Management Trends

Lima Sekawan Mengibarkan Fintech LandX

Romario Sumargo, Chief Operating Officer & Co-founer LandX (kiri) dan Gunawan Aldy, Co-founder LandX (kanan)

Akhir-akhir ini nama LandX menjadi buah bibir masyarakat. Khususnya para investor, pasti tidak asing lagi dengan LandX. Bagaimana tidak, perusahaan rintisan yang bergerak di bidang platform teknologi finansial urun dana (fintech equity crowd funding/ECF) ini berhasil mendominasi 65% atau sekitar Rp22,9 miliar dari total ECF di Indonesia dalam penyaluran dana, yaitu Rp36, 69 miliar per Maret 2021 dari 25 ribu nasabah. Pada Kuartal I/2021 saja sudah mencapai Rp20 miliar dana yang sudah dikucurkan. Sedangkan jumlah dividen yang telah dibagikan mencapai Rp 1,36 miliar. Bahkan, dalam waktu 5 jam LandX berhasil menggalang dana Rp7 miliar untuk pembiayaan proyek pabrik pupuk batubara.

Siapakah di balik LandX? Adalah lima sekawan sebagai co-founder: Andika Sutoro Putra, Romario Sumargo , Gunawan Aldy, Johny Sungkono dan Anthony. Andika getol melakukan jual beli saham di bursa efek sejak umur 15 tahun dan di usia 17 tahun berhasil meraup keuntungan Rp 1 miliar. Total keuntungan yang dia raih di pasar saham hingga usia 24 tahun sebesar Rp40 miliar. Andika juga tercatat sebagai co-founder Salt Ventures, sebuah perusahaan venture capital yang berfokus di startup company dan mendirikan lembaga pendidikan Putra Investor School.

Sementara itu, latar belakang Romario adalah banyak terjun ke dunia bisnis dan entertainer. Sejak SMA dia sudah berjualan baju, macaroni, minuman kekinian. Setelah lulus kuliah dari Universitas Tarumanegara Jakarta jurusan Teknik Sipil, dia bekerja di perusahaan konstruksi. Namun, passion-nya di bidang finance dan bisnis terus mendorongnya untuk kembali ke dunia tersebut. Sampai akhirnya mereka berlima bertemu dan sepakat mendirikan perusahaan terkait keuangan dan investasi.

“Tahun 2019, kami berlima mendirikan LandX (PT Numex Teknologi Indonesia) sebagai perusahaan penyelenggara urun dana dan kami sudah mengantongi izin Otoritas Jasa Keungan (OJK). LandX juga telah mengantongi sertifikasi Audit Surveillance ISO 27001 sebagai syarat mendapatkan izin OJK dan member ALUDI (Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia,” jelas Romario yang lahir di Jakarta, 1994 itu.

Menurut Romario yang ditunjuk sebagai Chief Operating Officer LandX, semua penyelenggaran urun dana harus menjadi anggota ALUDI dan mendapatkan surat rekomendasi. ALUDI ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawasan Pasar Modal sebagai asosiasi resmi urun dana sejak pertengahan Desember 2020 melalui surat OJK No.S-153/PM.22/2020. Perusahaan rintisan yang kini sudah terdaftar meliputi Santara, Bizhare, CrowdDana dan LandX. Total sudah ada 22 anggota di ALUDI, 4 sudah berizin dan 17 lainnya masih berproses di OJK untuk menjadi penyelenggara ECF. Tujuan ALUDI adalah untuk membesarkan potensi pasar urun dana di Indonesia.

Sekadar informasi ECF adalah layanan penerbitan saham dari bisnis UMKM atau startup yang disebut ‘Penerbit’, dan ditawarkan kepada masyarakat untuk melakukan urun dana/patungan mendanai bisnis tersebut yang disebut ‘Pemodal’ atau investor.

Perbedaan peer to peer ending (P2P Lending) dengan ECF salah satunya dari sisi nilai pendanaan yang bisa diterima UKM/UMKM. OJK membatasi peminjam P2P maksimal Rp2 miliar sekali pinjaman. Sementara itu, penghimpunan dana penerbit ECF melalui penjualan saham, maksimal bisa mencapai Rp10 miliar dengan jangka waktu satu tahun.

Apa latar belakang pendirian LandX?

“Motivasi kami ingin mendirikan perusahaan yang membuat nyaman investor, terutama anak-anak muda. Mereka bisa berinvestasi dengan dana terjangkau dan berpeluang mendapatkan untung,” ujar Romario. Itulah sebabnya, ketika izin OJK keluar pada Desember 2019, para pendiri LandX langsung bergerak cepat. Izin ini dinilainya bisa meningkatkan derajad UKM/UMKM.

“Visi LandX adalah memajukan UKM/UMKM di Indonesia. Seperti kita ketahui Gross Domestic Product (GDP) Indonesia banyak disokong dari UMKM dan UKM, Bahkan, lapangan pekerjaan mayoritas berasal dari UKM/UMKM,” ungkap Romario.

Modal awal pendirian LandX berasal dari kantong pribadi para pendiri dan angel investor asal Singapura.

Pada tahap awal, proyek pendanaan yang digarap LandX adalah sektor properti, yakni kost-kostan di Jakarta dengan nama kode JKT01. Pertimbangannya, banyak anak muda yang ingin investasi properti, tapi kalau modalnya besar tidak terjangkau. Akhirnya ditawarkan dengan pola pendanaan keroyokan (crowd funding) dengan nilai investasi minimal Rp 1 juta.

Tidak dinyana, respons investor sangat antusias. Bisa ditebak, proyek kedua pun segera meluncur. Bidangnya masih sama properti kost-kostan di Jakarta pula. Antusiasmu yang tinggi itu sampai mencatatkan portofolio proyek kost-kostan hingga ke 7 kali. Semua lokasinya di Jakarta, khususnya Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan yang dekat dengan kampus dan bandara. Proyek JKT07 ini memiliki total pendanaan Rp 5,75 miliar dengan jumlah lembar saham yang dilepas sebesar 5.750 lot.

Memasuki proyek ke-8, LandX menggarap bidang baru, yakni proyek cloud kitchen. Bisnis modelnya seperti online food delivery.

Selanjutnya, proyek ke-9 yang ditangani LandX adalah mendanai pabrik pupuk batubara di Solo, Jawa Tengah. Pabrik pupuk batubara PT Casagro Futura Pratama adalah inovasi baru di Indonesia. “Pupuk batubara adalah temuan terbaru dunia yang ditemukan oleh orang Indonesia, yaitu Omar Saputra yang memiliki hak paten,” ujar dia. Hebatnya, pendanaan mencetak rekor dengan mengumpulkan dana Rp 7 miliar dalam kurun waktu 5 jam saja dari para investor. Proyek ini melepas 7.000 lot saham dengan harga per lotnya sebesar Rp 1 juta.

Tim LandX

“Dari 9 proyek LandX, proyek CAFA pendanaan pabrik pupuk batubara ini yang paling diminati investor. Sebab, biasanya para investor kami melihat proyek mana yang paling memberi keuntungan terbesar, meski risikonya juga besar,” tutur Romario menegaskan.

Setelah menyelesaikan 9 proyek ini, ke depan proyek baru apa yang akan dikerjakan? Romario menyebut, LandX telah mengantongi dua proyek baru yang bergerak di bidang F&B (food & beverage) dan jasa outsourcing. Saat ini sudah masuk tahap final. Salah satunya, restoran hotpot (Dragon Pot) yang sangat terkenal di Melbourne, Australia. Tentu saja, langkah ekspansi ini akan mengangkat prestisius para investor baru LandX karena dapat memiliki saham resto asing terkemuka.

Untuk mencari proyek bagaimana prosesnya? “Dua arah, mencari peluang bisnis yang sustainable dan kadang di-approach oleh business owner,” kata Romario.

Ya, kendati belum genap dua tahun LandX hadir industri ECF, namun prestasinya sudah menonjol, sehingga memikat para investor. “Ini membuktikkan bahwa LandX adalah salah satu platform equity crowd funding yang kredibel,” ujarnya. Sebagai pendatang baru, diakui Romario, LandX masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup banyak. Namun, pihaknya berkomitmen untuk tetap mengakomodir kebutuhan investor.

LandX juga telah bekerja sama dengan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) untuk menyimpan saham-sahamnya. Sinergi ini sekaligus bakal memperkuat dan meningkatkan kualitas portfolio perusahaan. Perseroan ingin memberikan keamanan serta kenyamanan kepada para investor baru dan mendorong perusahaan UMKM lebih profesional dalam menjaga amanah para stakeholders.

Profil investor LandX rata-rata usianya masih muda. Mereka memiliki usia 24-35 tahun (40-60%). Setelah itu usia 19-23 tahun (20-30%) dan Umur 35 tahun ke atas (20-30%). Nilai investasi mereka kalau dipukul rata sekitar Rp10 juta per orang. Untuk memulai investasi, pemodal bisa mengunduh aplikasi LandX di Android dan IoS. Lalu, bikin akun dan verifikasi. Setelah itu, pilih proyek mana yang diminati.

“Kami melihat bahwa tren masyarakat urban, khususnya pada generasi muda sudah melek dalam berinvestasi saham. Hal tersebut dapat terlihat pada profil investor di LandX yang mayoritas usianya antara 25 – 35 tahun dan masih aktif bekerja. LandX memang ditujukan bagi masyarakat yang ingin belajar berinvestasi di dunia saham namun dengan risiko keuangan yang relatif rendah,” kata Romario.

Soal imbal hasil (return) investasi di LandX sesuai dalil investasi, yakni high risk – high return, sebaliknya low risk, low return. Ini sesuai juga dengan jenis proyek yang didanai. “Untuk proyek kost-kostan return berkisar 6-8% per tahun. Sedangkan return besar di proyek pendanaan pabrik pupuk batubara 2-20% per tahun, tapi, risikonya juga gede. Untuk return proyek cloud kitchen 10-20% per tahun,” jelas Romario.

Keuntungan para investor didapat dari dividen. Selain itu, di ECF ada secondary market seperti capital gain di bursa efek. Jadi, dapat dijual setelah satu tahun proyek ada di platform LandX.

Menilik antusiasme investor terhadap proyek-proyek yang didanai LandX, hal ini menunjukkan bahwa pemodal ingin memiliki penghasilan pasif dari kepemilikan saham cukup tinggi. “Investor ritel LandX ini ibaratnya membeli saham bisnis. Bedanya dengan saham di bursa efek, adalah saham yang dibeli di LandX sifatnya saham tertutup. Sistemnya saham elektronik yang disimpan oleh KSEI,” ungkap Romario. LandX sebagai platform mirip bursa efek, tapi skala pendanaan lebih kecil. Dengan kata lain, satu step sebelum melangkah ke penawaran saham perdana (initial public offering/IPO).

Skema bisnis platform LandX dijelaskan Romario sesuai dengan misi untuk membantu UKM ekspansi. Para UKM yang butuh pendanaan, tapi tidak bisa akses pasar modal bisa melalui LandX. Sumbernya dari beberapa investor yang menjadi member LandX.

Saat ini ada 9 proyek yang melakukan pendanaan di LandX, rata-rata nilai pendanaannya Rp3,5 miliar hingga 6 miliar. Ini bisa terpenuhi dalam waktu kurang dari 2 minggu. Yang paling cepat adalah proyek pabrik pupuk batubara senilai Rp7 miliar dalam waktu 5 jam. Saat itu investor sangat tertarik.

“Kami yakin industri ECF bisa membantu perekonomian di Indonesia. Investor LandX juga berharap bisa investasi di sektor-sektor yang menguntungkan. Melalui LandX adalah acara mudah untuk berbisnis, tanpa repot mengurus bisnisnya secara langsung, tapi juga tetap menguntungkan,” jelasnya.

Salah satu keunggulan LandX sebagaimana diklaim Romario adalah bisnisnya unik. Selain itu, LandX mampu menekan risiko keuangan serendah mungkin dan salah satunya ditunjukkan dengan underlying asset. Keuntungan inilah yang membuat investor anyar LandX percaya dan bersedia untuk melakukan investasi. Proyek yang dirilis perusahaan penerbit mayoritas adalah usaha properti, karena perusahaan tersebut memiliki tanah dan bangunan yang bisa menjadi safety net. Oleh karena itu para investor merasa aman karena memiliki garansi berupa aset jika pada masa mendatang perusahaan tersebut menghadapi gangguan bisnis. Investor menaruh kepercayaan kepada LandX mengingat maraknya perusahaan urun dana dengan modus penipuan

Betul, LandX menekankan faktor keamanan dari proyek-proyek yang akan dibiayai. Meski pemain baru, LandX optimistis mampu mengungguli para kompetitor. Salah satu buktinya, sejak mengantongi izin OJK No KEP-68/D.04/2020 tentang Pemberian Izin Usaha Penyelenggara Layanan ECF per 23 Desember 2020, LandX telah mencatatkan total pendanaan yang terkumpul Rp6,69 miliar dari 2 proyek per Januari 2021. “Hingga Maret 2021, LandX sudah mendapatkan 5 proyek baru,” jelas Romario.

Strategi marketing LandX, lanjut Romario, menganut zero marketing cost. Jadi, banyak melalui media sosial untuk promosi, seperti Instagram, Twitter, Facebook, Linkedin, WhatsApp dan website. Tidak disangka follower banyak dan tumbuh organik. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat butuh wadah investasi pasif yang menguntungkan, terjangkau, dan terpercaya.

Jurus LandX menggaet investor juga jitu. Apa rahasianya? “Kami tingkatkan engagement dengan investor. Bisnis ini harus profitable dan sustainable untuk jangka panjang. Founder harus memiliki integritas yang baik agar dipercaya investor. Proyek-proyek yang dijalankan semuanya menguntungkan dengan membagi dividen,” kata Romario menguraikan.

“Kami melihat bahwa tren masyarakat urban, khususnya pada generasi muda sudah melek dalam berinvestasi saham. Hal tersebut dapat terlihat pada profil investor di LandX yang mayoritas usianya antara 25–35 tahun dan masih aktif bekerja. LandX memang ditujukan bagi masyarakat yang ingin belajar berinvestasi di dunia saham namun dengan risiko keuangan yang relatif rendah,” jelasnya.

Selain mengantongi 5 proyek baru hingga Maret 2021, LandX juga mengincar 50 penerbit dengan total pendanaan Rp150 miliar tahun ini. Manajemen juga berambisi untuk melangkah lebih maju dengan mengubah status LandX dari perusahaan ECF menjadi Security Crowd Funding. Bedanya, ECF untuk penggalangan dana/saham. Sedangkan Security Crowd Funding lebih luas cakupannya, yaitu menerbitkan surat utang, sukuk, proyek dan lainnya.

Toh, perjalanan LandX hingga tahun kedua ini diakui Romario tidak semulus jalan tol. Pihaknya juga menghadapi banyak kendala. Salah satunya adalah masih banyak investor yang belum paham tentang model bisnis ECF. Jadi, ini tantangan LandX untuk melakukan edukasi ke investor secara kontinyu.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved