerintahan liberal yang penuh dengan ketidakpastian.

“Pada hakikatnya ekonomi berdikari ini dilaksanakan melalui teori yang dinamakan ‘Trisakti’—berdaulat dalam bidang politik; berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam berkebudayaan,” kata Guruh dalam dialog publik bertema ‘Kesinambungan Fiskal dalam Mencapai Kemandirian Ekonomi’ di Gedung Perintis Kemerdekaan (10/11/21) yang digelar oleh Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute.

Guruh mengatakan, ketika pemerintahan Soekarno berganti ke pemerintahan Soeharto, sistem ekonomi pun bergeser kembali ke arah ekonomi liberal. Pencapaian-pencapaian ekonomi pembangunan masa itu terlihat hebat, namun semu. Sebab, esensinya tidaklah menyentuh pemerataan untuk kemakmuran bagi seluruh rakyat melainkan hanya sebagian pengusaha dengan konsesi kemudahannya berkolaborasi dengan dana-dana luar negeri yang masuk dengan mudah melalui peraturan perundangan yang diciptakan secara sistematis oleh para oknum-oknum birokrat.

Menurut Guruh, target ekonomi Indonesia sejatinya bukanlah pada pertumbuhan ekonomi semu melainkan pada pemerataan ekonomi itu sendiri. Memahami hal ini tentunya berbeda dengan sistem liberalisme yang hari ini kita kenal dengan neoliberalisme dengan pasar bebasnya. Di era globalisasi yang mengakibatkan kesenjangan, pengangguran, kemiskinan sampai pada kerusakan alam dan lingkungan hidup, mengutip Stiglitz. Globalisasi ekonomi didengungkan oleh Barat ternyata tidak berdampak positif, bahkan sebaliknya. Kerusakan atas sistem perekonomian akibat pasar bebas tanpa kendali mendorong pemodal2 kuat memonopoli pasar.

“Implementasi Ekonomi Berdikari dengan Trisakti saat ini, mengalami banyak kendala. Seperti kita ketahui bersama, sejak masa reformasi 1998, yang ditandai dengan pergantian kepemimpinan Soeharto. UUD 1945 yang menjadi landasan seluruh perundangan justru mengalami amandemen pada seluruh pasal sebanyak empat kali. Pada pasal 33 UUD 1945, khususnya, telah terjadi penambahan 2 ayat yang menganulir kemandirian ekonomi kita. Kita juga tahu hilangnya fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang mempunyai tugas penting menetapkan GBHN -rancangan proyeksi pembangunan yang terpola dan terukur,” jelasnya.

Sementara Guru Besar Universitas Negeri Malang Profesor Imam Mukhlis dalam kesempatan yang sama mengatakan, untuk mencapai kemandirian ekonomi, peran elemen bangsa lintas sektor sangat diperlukan. Kemandirian ekonomi meneguhkan akan komitmen membangun perekonomian bangsa dengan semangat nasionalisme. Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah harus presisi dan tepat sasaran. Agar tepat sasaran maka sudah seharusnya kebijakan yang dibuat adalah berbasis riset dan bukti.

“Hasil penelitian seharusnya menjadi acuan dasar pemerintah untuk pembuatan kebijakan yang tepat sasaran. Acuan dasar itu meliputi pengetahuan pakar, hasil penelitian yang dipublikasikan, statistik, konsultasi dengan pemangku kepentingan, evaluasi-evaluasi kebijakan sebelumnya, dan lain-lain,” kata Imam.

Imam yang juga peneliti senior di IEF Research Institute ini menjelaskan, kanal peran serta peneliti dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai instrumen kebijakan pun telah dibuka melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, selain harus melibatkan perancang peraturan perundang-undangan juga harus melibatkan peneliti.

Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat menambahkan, di era tirani, pahlawan adalah mereka yang mengorbankan jiwa raganya untuk memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Namun, pada masa kini, para pahlawan adalah mereka yang mengisi kemerdekaan melalui kontribusi nyata dalam membangun negeri demi tegaknya eksistensi dan kedaulatan NKRI di segala bidang, termasuk kedaulatan ekonomi.

Ariawan mengatakan, dalam kondisi ideal, postur APBN dibiayai dari penerimaan pajak dan penghasilan negara, termasuk dari devisa. Saat ini peran pajak terhadap APBN masih lebih dari 80 persen dari total pendapatan negara. Ditambah lagi, kondisi keuangan negara sedang krisis di tengah penanganan Covid-19. Hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.625,43 triliun, setara dengan 40,85 persen terhadap PDB. Artinya, dari sisi masyarakat, saat inilah momen yang tepat untuk menunjukkan peran dan baktinya melalui kontribusi pajak sesuai ketentuan yang berlaku, bagi tegaknya NKRI. Salah satunya melalui kontribusi pajak.

Contoh dalam konteks kekinian, saat ini pemerintah telah mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Salah satu cakupan di dalamnya adalah adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Voluntary Disclosure Program. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

“Kesediaan mengikuti program pemerintah ini pun sudah merupakan sikap kepahlawanan. Selain menjadi kontributor nyata dalam pembangunan, mengikuti PPS juga menunjukkan adanya nilai kejujuran dan jiwa besar atas kewajiban kita sebagai masyarakat Indonesia,” kata Ariawan.

Ariawan pun menyarankan agar masyarakat Indonesia yang memenuhi syarat untuk mengikuti PPS. Sebab belum tentu ada kesempatan serupa lagi. Apalagi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerapkan skema automatic exchange of information (AEoI),) telah bertukar informasi dengan puluhan negara/yurisdiksi pada 2020 lalu. Hal ini mempersempit ruang bagi masyarakat untuk melakukan penghindaran pajak

Peneliti senior dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Timbul Hamonangan Simanjuntak menyampaikan, kemandirian ekonomi tidak terlepas dari adanya kesinambungan fiskal yang sehat, sehingga dapat memenuhi kebutuhan modal pembangunan dan terjaminnya penyediaan barang dan jasa publik secara berkesinambungan. Kemandirian ekonomi juga akan menjamin pembiayaan kehidupan masa depan generasi selanjutnya tanpa terbebani beban utang berkepanjangan.

“Tanpa kesinambungan fiskal, tentunya modal pembangunan akan tergantung pada investasi asing. Tidak berarti investasi asing tidak penting, ini diperlukan manakala terjadi defisit yang bersifat sementara. Dalam hal defisit menjadi sebuah kebijakan, maka perlu strategi jalan keluar agar terhindar dari jebakan utang ( debt trap). Hal ini perlu perhatian kita sebagai bangsa yang berdaulat yang tentunya kita tidak menginginkan praktik globalisme yang sejatinya adalah imperialisme baru itu mendominasi kedaulatan ekonomi Indonesia,” kata Hamonangan.

Pria yang akrab disapa Monang ini juga menjelaskan, kebutuhan modal untuk pembangunan infrastruktur bagi negara berkembang sangat mendesak dan sangat besar. Solusi pembiayaan dapat diperoleh baik dari pendanaan asing atau mobilisasi pembiayaan dalam negeri berupa penarikan pajak. Solusi kedua ini lebih dipilih karena biaya yang murah dan terhindar dari biaya modal yang mahal baik dalam bentuk beban kewajiban bayar cicilan utang dan bunga utang. Sebaliknya, ketergantungan yang sangat besar pada pendanaan asing dalam jangka panjang dapat berpotensi bermasalah menimbulkan beban utang berkepanjangan pada anggaran negara.

Namun, posisi penerimaan pajak Indonesia sebagai investasi dalam negeri yang dalam beberapa tahun tidak pernah mencapai target dengan tax ratio sangat rendah dibanding negara lain. Diperlukan upaya kerja keras dengan strategi yang jitu dari semua kita dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak. “Budaya pajak perlu ditanamkan kepada seluruh elemen bangsa karena kesadaran bayar pajak memerlukan dukungan semua pihak sebagai bentuk kegotongroyongan nasional,” tutur Hamonangan.

Dari hasil review BPK tahun 2020 yang sudah diberitakan luas, bahwa pemerintah berhasil menjaga defisit APBN terhadap PDB di bawah 3% dan utang pemerintah terhadap PDB di bawah 30 % sepanjang tahun 2015 s.d 2019,. Namun Keseimbangan Primer ( Primary Balance) terus mengalami posisi negatif sepanjang masa tersebut. Kondisi keseimbangan primer dianggap bertahan sustainable bila kondisi tsb tetap terjaga positif, yang berarti bunga utang dapat dibayar dengan pendapatan negara. Dengan kondisi keseimbangan primer negatif sepanjang tahun 2015 s.d 2019, dapat menimbulkan risiko fiskal dalam jangka panjang.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia tentunya sangat penting mempertahankan keberlangsungan fiskal yang berkelanjutan dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi sehingga tercipta ruang fiskal yang luas untuk modal pembangunan. Pada sisi lain pajak merupakan bagian yang tak terpisahkan pada kebijakan fiskal. Pasalnya, pajak merupakan kontributor terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terlebih, pajak merupakan investasi dalam negeri dalam instrumen fiskal yang sangat efektif dalam mengarahkan perekonomian yang mandiri.

Pada kenyataannya, penarikan pajak tidak hanya bergantung pada kondisi makro ekonomi semata, pajak juga menyangkut manusianya sebagai subjek pajak yang berkewajiban membayar pajak. Dalam konteks ini masalah psikologi perilaku wajib pajak dalam memenuhi kepatuhan pajaknya secara sukarela ( tax compliance) sangat berperan penting. Fakta menunjukkan bahwa walaupun kondisi makro ekonomi Indonesia 5 tahun terakhir (2013 s.d 2018) cukup baik dimana pendapatan ekonomi nasional (GDP) yang terus bertumbuh berkisar rata-rata 5,05 % cukup tinggi di antara negara-negara ASEAN, inflasi relatif rendah, tingkat suku bunga yang stabil, namun peningkatan penerimaan pajak relatif tetap rendah yang tercermin dalam tax ratio yang rendah. Sangat beralasan adanya dugaan bahwa, faktor sikap subjek pajak (psikologi) juga berperan penting dalam menentukan kepatuhan pajak Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya tax ratio.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved