Technology Trends

Lintasarta Siapkan Platform Menuju 100 Smart City

Lintasarta Siapkan Platform Menuju 100 Smart City

“Perwujudan smart city adalah sebuah keniscayaan. Ini menjadi keharusan dan kebutuhan. Sebab, banyak peluang untuk menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien untuk melayani masyarakat. Jadi, smart city bukan pilihan,” ujar Walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany yang juga menjabat Ketua APEKSI/Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia.

Ya, pendapat Airin benar. Istilah smart city (kota pintar) menjadi buah bibir masyarakat selama dua tahun terakhir. Kota-kota di Indonesia berlomba mencanangkan atau mengklaim wilayahnya sudah layak disebut smart city. Untuk menghadapi fenomena ini, Pemerintah telah bekerja sama dengan stakeholders dalam mempersiapkan diri menyongsong terwujudnya smart city di kota-kota Indonesia.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Rudiantara, sejumlah indikator dan prediksi pakar menunjukkan potensi besar kehadiran smart city di Indonesia. Tahun 2040 nanti diprediksikan 80% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan, sehingga wilayah kota harus lebih luas. Apalagi tahun 2016, gross domestic brutto (GDP) kita mencapai US$1 triliun dan tahun 2030 GDP Indonesia diprediksikan mencapai US$2,4 – 2,5 triliun.

“Itu artinya, dalam 12 tahun ke depan, perekonomian Indonesia akan meningkat 2,5 kali,” ujar Rudiantara dalam sambutannya berupa tayangan video pada pembukaan seminar “Indonesia Smart City Summit 2017: Gerakan Menuju 100 Smart City” di Makassar (22/5/2017). Alhasil, pada 2030 nanti, perekonomian Indonesia bakal berada di posisi no.8 atau 9 peringkat dunia atau sama dengan Inggris dan Perancis saat ini.

Lantas, bagaimana Pemerintah memberikan layanan masyarakat? Salah satu solusinya dengan smart city. Namun, Rudiantara mengingatkan bahwa pengertian smart city jangan disalahtafsirkan. “Tujuan smart city bukan berlomba membeli teknologi atau komputer. Kalau ini yang dilakukan, maka yang untung adalah vendor atau penjual teknologi/komputer,” jelasnya.

Smart city perlu komitmen jangka panjang tiap-tiap Pemda. Sebab, perlu analisis infrastruktur dan kemampuan fiskal setiap Pemda. “Harus bisa mengubah mindset petugas Pemda untuk meningkatkan layanan masyarakat yang lebih cepat dan bagus,” ungkap Rudiantara.

Tahun 2019, semua Pemda harus punya akses broadband atau Internet kecepatan tinggi. Tahap awal ada 25 kota yang akan dibimbing menuju smart city, lalu meningkat 100 kota dan seterusnya.

Untuk itu, lanjut Rudiantara, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan pihak-pihak terkait menyiapkan penerapan smart city di kota-kota Indonesia yang jumlahnya sekitar 500 kota. Pada gilirannya, jika smart city sudah tercapai kelak, maka akan tercipta smart region.

Apabila smart city tercapai, maka urusan pelayanan masyarakat bisa terintegrasi di daerah masing-masing. Sehingga, Pemerintah pusat nantinya hanya mengurus perizinan pembuatan SIM, paspor atau urusan imigrasi. Sisanya, urusan yang lain akan dilayani oleh masing-masing Pemda, yaitu Pemkot atau Pemkab.

“Pengembangan smart city harus dapat meningkatkan nilai tambah suatu kota. Jadi kita harus punya strategi agar infrastruktur smart city itu memiliki nilai tambah daerah dan nasional. Untuk itu, harus punya road map atau peta jalan,” kata Rudiantara.

Penegasan Rudiantara ini sekaligus untuk menepis anggapan bahwa smart city sekadar ada Wi-Fi, call center atau website. Ini akan menjadi kontradiksi atau tidak smart apabila data tidak bisa diakses atau digunakan oleh publik.

Belanja IT Jangan Boroskan Anggaran

Dalam kesempatan yang sama, sambutan Menteri Dalam Negeri RI Tjahjo Kumolo, yang dibacakan oleh Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Diah Indrajati, mengatakan, smart city adalah upaya membangun bangsa terkait Nawacita yang dicetuskan Presiden Joko Widodo. Dengan Smart city, maka sumber daya harus dikelola dengan efektif, efisien, tepat waktu serta tepat sasaran.

“Sebuah kota digolongkan sebagai smart city bila mampu senseing, understanding, acting atas permasalahan yang dihadapi kota tersebut,” kata Diah menjelaskan.

Sejauh ini perkembangan daerah-daerah menuju smart city belum merata. “Lihat saja ada Pemda yang websitenya tidak bisa dibuka, ada yang tidak diupdate situsnya, tapi ada juga beberapa daerah yang smart city nya sudah bagus,” ungkap Diah.

Menurutnya, berdasarkan data Kemendagri tahun 2016, belanja teknologi informasi Pemda mencapai Rp40 triliun. Sebanyak Rp8 triliun di antaranya untuk belanja bandwidth. “Seharusnya implementasi tidak hanya proyek yang memboroskan anggaran, tetapi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat agar merasa nyaman hidup di kota tersebut. Sebab, saat ini banyak permohonan daerah untuk membangun smart city,” kata Diah.

Perlu diketahui Gerakan Menuju 100 Smart City dan acara Indonesia Smart City Summit 2017 merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Gerakan Menuju 100 Smart City diresmikan penandatanganan MoU antara perwakilan Pemerintah Pusat bersama 25 kepala daerah yang terpilih pada tahap pertama. Untuk dua tahun lagi, ditargetkan akan dipilih 75 kota/kabupaten lagi. Total, tahun 2019, diharapkan akan terbentuk 100 kota/kabupaten smart city.

Pemilihan 25 kota/kabupaten smart city ini sangat ketat. Mulai dari proses assessment yang mengukur kesiapan visi, regulasi, SDM, serta potensi di tiap daerah. Penilaian ini dilakukan oleh tim ahli yang terdiri dari elemen pemerintah, swasta, dan akademisi.

Adapun 25 kota/kabupaten peserta Gerakan Menuju 100 Smart City tahap satu adalah: Kota Semarang, Kabupaten Sleman, Kota Singkawang, Kota Makassar, Kota Bogor, Kota Tomohon, Kabupaten Badung, Kabupaten Siak, Kabupaten Mimika, Kabupaten Gresik, Kota Jambi, Kabupaten Sidoarjo, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kota Sukabumi, Kota Samarinda, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Tangerang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Banyuwangi.

Solusi Smart City Lintasarta

Target Pemerintah untuk merealisasikan 100 smart city pada 2019 tentu perlu dukungan dari pihak ketiga sebagai penyedia infrastruktur. Dan Lintasarta sebagai salah satu perusahaan penyedia platform smart city menyatakan kesiapannya untuk mendukung melalui layanan Solusi Smart City Lintasarta.

Bagi Lintasarta, konsep smart city mencakup 6 hal. Pertama, smart environment. Caranya, pengembangan green technology dan traffic management. Kedua, smart mobility. Untuk itu, dibutuhkan pengembangan sistem transportasi yang terintegrasi. Ketiga, smart living. Artinya, perlu kemudahan akses terhadap layanan masyarakat. Keempat, smart economy. Contoh, pengembangan ekonomi kreatif dan pajak online. Kelima, smart people. Ini melalui pengembangan SDM paham teknologi dan mendukung kreativitas serta penelitian. Keenam, smart governance. Manfaatnya, peningkatan tata kelola pemerintahan dan integrasi & pengembangan e-government.

“Pembangunan smart city akan cepat tercapai melalui kolaborasi. Kuncinya, dibutuhkan leardership yang kuat dari kepala daerah, Pemda harus membangun ekosistem/kolaborasi, memilih partner teknologi terbaik (komitmen, sumber daya, kompetensi),” jelas Arya N.Soemali, Direktur Jasa TI Lintasarta.

Menurut Arya, platform Solusi Smart City Lintasarta, memiliki 4 layanan utama. Pertama, CCTV Monitoring. Ini memberikan informasi terkait lalu lintas, kemacetan, parkir liar atau crowd analytic yang terjadi di kota atau kabupaten tersebut.

Kedua, Social Media Monitoring. Tujuannya untuk memonitor pemberitaan kota/kabupaten tersebut yang diposting oleh masyarakat atau feedback lewat Facebook, Twitter atau Youtube.

Ketiga, Command Center Pemkot/Pemkab. Manfaatnya, untuk melihat Key Performance Index (KPI) Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD). Contoh, aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Kesehatan (Diskes), Dinas Perhubungan (Dishub), Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).

Keempat, City Living. Layanan ini akan memberikan informasi tentang seluk beluk kota itu, event apa saja yang terjadi di kota tersebut, berita-berita teraktual tentang kota itu, transportasi umum, pariwisata, kejadian banjir, kebakaran atau emergency contact yang nantinya bisa ditindaklanjuti oleh aparat Pemda.

“Lintasarta berkomitmen penuh membangun infrastruktur smart city. Infrastrukturnya bersifat terintegrasi dan terkolaborasi sehingga jauh lebih efisien. Penghematan bisa 50% dengan platform ini,” kata Arya lagi. Lintasarta membangun platform Solusi Smart City ini di atas data center dan cloud. Juga, didukung oleh fiber optik di 146 kota dengan panjang 2.800 km di Indonesia, 4 data center berkapasitas besar, 14.400 titik VSAT, serta 4 cloud infrastruktur.

Kepada aparat Pemda, Arya menyarankan agar investasi teknologi tidak dilakukan secara terpisah atau sendiri-sendiri. Pemda harus bisa mengadopsi teknologi baru dengan efisien. Jadi, tidak perlu beli macam-macam aplikasi, sewa SDM untuk operasikan sistem, sewa server sendiri, dan lainnya.

“Tapi, cukup dengan menjadi pelanggan platform Solusi Smart City, semuanya sudah terlayani dan pelanggan bisa membayar bulanan sesuai kebutuhan tiap-tiap kota,” jelasnya. Solusi ini didesain sesuai kebutuhan masing-masing Pemda. Pelanggan tidak perlu khawatir bandwith kelebihan atau kekurangan. Dia menyarankan agar pelanggan berlangganan Solusi Smart City Lintasarta setidaknya tiga tahun untuk menjaga kesinambungan program.

Guna mengembangkan berbagai aplikasi terkait smart city, Lintasarta merangkul sejumlah perguruan tinggi. Saat ini yang sudah bekerja sama menciptakan talent-talent di daerah dengan keunikan masing-masing adalah kampus UGM Yogyakarta, ITB Bandung dan ITS Surabaya.

Ke depan, tantangan smart city masih menjadi pekerjaan rumah kita. Apa saja? Kata Arya, ada empat tantangan. Pertama, tata kelola dan monitoring kota yang belum optimal. Kedua, kemudahan akses terhadap layanan masyarakat masih kurang. Ketiga, belum terbentuk integrasi data antar aplikasi dan antar dinas/SKPD. Keempat, biaya investasi dan pengoperasian teknologi informasi & komunikasi yang besar. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved