Trends

Larangan Ekspor Bijih Nikel RI Picu Gugatan Uni Eropa

Ilustrasi produksi nikel / smelter (Foto Reuters).

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan pemerintah Indonesia menyatakan siap melayani tuntutan Uni Eropa terkait dengan kasus sengketa nikel kepada World Trade Organization (WTO).

Proses gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan ekspor nikel Indonesia terus berlanjut. Kamis kemarin, 14 Januari 2021, Uni Eropa telah menyampaikan notifikasi bahwa sengketa ini akan dilanjutkan.

Pada 25 Januari 2021, pembahasan sengketa akan dilakukan di WTO. Indonesia menyatakan kesiapan untuk melayani tuntutan dari Uni Eropa tersebut.

“Indonesia dengan senang hati akan melayani tuntutan tersebut,” kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam konferensi pers virtual pada Jumat, 15 Januari 2021.

Berikut kronologi tuntutan Uni Eropa terhadap Indonesia:

Larangan Ekspor Berlaku 1 Januari 2020Pangkal bala dari tuntutan Uni Eropa ini adalah pengumuman larangan ekspor bijih mentah (ore) nikel oleh pemerintah Indonesia. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 yang diteken oleh menteri saat itu, Ignasius Jonan pada 28 Agustus 2019. Adapun larangan ekspor biji nikel mulai berlaku 1 Januari 2020

Kesepakatan dengan PenambangPada 28 Oktober 2019, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia ikut mengumumkan larangan ini. Ia bertemu dengan asosiasi penambang dan menyatakan mereka sepakat soal larangan ini.

“Kami akan ekspor barang jadi,” kata dia saat itu. Sebab, kata Bahlil, pemerintah ingin ada hilirisasi dalam sumber daya mineral ini.

Penambang Jual ke SmelterMenjelang larangan diberlakukan, Bahlil berdialog bersama para penambang dan pemilik smelter di tanah air. Lantaran ekspor dilarang, maka penambang diminta menjual hasil tambang mereka ke pabrik smelter lokal.

Pada 12 November 2019, BKPM, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) menyepakati harga jual ore nikel ke smelter atau pabrik pengolahan dalam negeri sebesar US$ 30 per metrik ton.

Harga ini lebih rendah ketimbang harga yang diusulkan para penambang di APNI yaitu sekitar US$ 36 per metrik ton. “Itu semua tadi sepakat, tidak ada yang tidak,” kata Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers usai menggelar pertemuan dengan 47 perusahaan dari APNI dan AP3I di Kantor BKPM, Jakarta Selatan, Selasa, 12 November 2019.

Uni Eropa BereaksiReaksi datang dari salah satu konsumen nikel Indonesia yaitu negara-negara di Uni Eropa. Pada 22 Desember 2019, Uni Eropa menyampaikan pemberitahuan ihwal gugatan kepada Duta Besar Indonesia di Jenewa.

Kabar soal gugatan ini disampaikan Wakil Tetap Indonesia untuk WTO, Duta Besar Hasan Kleib. Uni Eropa, kata dia, menilai pembatasan larangan ekspor ini melanggar ketentuan di WTO.

Produsen Baja Eropa Sebut PelanggaranTak hanya itu, Asosiasi Produsen Baja Eropa atau EUROFER mendukung rencana gugatan Uni Eropa ke WTO. Dukungan disampaikan karena 55 persen dari bahan baku yang dibutuhkan pabrik baja anti-karat di Eropa adalah bijih nikel.

“Kami menyambut baik bahwa Uni Eropa telah memilih untuk mengambil tindakan melawan Indonesia di WTO, atas dasar pelanggaran terhadap aturan perdagangan,” kata Direktur Jenderal EUROFER, Axel Eggert, dalam keterangan pers di laman resmi mereka di Brussels, Belgia, Jumat, 22 November 2019.

Jokowi Tak GentarKabar soal gugatan Uni Eropa ini kemudian direspons oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia menyatakan tidak takut terhadap gugatan dan siap menghadapinya.

“Digugat ke WTO enggak apa-apa, kami hadapi. Jangan (kira) digugat terus grogi, enggak,” kata Jokowi pada Kamis, 12 Desember 2019.

Jokowi menjelaskan puluhan tahun Indonesia hanya bergantung pada ekspor barang mentah. Padahal Indonesia bisa mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi agar mendapatkan nilai tambah.

Tak Selesai Masalah Penambang-SmelterPada 1 Januari 2020, secara resmi ekspor dilarang. Tapi masalah di dalam negeri belum selesai, meski sudah pernah ada kesepakatan soal harga. Hingga akhir Februari 2020, tidak ada kesesuaian harga antara para penambang nikel dan perusahaan smelter yang menyerap hasil bijih nikel.

“Harusnya saat smelter sudah berdiri di sini, kami semakin hidup. Tapi kenapa saat ada smelter di sini, kami semakin terpuruk, rugi,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey dalam diskusi di Kantor Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020.

Masalah harga ini terus berlanjut sampai akhir 2020. Di saat bersamaan, proses gugatan Uni Eropa terus berlanjut, salah satunya pembahasan di WTO pada 25 Januari 2020 nanti.

Sumber: Tempo.co


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved