Business Research Trends

Ketahui Risiko dan Peluang Transformasi Bisnis Hijau

Bank DBS memprediksi, bahan bakar fosil masih bertahan hingga 2035 di Asia. Disebutkan, bahan bakar fosil masih menjadi instrumen utama pembangunan negara berkembang selain batu bara. Mengutip laporan DBS Group Research bertajuk ‘Environmental, Social and Governance: Turning carbon into gold’, emisi karbon di negara berkembang meningkat.

Pada proses transisi bisnis menjadi lebih ramah lingkungan, perusahaan yang bergerak pada bidang pertambangan, pembangkit listrik, dan eksplorasi bahan bakar fosil perlu mempertimbangkan risiko dan peluangnya. Masih dalam laporan yang sama, ekonom Bank DBS memperkirakan akan ada risiko potensi penurunan pendapatan serta penurunan nilai dari aset-aset yang menghasilkan karbon tersebut karena adanya transisi ke energi ramah lingkungan. Biaya operasional juga akan meningkat karena peraturan yang lebih ketat ketika pemerintah mengubah batas emisi.

Faktor sumber daya alam seperti kelangkaan air juga tidak dapat dihindari sehingga ongkos produksi juga bisa naik. Tak hanya itu, penolakan penggunaan bahan bakar fosil dari berbagai pihak bisa mengarah kepada persoalan hukum akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang muncul akibat eksplorasi.

Menurut laporan dari Carbon Brief, pada tahun 2019, Indonesia melampaui Australia menjadi negara pengekspor batu bara termal terbesar di dunia. Sementara itu, Union of Concerned Scientist mengungkapkan bahwa pertambangan batu bara sendiri menghasilkan dampak negatif pada lingkungan seperti polusi air dan udara hingga pemanasan global. Di beberapa negara di Asia Pasifik, pembangkit listrik mengeluarkan emisi karbon terbanyak hampir 50%, lalu diikuti oleh industri dan sektor transportasi.

Pangsa emisi karbon jauh lebih besar di kawasan ini, yaitu 70% karena batu bara tetap menjadi sumber energi yang paling ekonomis. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Postdam Institute for Climate Impact Research (PIK), emisi GRK tahunan Indonesia adalah 2,4 miliar ton pada tahun 2015. Emisi Indonesia mewakili 4,8% dari total emisi global dunia pada tahun tersebut.

Kendati demikian, peluang baru pun mungkin muncul dari perubahan iklim. Perusahaan dapat mendorong pengurangan konsumsi melalui peningkatan efisiensi energi. Selain itu juga dapat mengembangkan produk hijau baru yang lebih ramah pasar, hingga perluasan bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT).

Dalam kondisi normal, ekonom Bank DBS mengasumsikan bahwa permintaan pasar akan batu bara tetap sama hingga 10 tahun ke depan, biaya operasional untuk riset dan pengembangan bisnis juga akan meningkat untuk upaya pengurangan karbon.

Pada skenario optimis, output sektor pertambangan batu bara turun sedikit setiap tahunnya dalam 10 tahun mendatang. Tak hanya itu, terdapat langkah yang lebih agresif untuk mendiversifikasi pendapatan sementara pajak karbon tidak diimplementasikan. Industri minyak dan gas sendiri akan mengalami penurunan keuntungan karena kelebihan kapasitas kilang, sementara harga jual rendah.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved