Management Trends

Klarifikasi Manajemen Beras Maknyuss Pasca Sidak Satgas Pangan

Klarifikasi Manajemen Beras Maknyuss Pasca Sidak Satgas Pangan

PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. (TPS Food) akhirnya memberikan klarifikasi mengenai perkara yang dialami anak perusahaannya, PT Indo Beras Unggul (IBU). Dugaan pemalsuan beras premium yang menyebabkan penyegelan pabrik milik PT IBU ini memberikan dampak pada nilai sahamnya yang turun. Bertempat di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa 25 Juli 2017, jajaran direksi TPS Food mengadakan public expose insidentil untuk menjawab dugaan yang ditujukan kepada produsen beras itu.

Di kesempatan ini, TPS Food sebagai induk perusahaan IBU memaparkan di depan investor dan media mengenai kasus yang membelitnya terkait sidak Satgas Pangan. Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk., Stefanus Joko Mogoginta, menyampaikan bahwa perusahaan menjunjung tinggi legal terkait dengan usahanya. “Kami (perusahaan) siap untuk dibina dan ditegur jika terdapat kekurangan dan ketidaklengkapan dalam menjalankan usahanya. Kami sangat transparan,” ungkapnya.

Ada beberapa poin yang dituduhkan pada IBU terkait produksi berasnya oleh Satgas Pangan. Dugaan penggunaan beras bersubsidi (medium), jenis IR 64, yang dikemas dan dijual dengan harga premium ramai dibicarakan serta menjadi dilema masyarakat. Fakta yang dipaparkan TPS Food, pihaknya membeli gabah dari petani, bukan membeli beras bersubsidi. “Beras yang kami pergunakan dari gabah umum yang beredar melalui mekanisme pasar,” ungkap Independent Director PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk., Jo Tjong Seng.

Anggapan mutu medium pada beras produksi IBU yang dijual dengan harga premium dijelaskan lebih lanjut oleh Jo Tjong Seng mengenai diskripsi mutu berdasarkan SNI. “Diskripsi medium atau premium mutu beras dilihat dari parameter fisik bukan tergantung pada jenis atau varietas beras. Beras IR 64 atau jenis lain dapat menjadi medium atau premium sepanjang diolah sesuai dengan standar parameter fisik yang terukur,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa IBU tidak membeli beras sejahtera (rastra) Bulog untuk produksinya. Jo Tjong Seng juga menyampaikan diskripsi mutu pada beras bukan tergantung pada kandungan gizi. “Faktor-faktor yang membuat beras masuk dalam kategori premium dilihat dari keutuhan beras, derajat sosoh, kadar air, dan lainnya,” tambahnya.

Mutu gizi sempat dipertanyakan pada beras Cap Ayam Jago yang menjadi beras premium produksi IBU. Kadar karbohidrat dan protein hasil penelitian tidak sesuai dengan yang tercantum pada informasi nilai gizi beras Ayam Jago. Pihak TPS Food menjelaskan kesalahan memahami Satgas Pangan pada informasi nilai gizi yang tercantum pada packaging. “Tulisannya 25% adalah AKG bukan karbohidrat yang tercantum. Kisaran kandungan karbohidrat pada beras putih sebesar 74% – 84%. Di packaging, kandungan karbohidrat yang tercantum 74% per 100 gram (74%) dan hasil analisa Satgas Pangan 81,45%. Berarti masih masuk dalam kisaran kandungan karbohidrat beras,” ujarnya. Penjelasan yang sama berlaku untuk nilai gizi lainya. Jo Tjong Seng juga menyampaikan bahwa informasi nilai gizi bukanlah indikator mutu medium atau premium sebuah beras.

Saat sidak, Satgas Pangan menyita sebanyak 1.161 ton beras milik anak usaha dari TPS Food. Beras tersebut sengaja untuk dijadikan stok penjualan selama satu minggu ke depan oleh IBU. “Hal yang umum dan tidak dilarang untuk industri memiliki stok sesuai dengan ketentuan yang ada. Kami memasarkan produk ke seluruh Indonesia sehingga memiliki stok adalah wajar,” ungkap Jo Tjong.

Harga beli gabah IBU dari petani sebesar Rp 4.900 dianggap tinggi oleh Satgas Pangan dan dapat mematikan pelaku usaha lain. Manajemen TPS Food menjelaskan bahwa pembelian gabah melalui mekanisme pasar yang ada dan memang ada harga acuan dari pemerintah. “Harga acuan (pemerintah) berguna untuk kepastian petani mendapat harga yang sama dengan yang ditetapkan pemerintah jika harga pasar di bawah harga acuan. Petani memiliki pilihan untuk menjual gabah kepada pemerintah atau pada pasar sesuai dengan mekanisme pasar. Tentu yang terjadi lebih tinggi dari harga acuan,” jelasnya. Harga lebih tinggi ini juga menjadi insentif bagi petani yang menjual gabah ke IBU sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.

IBU dianggap menjual beras merek Maknyuss dan Cap Ayam Jago dengan harga lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh Permendag. Bisnis IBU berdasarkan prinsip B2B, yang hanya menentukan harga sampai keluar pabrik. “Penjualan beras mengikuti mekanisme pasar dan pasti ada kompetisi harga. Kami menetapkan harga sesuai kompetisi pasar seperti apa. Prinsip B2B tidak memungkinkan IBU untuk menjual langsung ke konsumen akhir. Keputusan harga di tingkat akhir berasal dari toko atau outlet yang menjualnya,” jelas Jo Tjong.

IBU juga dianggap melakukan praktik monopoli dan oligopoli melalui bisnis berasnya. Menjawab tuduhan tersebut, manajemen IBU menyampaikan bahwa pangsa pasarnya masih terbilang kecil, di bawah 1%. Nilai itu tidak sebanding dengan konsumsi beras nasional per bulannya yang merncapai hampir 3 juta ton.

Editor : Eva Martha Rahayu


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved