Management

Astra International, Bersiap Sebelum Perubahan Datang

Astra International, Bersiap Sebelum Perubahan Datang

Bukan berlebihan jika ada yang mengatakan Astra International tergolong siap (ready) menghadapi perubahan dalam urusan pengelolaan manajemen HR (human resources). Bahkan, bisa dikatakan perusahaan yang per Maret 2021 memiliki 188 ribu karyawan —89% di antaranya milenial— ini sudah memeluk perubahan dan penyesuaian di bidang praktik SDM (seperti remote working) jauh sebelum aneka perubahan itu dipercepat kehadirannya di masa pandemi.

Bagaimana mereka melakukan hal tersebut, sangat kentara lewat tuturan Aloysius Budi Santoso, Chief Corporate Human Capital Development PT Astra International Tbk., ketika membedah langkah perusahaan ini dalam konteks HR future readiness lewat kerangka 5S-nya McKinsey. Berikut ini penjelasannya:

Strategi

Sementara banyak perusahaan mengembangkan manajemen HR terbarunya, seperti penerapan sistem remote working, lantaran tekanan pandemi, Aloysius mengungkapkan bahwa Astra telah mengembangkan itu jauh sebelumnya. Bahkan, bukan hanya dalam urusan work from home atau mobile working. Tahun 2016, setelah World Economic Forum menyalakan alarm telah terjadinya Revolusi Industri 4.0 yang beriringan dengan VUCA, tim HR manajemen Astra menyadari telah hadir apa yang dikenal dengan sebutan the future of work ketika pola serta gaya bekerja tak lagi sama.

Merespons perubahan tersebut, “Di tahun 2017 kami bentuk tim kecil untuk melakukan riset mendalam tentang future of work dengan semua karakternya,” ujar Aloysius. Tahun berikutnya, Astra mulai mengimplementasikan responsnya lewat berbagai macam program human capital, di antaranya organization agility dan digital learning roadmap.

Mereka juga memodernisasi proses rekrutmen, seperti virtual job fair dan computer-based test yang terintegrasi. Beriringan dengan itu, mereka pun meluncurkan panduan employee value proposition yang diluaskan menjadi employee engagement, dan sekarang menjadi employee experience.

“Karena itu, dalam masa pandemi, bagi kami tidak ada yang mengejutkan. Buat kami di Astra, pandemi ini sifatnya hanya akselerasi terhadap future of work,” dia menegaskan.

Struktur

Lantaran disiapkan dengan baik, dalam arti bukan respons mendadak, secara struktur tidak ada perubahan yang fundamental dalam manajemen HR di Astra. “Yang menjadi fundamental berbeda adalah cara orang berinteraksi dan cara orang bekerja, itu menjadi sangat berubah. Kalau yang lain, seperti konteks organization agility, digitalisasi, dan digital learning, itu sudah kami siapkan dari 3-4 tahun lalu,” Aloysius menjelaskan.

Jadi, “Secara prinsip struktur kami tidak berubah. Struktur HR masa yang lalu dan sekarang masa pandemi tidak berubah. Apakah ke depan akan berubah? Saya belum tahu karena everything still running well dengan struktur yang ada,” tambah lelaki berkamacata itu.

Dalam konteks struktur, manajemen Astra meyakini bahwa sekalipun hal itu penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana cara mereka menanggapi atau merespons perubahan. Jadi, konten dan konteks lebih penting daripada struktur.

“Bagi kami, yang penting adalah end-nya atau result-nya, lebih baik atau tidak. Sampai saat ini struktur human capital di Astra tidak berubah, semua target dan kinerja bisa dicapai dengan baik, dan pengakuan dari pihak luar pun terjadi. It’s nothing wrong with our structure,” katanya tandas. Pengakuan yang dimaksudkannya adalah penghargaan Best Companies to Work For in Asia 2021 dari HR Asia. Ini adalah penghargaan yang keempat secara berturut-turut.

Sistem

Tahun 2016, begitu menyadari Astra harus merespons perubahan yang terjadi, dan suka atau tidak suka, digitalisasi menjadi kata kuncinya, tim HR kemudian melakukan akselerasi besar-besaran di semua lini. “Semua lini” di sini artinya seluruh value chain diintegrasikan. Maka, pada proses rekrutmen dibuat Astra Integrated Recruitment System, kemudian comprehensive talent information system yang mengurusi karyawan saat mereka on boarding dan di-develop, serta sistem Employee Self Service.

Sebagai induk usaha, tim HR Astra juga mengembangkan beragam sistem untuk mendukung anak-anak usahanya, seperti proses survey employee engagement, sampai urusan data analytics dan machine learning-nya. Itu semua dilakukan selepas 2016.

“Jadi, kami sudah punya sistem untuk membantu business unit melakukan employee engagement survey. Kami punya big data yang sekarang sudah ada lebih dari 100 ribu. Lalu, ketika menyajikan report pada board business unit sudah menggunakan data analytics, machine learning. Kami sudah (lama) masuk ke area sana,” kata Aloysius.

Skil

Agar kapasitas dan kapabilitas karyawan bisa menopang laju serta keberlanjutan bisnis, Aloysius dan timnya mengembangkan tiga hal utama untuk tim HR. Pertama, kapabilitas atau kemampuan di fungsi masing-masing. Misalnya, berbicara tentang employee engagement, kini berkembang menjadi employee experience. Tim HR harus memahami evolusi konsep ini.

Kedua, digital savvy, karena everything now is about digital. Di sini kapabilitas yang ditingkatkan menyangkut aspek mengoperasikan peranti digital, memakai sistem, melakukan analisis, dan menggunakan big data.

Ketiga, pemahaman bisnis. “Itu yang kami dorong terus. Bisnisnya apa, hal yang penting diperhatikan, dst. Karena kembali, orang human capital kalau tidak understand the business, ya… susah. Nanti jadi tidak nyambung dengan operation leader atau business leader.”

Shared values

Keempat aspek di atas dalam upaya menciptakan HR readiness pada gilirannya diikat dengan shared values atau superordinate goals. Ini adalah sekumpulan nilai dan ambisi, kadang tidak tertulis, yang melampau peryataan konvensional yang formal dari tujuan perusahaan.

Di Grup Astra, kata Aloysius, seluruh karyawan diikat dengan nilai-nilai yang terkenal dengan sebutan Catur Dharma. Para pengelola HR di Astra pun menggunakan panduan ini, seperti seluruh karyawan di anak-anak usaha.

Dari sisi value, nilai-nilai Catur Dharma masih dirasakan relevan hingga saat ini. Tinggal menyesuaikan dengan konteksnya. Misalnya, dalam nilai “Memberi pelayanan terbaik kepada pelanggan”, seluruh karyawan Astra harus berpikir apa nilai tambah baru yang bisa diberikan kepada pelanggan.

Di lingkup internal sekalipun, hal ini harus dilakukan. Pada orang-orang HR, ambil contoh, juga ditanamkan kesadaran untuk melihat bahwa unit lain adalah “next customer” yang harus dilayani sebaik-baiknya.

“Dulu mungkin (cukup) hanya memberi informasi ‘A’ atau service ‘A’. Saat ini kami lengkapi dengan analisis, rekomendasi, dst. Jadi, secara prinsip tidak ada yang istimewa dari orang HR, karena kami juga orang Astra. Values kami masih Catur Dharma, tetapi konteks behavior-nya harus lebih sesuai dengan zaman,” dia menegaskan.

Melihat apa yang sudah dilakukan, Astra memang tampak memiliki tingkat kesiapan dalam manajemen SDM-nya. Keluwesan ini sepertinya memang berakar pada budaya kaizen (continuous improvement) yang menghendaki penyempurnaan secara berkelanjutan, yang dilakukan tanpa perlu menunggu perubahan benar-benar datang. (*)

Teguh S. Pambudi dan Vina Anggita

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved