Management

Bisnis Ritel Hadapi Kondisi Sulit Tahun 2013

Oleh Admin
Bisnis Ritel Hadapi Kondisi Sulit Tahun 2013

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) berpandangan bahwa bisnis ritel kini menghadapi kondisi yang semakin sulit di tahun 2013. Karena pengusaha ritel harus berhadapan, di antaranya, dengan naiknya upah buruh dan tarif dasar listrik (TDL).

Satria Hamid (tengah), Head of Public Affairs PT Carrefour Indonesia yang juga menjabat sebagai Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo)

“Kita menghadapi situasi TDL itu naik. Upah buruh yang selalu naik. Jadi, kita peritel harus hitung-hitungan secara rigid untuk melakukan pengembangan ke depannya karena semua ini memukul biaya overhead kita sendiri,” jelas Satria Hamid, Wakil Sekjen Aprindo, di Jakarta, Jumat (11/1/2013).

Ia menjelaskan bahwa kenaikan TDL tidak hanya dialami oleh perusahaan ritel. Pemasok yang memasukkan barang ke peritel pasti juga mengalami kenaikan. Naiknya TDL pun berimbas pada kenaikan harga produk. Dengan begitu, bila kenaikan harga terjadi di tingkat pemasok, maka perusahaan ritel pun tak bisa menghindari kenaikan harga barang. “Asumsinya mungkin bisa naik sekitar 10-15 persen untuk produk-produk di kategorinya,” lanjut dia.

Lalu, masalah lainnya adalah mengenai kenaikan upah minimum. Baru-baru ini, UMP Jakarta mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni sekitar 44 persen. Karena kenaikan upah yang begitu besar, sejumlah pengusaha pun mengancam akan mengurangi karyawannya. Di sektor ritel, ancaman tersebut telah menjadi kenyataan. Satria mengatakan, sudah ada laporan di dalam Aprindo bahwa ada sejumlah perusahaan ritel yang telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya.

“Kalau kita lihat dari data anggota yang masuk ke Aprindo, beberapa perusahaan sudah melakukan PHK. Sudah ada sekitar 5 perusahaan,” ungkap dia.

Dijelaskan dia, pemecatan karyawan memang tidak bisa dihindari. Karena dengan biaya tenaga kerja yang tinggi, perusahaan pun harus melakukan efisiensi. Untuk itu, ia berharap, pemerintah bisa melihat dampak dari kebijakannya tersebut. Ia menuturkan, “Pemerintah harus dapat melihat hal ini. Jangan melihat satu sisi, upah dinaikkan dengan asumsi akan meningkatkan daya beli. Daya beli yang mana? Karena harga pasti akan terkerek naik. Jadi, keadaan bisa jadi sama, upah naik harga juga semakin naik.”

Sekarang, asosiasi pun menolak kebijakan terbaru yakni mengenai Upah Minimum Sektoral Provinsi. Upah ini berlaku untuk 11 bidang usaha. Di sektor ritel, bersama dengan sektor tekstil, sandang, dan kulit, besar UMSP adalah 5 persen di atas UMP tahun berjalan. Pemberlakuan upah ini dinilai semakin menambah deret penderitaan bisnis ritel.

Ditambah lagi, perusahaan ritel sekarang semakin sulit untuk mengimpor produk. Misalnya, perusahaan yang mau mengimpor produk hortikultura tidak bisa melakukan secara langsung. Impor harus dilakukan melalui distributor. “Tiga distributor minimal, dan ini kan memperpanjang rantai,” imbuh Satria.

Dengan sejumlah hal yang memberatkan tersebut, asosiasi pun tidak berani mematok pertumbuhan yang lebih besar pada tahun ini. Di tahun 2012, omzet industri ritel nasional bisa tumbuh 12,5 persen. Dari sisi nilai, omset mencapai Rp 135 triliun. “Jadi, di 2012, kita mencapai Rp 135 triliun. Itu dengan kondisi belum naik semuanya,” tegasnya.

Dan, ia pun menyebutkan, dampak dari beberapa kebijakan pemerintah yang memberatkan industri ritel ternyata membuat takut atau ragu perusahaan asing yang mau masuk ke Indonesia. “Karena melihat banyaknya program-program pemerintah sangat memberatkan di sisi operasional cost, dan juga aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah itu sendiri,” tandas Satria. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved